Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengelolaan sampah di Banyuwangi menjadi program percontohan dekarbonisasi bernilai ekonomi.
Sekitar 33 persen sampah di Indonesia belum terkelola dengan baik.
Potensi ekonomi dan dekarbonisasi dari pengelolaan sampah masih sangat besar.
SEBUAH truk dengan bak terisi penuh sampah parkir di area Tempat Pengelolaan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R) Desa Tembokrejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, pada Rabu sore, 17 Januari 2024. Dua pria merapikan terpal yang menutupi bak truk tersebut, kemudian membawa tumpukan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampah yang diangkut truk itu adalah residu pemilahan di TPS3R. Biasanya, dari rata-rata 12 ton sampah yang masuk ke TPS3R Tembokrejo, tersisa 4,8 ton atau sekitar 40 persen residu yang kemudian dikirim ke TPA. Sebanyak 7,2 ton sampah akan dikelola TPS3R ke tahap penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilahan tersebut hanya sebagian kecil dari proses pengelolaan sampah di tingkat desa di Banyuwangi. Setiap hari para petugas mengumpulkan sampah warga dan membawanya dengan kendaraan roda tiga ke TPS3R. Di sana, sampah akan dituang ke konveyor untuk dipilah. Botol plastik, plastik lembaran, kaleng, botol beling, dan kertas akan dijual kembali. Sedangkan sampah organik digunakan sebagai pakan lalat tentara hitam yang menghasilkan maggot atau belatung. Sampah sisa proses tersebut disebut residu.
Ada tiga TPS3R di Banyuwangi yang memiliki mesin dan konveyor untuk memilah sampah, yakni di Desa Tembokrejo dan Sumberberas di Kecamatan Muncar serta di Desa Balak, Kecamatan Songgon. TPS3R lain melakukan pemilahan secara manual.
Pembangunan TPS3R menjadi salah satu program andalan pemerintah Banyuwangi untuk menyelesaikan persoalan sampah. Inisiatif pengelolaan sampah terpadu tersebut, menurut pelaksana tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi, Dwi Handayani, dimulai pada 2010. Kala itu Banyuwangi dinobatkan sebagai salah satu kota terkotor di Jawa Timur. "Kami pun berupaya menangani sampah dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran udara dan tanah," ujarnya.
Gasifikasi Power Plant PT Sumber Organik TPA Benowo, di Surabaya, 29 November 2023. Tempo/Hanaa Septiana
Cara Banyuwangi mengelola sampah kemudian dibahas dalam lokakarya nasional tentang dekarbonisasi sektor persampahan yang digelar Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada pertengahan November 2023. "Pemerintah daerah tidak bisa lagi bergantung pada TPA," ucap Deputi Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti dalam lokakarya pada 11 November 2023.
Pemerintah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 31,89 persen (915 juta ton) dengan upaya sendiri atau 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sampah menjadi satu dari lima sektor penyumbang emisi, yakni melalui gas metana yang dilepaskan sampah organik.
Tak hanya menekan emisi karbon dari gas metana, kini upaya dekarbonisasi persampahan diarahkan untuk memberi nilai tambah ekonomi. TPS3R di Tembokrejo dan Sumberberas, misalnya, sudah merasakan manisnya hasil penjualan sampah anorganik, kompos, dan belatung. TPS3R Tembokrejo diklaim bisa menghasilkan omzet Rp 85 juta per bulan dari pengelolaan sampah dan iuran warga. Dana itu yang menghidupi 40 karyawan TPS3R Tembokrejo setiap bulan.
Pengelolaan sampah untuk mengail nilai tambah ekonomi juga dilakukan Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Di sana sampah diolah menjadi produk seperti recycled content paving block yang digunakan dalam proyek infrastruktur daerah.
Anggota organisasi Intergovernmental Panel on Climate Change, Agus Sari, mengatakan nilai ekonomi tak hanya muncul dari penjualan produk, tapi juga dari penghematan karena metode pengelolaan sampah yang baik. Dia menaksir biaya pengelolaan sampah dari hulu ke hilir mencapai puluhan ribu rupiah per kilogram. "Bayangkan Jakarta yang sampahnya 10 ribu ton per hari. Jika biayanya Rp 50 ribu per kilogram, butuh Rp 5 miliar per hari."
Bukan hanya pemerintah daerah, banyak korporasi juga menggarap pengelolaan sampah yang bisa mengurangi emisi karbon dan bernilai ekonomi. PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), misalnya, memasang reverse vending machine (RVM) untuk mengelola sampah plastik. Operator kapal penyeberangan pelat merah itu juga memilah dan mengolah sampah menjadi barang layak pakai. "Efisiensi dari biaya pengangkutan sampah 34 persen pada 2023 dibanding pada 2022," tutur Sekretaris Perusahaan ASDP Shelvy Arifin pada 15 Januari 2024.
ASDP memasang mesin RVM di tiga tempat: kantor Kementerian Badan Usaha Milik Negara, kantor pusat ASDP, dan pelabuhan ASDP di Merak, Banten. Pengguna botol plastik bisa membuang sampah itu ke mesin RVM dan mendapat poin yang tercatat di aplikasi digital khusus. Poin ini bisa diklaim menjadi saldo uang digital atau e-money. Sepanjang 2023, RVM milik ASDP mengumpulkan 830 kilogram sampah plastik.
ASDP juga memilah sampah organik dan anorganik di sekitar pelabuhan yang kemudian akan diolah kembali. Tahun ini, perseroan akan mengoptimalkan daur ulang sampah menjadi beberapa benda, seperti merchandise dan perkakas rumah tangga. Upaya ini dilakukan dengan menggandeng pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Lain lagi dengan PT Maharaksa Biru Energi Tbk. Emiten Bursa Efek Indonesia dengan kode OASA ini mengolah limbah perkotaan, pertanian, dan perkebunan menjadi bahan bakar dan listrik. OASA sempat mengikuti tender untuk menjadi pengelola intermediate treatment facility di Jakarta, yang lalu dibatalkan lantaran pemerintah memilih membangun pengelolaan sampah menjadi bahan bakar pengganti batu bara melalui refuse-derived fuel.
CEO PT Maharaksa Biru Energi Tbk, Bobby Gafur Umar, di Jakarta, 18 Januari 2024. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Proyek lain yang sedang digarap OASA adalah pembangunan pabrik biomassa dan pengelolaan pembangkit listrik tenaga biomassa. Perseroan akan menggelontorkan dana Rp 200 miliar dalam dua tahun untuk mengembangkan pabrik wood chip dan wood pellet di Bangka, Kepulauan Riau. Kapasitas pabrik biomassa itu akan meningkat dari 1.500 ton menjadi 6.000 ton per bulan. Saat ini OASA mengirim cacahan kayu untuk co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Air Anyir di Bangka dengan harga Rp 580 ribu per ton.
Selain di Bangka, OASA akan membangun pabrik biomassa di Blora, Jawa Tengah, dan Banten dengan kapasitas masing-masing 5.000 ton per tahun pada tahap pertama. Di Blora, OASA mengolah limbah pertanian dan perkebunan sebagai bahan baku biomassa. Direktur Utama OASA Bobby Gafur Umar mengatakan ada potensi 1 juta ton limbah jagung, sekam padi, hingga tebu per tahun di Blora yang akan menjadi biomassa untuk PLTU Rembang. "Bisa menjadi pendapatan tambahan bagi petani," ujarnya pada 18 Januari 2024.
Perusahaan lain yang mengolah sampah perkotaan menjadi listrik adalah PT Sumber Organik di Surabaya. Sejak 2021, perusahaan itu mengolah 1.500 ton sampah rumah tangga di TPA Benowo yang diproses menjadi listrik menggunakan landfill gas power plant dan gasification power plant.
Listrik yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau PLTSa Benowo mencapai 10-11 megawatt per hari. Dari jumlah tersebut, hanya 9 megawatt yang dijual ke PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), sisanya untuk operasi TPA. PLN kemudian menyalurkan listrik itu kepada 5.885 rumah tangga dengan daya 1.300 volt-ampere di Surabaya dan sekitarnya.
Nilai ekonomi dari dekarbonisasi di sektor sampah dan limbah, menurut peneliti Center of Reform on Economics, Fathya Nirmala Hanoum, bisa mendorong inisiatif berbagai pihak. Kendati hanya menghasilkan emisi 9,4 persen dari total proporsi emisi gas rumah kaca Indonesia, persoalan sampah menjadi perkara besar lantaran dekat dengan masyarakat.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat timbulan sampah di Tanah Air mencapai sekitar 17 juta ton per tahun pada 2023. Sebanyak 38,2 persen di antaranya adalah sampah rumah tangga. Dari jumlah timbulan sampah tersebut, baru 66,74 persen yang terkelola. Menurut Fathya, nilai ekonomi bisa menjadi gula-gula bagi berbagai pihak untuk ikut mengelola sampah. "Sekaligus meningkatkan inovasi dan investasi green economy yang menciptakan lapangan kerja."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gula-gula Pengolahan Sampah"