Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Akurasi data kemiskinan bagi pemerintah adalah keniscayaan mutlak. Apalagi data kemiskinan menjadi basis program bantuan sosial pemerintah. Tanpanya, penyaluran bansos dapat memicu konflik sosial karena tidak tepat sasaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sehingga banyak orang yang berhak mendapatkan ternyata tidak mendapatkan, yang justru tidak berhak mendapatkan ternyata mereka mendapatkan,” ujar Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat, Yandri Susanto, dalam Rapat Kerja Gabungan Komisi VIII dengan pemerintah, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 1 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan ketersediaan data yang akurat mengenai data kemiskinan sangat penting. Tanpa data yang akurat dan tersedia tepat waktu, kata dia, pemerintah akan memperburuk kondisi sosial di masa pandemi Covid-19.
"Keterlambatan bantuan sosial akan memicu permasalahan sosial. Masyarakat terdampak tidak bisa menunggu. Mereka butuh makan butuh pelayanan kesehatan dan sebagainya," kata Piter, Kamis, 2 Juli 2020.
Piter menuturkan dampak negatif wabah Covid-19 tidak bisa diremehkan. Yakni meningkatnya angka PHK yang berakibat pada lonjakan angka kemiskinan secara spontan. "Jutaan orang mendadak menganggur dan menjadi miskin. Kalau dibiarkan akan terjadi gejolak sosial. Mereka harus dibantu," ujarnya.
Menteri Sosial Juliari Batubara mengatakan pemerintah bakal melakukan verifikasi dan validasi terbaru data terpadu kemiskinan tahun depan. Menurutnya, data tersebut sudah tidak bisa diandalkan lantaran hampir bisa dikatakan tidak ada pemerintah kabupaten/kota yang melakukan pembaharuan data sejak tahun 2015 silam.
“Kami selama ini bukannya tidak mau, tapi aturan undang-undangnya tidak mengamanatkan kami untuk memperbaiki data,” ujar Juliari di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu 1 Juli 2020.
Menurutnya, langkah ambil alih yang dilakukan pemerintah pusat ini perlu diambil agar program bantuan sosial dalam penanganan wabah corona lanjutan ataupun program bansos regular di masa depan bisa lebih tepat sasaran. Karena itu, dia pun meminta tambahan anggaran Rp 425- 875 miliar untuk melakukan verifikasi.
Itupun, kata Juliari, hanya menyentuh para penerima bantuan sosial yang ada di data DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) sebanyak 97,2 juta jiwa tanpa ada perbaruan input data orang miskin baru.
Dalam pengelolaan data kemiskinan, Kementerian Sosial hanya berperan sebagai penampung data dari dinas sosial kota dan kabupaten. Pun, amanat undang-undang juga tak tegas memandatorikan pemerintah daerah untuk rajin memperbarui data berkala karena hanya diberi klausul minimal dua tahun sekali.
Program bantuan sosial yang carut marut dan tidak tepat sasaran sendiri merupakan salah satu poin kemarahan Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet 18 Juni lalu. Tak kurang ada lebih 12 juta penerima bansos yang datanya tidak sinkron dan tak bisa disalurkan secara optimal.
Selain itu, Juliari mengatakan, kementerian dan lembaga lain juga memiliki data sektoral yang perlu disinkronkan seperti data pendidikan, data pertanian, hingga data kesehatan. Saat ini, DTKS sedang disandingkan dengan data Kependudukan Kementerian Dalam Negeri yang masih ada ketidakcocokan data hingga 12 juta identitas.
“Pak Wakil Presiden sudah panggil saya, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri untuk bikin keputusan bersama untuk bisa meningkatkan kepatuhan daerah seperti sistem penalti transfer daerah,” kata Juliari.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan buruknya pengelolaan data kemiskinan jadi salah satu penyebab pertumbuhan ekonomi Tanah Air tak optimal. Dia mengatakan, selain malas dikelola, data kemiskinan sering dimanipulasi oleh Kepala Daerah demi kepentingan pemilihan umum semata. “Ketika pemilihan angkanya diturun-turunkan. Giliran ada wabah seperti ini lomba minta sebanyak-banyaknya,” ujar Suharso.
Pun, kata Suharso, otoritas pemerintah daerah dalam otonomi daerah, membikin Kementerian Sosial, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tidak bisa intervensi langsung. Kalaupun kedua lembaga ini memberi teguran, teguran hanya berupa surat saja tanpa tindak lanjut. “Ya kacau, eselon I saja ada yang dapat Bansos,” ujar Suharso.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan lembaga siap melakukan koordinasi ihwal validasi kemiskinan. Namun, dia mengatakan Kementerian Dalam Negeri akan pasif menunggu ajakan kordinasi lantaran tak memiliki wewenang mengurusi data kemiskinan.
“Kami juga sudah keluarkan surat edaran agar APBD Pemda harus digelontorkan untuk melakukan pembaharuan data kemiskinannya,” katanya.
Bekas Wakil Bupati Cirebon Selly Andriany Gantina membenarkan jika banyak kelalaian pemerintah daerah terhadap manajemen data kemiskinan. Kecakapan tenaga kerja di dinas sosial daerah, katanya, juga sangat berbeda kualitas ketimbang aparatur di pemerintahan pusat. “Dinsos dan Bappeda di daerah itu sering dianggap tempat orang buangan, karena itu perlu bagi pemerintah pusat untuk memberikan pelatihan juga,” ujar Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut.
CAESAR AKBAR | HENDARTYO HANGGI | ACHMAD HAMUDI ASSEGAF