Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH berkelir putih di kawasan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, itu terlihat tak mencolok di antara deretan rumah warga sekitarnya. Lokasinya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Gontran Cherrier di Jalan Cipete Raya, restoran Prancis yang menjadi lokasi penguntitan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah yang terjadi pada Ahad malam, 19 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah sewaan itu ditengarai menjadi pos komando personel Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI Satuan Wilayah Jawa Tengah yang diduga menguntit Febrie. Mereka kerap menyebut rumah itu “Posko Cipete”. Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah dipimpin Komisaris Besar Muhammad Tedjo Kusumo, lulusan Akademi Kepolisian 1999. Menurut penuturan warga sekitar yang ditemui pada Kamis dan Jumat, 30 dan 31 Mei 2024, beberapa anggota kepolisian memang kerap berkumpul di rumah berlantai dua itu. Mereka sudah dua tahun menyewa rumah tersebut.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho juga tak membantah jika Posko Cipete disebut sebagai markas Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah. Ia mengaku sudah mendengar kabar tersebut. “Informasi yang berkembang seperti itu, tapi nanti kami tindak lanjuti,” kata Sandi kepada Tempo di kantornya pada Kamis, 30 Mei 2024.
Sandi memastikan pria yang menguntit Febrie bernama Brigadir Dua Iqbal Mustofa. Beberapa tahun belakangan, Iqbal bertugas di Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah pimpinan Tedjo. Iqbal ditangkap polisi militer Tentara Nasional Indonesia yang mengawal Febrie setelah didapati merekam aktivitas mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta itu di restoran Gontran Cherrier. Tapi Iqbal tak dihukum. “Hasil pemeriksaannya menyatakan tak ada masalah,” tutur Sandi.
Dua mantan petinggi Densus 88 Antiteror mengatakan Iqbal seharusnya dihukum karena melanggar kode etik Polri. Diwawancarai secara terpisah, keduanya juga mengaku malu mengetahui personel Densus 88 Antiteror yang bertugas memburu teroris malah menguntit pejabat. Pasukan itu juga seharusnya berada di Jawa Tengah, bukan beroperasi dan membuka posko di Jakarta.
Kedua mantan petinggi Densus 88 itu bahkan menuding pasukan yang dipimpin Tedjo tersebut sebagai sempalan Densus 88 Antiteror. Selama ini pasukan tersebut kerap beroperasi di luar rantai komando Densus 88. Mereka kerap mengabaikan perintah atasan, tapi tak pernah dijatuhi sanksi. Mereka juga jarang mengikuti sesi latihan fisik dan menembak yang diselenggarakan lembaganya. “Mereka seperti kelompok tak bertuan karena tak mematuhi perintah pimpinan Densus 88,” ucap salah seorang mantan petinggi Densus 88 itu.
Suasana restoran Prancis tempat penguntitan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah di Cipete, Jakarta Selatan, 27 Mei 2024./Tempo/M Taufan Rengganis
Keduanya mengungkapkan bahwa pasukan Tedjo lebih identik sebagai “pasukan pemukul” dari Satuan Tugas Merah Putih ketimbang bagian dari Densus 88 Antiteror. Hingga kini mereka lebih sering beroperasi membawa nama Satgas Merah Putih meski satuan tersebut sudah dibubarkan. Mereka tak pernah berburu teroris di daerah lagi karena kerap berdiam di Jakarta.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah membubarkan Satgas Merah Putih pada 11 Agustus 2022. Dalam susunan organisasi Satgas Merah Putih terakhir yang tercantum dalam Surat Perintah Kapolri Nomor 1583 Tahun 2022, Tedjo menjabat Kepala Tim Penyelidikan III Sub-Satgas Penyelidikan. Nama Tedjo juga tercantum di struktur Satgas Merah Putih pada 2019 saat masih berpangkat ajun komisaris besar.
Dari data yang diperoleh Tempo, Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah berisi sekitar 20 personel. Karena jarang berlatih, kemampuan tempur dan fisik mereka juga dianggap di bawah rata-rata. Mantan petinggi Densus 88 tersebut mengatakan, meski saat ini kerap beroperasi di bawah bayang-bayang eks Satgas Merah Putih, pasukan ini tak memiliki senjata api dan peralatan lain yang menonjol layaknya satuan elite polisi.
Seorang teman satu angkatan Tedjo di Akademi Kepolisian mengatakan Tedjo layaknya koboi yang gemar membawa senjata api. Karakter Tedjo juga dikenal keras dan berangasan. Sebelum menjadi personel Densus 88 Antiteror pada 2011, Tedjo berkarier di Korps Brigade Mobil.
Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah mulai meninggalkan markasnya dan berkantor di Jakarta setelah kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat terbongkar pada Juli 2022. Terpidana pembunuh Yosua adalah Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri kala itu sekaligus Kepala Satgas Merah Putih sejak 2020, Ferdy Sambo.
Saat beroperasi setelah pembubaran Satgas Merah Putih, Tedjo ditengarai didukung dua teman satu angkatan yang juga berpangkat komisaris besar. Berbeda dengan Tedjo, dua temannya itu bertugas di Markas Besar Polri. Mereka antara lain menguasai teknologi surveilans. Dua teman seangkatannya itu juga tercatat sebagai mantan penggawa Satgas Merah Putih. Seperti Tedjo, keduanya mengepalai tim di Satgas Merah Putih tapi bertugas dalam tim yang berbeda.
Tempo berupaya meminta konfirmasi mengenai sepak terjang Tedjo dan pasukannya kepada Kepala Densus 88 Antiteror Inspektur Jenderal Sentot Prasetyo. Namun surat permohonan wawancara yang diajukan belum direspons hingga Jumat malam, 31 Mei 2024.
Upaya permintaan konfirmasi dan permohonan wawancara juga dikirim ke nomor telepon seluler Komisaris Besar Muhammad Tedjo Kusumo. Tapi nomor tersebut tak aktif lagi. Tempo mendatangi rumah Tedjo di kawasan Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat, untuk meminta konfirmasi dan mengirimkan surat wawancara pada Jumat, 31 Mei 2024. Petugas keamanan di kompleks perumahan tersebut membenarkan rumah itu kediaman Tedjo. Tapi, saat didatangi, tak ada satu pun penghuni rumah tersebut yang menampakkan diri.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho tidak membenarkan tapi tak juga membantah kabar tentang pasukan Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah yang kerap beroperasi di bawah komando eks Satgas Merah Putih. “Itu isu di luar. Kami tidak mau membahas isu yang beredar di luar,” ujarnya.
•••
DUA laki-laki bermasker masuk ke restoran Gontran Cherrier di Jalan Cipete Raya, Jakarta Selatan, pada Ahad, 19 Mei 2024, sekitar pukul 20.00. Satu pria mengenakan kaus hitam, sementara pria lainnya memakai jaket abu-abu dan bertopi hitam. Beberapa saat sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah bersama dua pengawalnya masuk lebih dulu dan naik ke lantai dua restoran Prancis tersebut.
Febrie berada di ruang naratama atau VIP berdinding kaca bening. Kedua pria asing lain duduk di kawasan merokok yang berjarak hanya beberapa meter dari ruangan Febrie. Seorang pria asing mengarahkan telepon seluler miliknya ke arah Febrie. Tindak tanduknya itu tertangkap pengamatan pengawal Febrie. Keduanya berusaha pergi setelah didekati. Satu orang tertangkap dan pria lainnya lolos.
Saat sang pria asing berupaya meloloskan diri, pengawal Febrie melihat beberapa pria lain di sekitar parkiran restoran juga pergi. Mereka tak terkejar. Satu jam kemudian, seorang pria yang ditangkap langsung diboyong ke Kejaksaan Agung. Dalam pemeriksaan, pria tersebut memiliki kartu anggota Polri dan dua kartu tanda pengenal lain. Ia bernama Brigadir Dua Iqbal Mustofa.
Iqbal ternyata personel Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri Satuan Wilayah Jawa Tengah. Jaksa juga menyedot data telepon seluler milik Bripda Iqbal. Kejaksaan Agung tak mengungkap isi pemeriksaan dan pengakuan Iqbal. Tapi Febrie diduga sudah menjadi target Iqbal dan timnya. “Di dalam handphone-nya ditemukan file berisi profil Jampidsus,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana.
Seorang jaksa yang mengetahui pemeriksaan itu mengatakan banyak ditemukan file lain di telepon seluler Iqbal. Selain berisi dokumentasi kegiatan Febrie beberapa waktu belakangan, telepon seluler Iqbal memuat profil pejabat pemerintah lain.
Setelah tahu dikuntit personel Densus 88, Febrie menelepon Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Wahyu Widada. Kepada Febrie, Wahyu mengaku tak mengetahui ihwal penugasan personel Densus 88 untuk menguntit Febrie. Sementara itu, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menghubungi Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Sama seperti Wahyu, Sigit juga tak mengetahui urusan tersebut. Dua hari setelah kejadian, Sigit belum menjawab detail pertanyaan soal penguntitan itu. “Saya ada kegiatan pengamanan acara WWF (World Water Forum) di Bali,” ucap Sigit kepada Tempo pada Kamis, 23 Mei 2024.
Mobil polisi militer yang terparkir di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, sebagai penanda adanya bantuan pengamanan dari polisi piliter , 27 Mei 2024./Antara/Galih Pradipta
Beberapa jam setelah ditangkap, Iqbal diserahkan ke Biro Pengamanan Internal Polri. Ia lantas diboyong ke Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, untuk diinterogasi. “Dia juga sudah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan Polri,” tutur Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho. Divisi Propam menyimpulkan Iqbal tak melanggar kode etik polisi.
Setelah penguntitan, teror terhadap Kejaksaan Agung malah berlanjut. Pada Selasa malam, 21 Mei 2024, rombongan mobil berlampu patroli mengitari kantor Kejaksaan Agung di Bulungan, Jakarta Selatan, sambil menyalakan sirene. Sebuah drone dikabarkan juga berputar-putar di atas kantor kejaksaan.
Inspektur Jenderal Sandi Nugroho membantah jika konvoi polisi itu disebut bertujuan meneror Kejaksaan Agung. Ia mengklaim tindakan tersebut merupakan patroli biasa yang menjadi rutinitas polisi. Tujuannya adalah memberikan rasa aman. “Patroli seperti itu biasa dilakukan di mana pun polisi berada,” ujarnya.
Seorang mantan pejabat Densus 88 Antiteror memastikan aktivitas Komisaris Besar Muhammad Tedjo Kusumo dan Densus 88 Antiteror Satuan Wilayah Jawa Tengah bukan atas komando dari pucuk pimpinan detasemen pemburu teroris tersebut. Ia menduga aktivitas kelompok sempalan itu didasari pesanan pihak tertentu. Sebab, selama ini kelompok Tedjo dikenal susah dikendalikan. Mereka tidak loyal kepada satu pemimpin tertentu.
Sebenarnya Densus 88 Antiteror pimpinan Tedjo pernah ikut berburu teroris. Pada Maret 2022, mereka menggerebek rumah seorang terduga teroris dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) di Sukoharjo, Jawa Tengah. Dalam perburuan itu, seorang pentolan JI ditembak mati karena dianggap melawan polisi. Setelah itu, mereka tak banyak terlibat perburuan kelompok teroris.
Pihak Polri tak mengungkap motif operasi penguntitan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah oleh Brigadir Dua Iqbal Mustofa dan kawannya. Meski sempat menginterogasi Bripda Iqbal Mustofa, Kejaksaan Agung juga tak kunjung mengungkap motif penguntitan terhadap Febrie. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengatakan motif penguntitan itu hanya diketahui Bripda Iqbal dan timnya. “Yang jelas, sekarang kami lagi menangani perkara-perkara besar,” tutur jaksa yang juga merangkap Kepala Kejaksaan Tinggi Bali ini.
Menyambung informasi Ketut, sejumlah sumber di sekitar Kejaksaan Agung yang ditemui Tempo memastikan penguntitan dan teror terhadap Jampidsus dilakukan karena tim Febrie tengah menangani kasus-kasus kakap. Kasus paling menonjol yang sedang ditangani tim Jampidsus saat ini adalah korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah di Kepulauan Bangka Belitung periode 2015-2022, yang merugikan keuangan negara dan lingkungan Rp 300 triliun. Hingga akhir Mei 2024, penyidik Jampidsus sudah menetapkan 22 tersangka.
Para tersangka kasus itu antara lain pengusaha timah Tamron Tamsil alias Aon serta Direktur Utama dan Direktur Pengembangan Bisnis PT Refined Bangka Tin, Suparta dan Reza Andriansyah. Reza dikabarkan adalah kemenakan seorang purnawirawan jenderal polisi. Jaksa juga sudah menetapkan pengusaha muda dan suami selebritas Sandra Dewi, Harvey Moeis, sebagai tersangka. Dalam kasus ini, jaksa turut memeriksa pengusaha Robert Priantono Bonosusatya.
Seseorang yang mengetahui kasus korupsi timah mengklaim teror dan penguntitan Jampidsus dilakukan karena penyidik telah menemukan catatan aliran uang dari salah seorang saksi. Uang itu diduga mengalir ke sejumlah pengusaha hingga mantan pejabat. Di antaranya terdapat beberapa nama polisi aktif dan purnawirawan Polri.
Dimintai konfirmasi ihwal kesaksian ini, Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi tak bersedia berkomentar banyak. “Hasil penyidikan tidak bisa kami sampaikan,” katanya.
Indikasi lain, sebelum Kejaksaan Agung mengungkap kasus korupsi timah ke publik, sejumlah jaksa turut mengalami teror di Bangka Belitung. Tim Jampidsus sempat terhalang ranjau paku yang disebar di jalan saat hendak mengumpulkan bukti di lapangan. Beberapa alat berat di lokasi tambang dibakar orang tak dikenal.
Seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dekat dengan pimpinan Kejaksaan Agung bercerita, sejumlah pihak lazim bergerilya saat terseret kasus yang ditangani Jampidsus. Ia mengaku ada seorang pengusaha timah yang getol menemuinya, tapi akhirnya ditolak. Ia juga pernah didatangi purnawirawan Polri saat Kejaksaan Agung menangani korupsi nikel di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara.
Kepada orang dekatnya, anggota DPR itu menyebutkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pernah mengakui adanya teror terhadap anak buahnya saat menyelidik kasus timah. Itu sebabnya Burhanuddin menerima bantuan pengamanan dari Tentara Nasional Indonesia.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah memberi keterangan saat konferensi pers penyampaian hasil penghitungan kerugian negara dalam perkara kasus PT Timah di Kejaksaan Agung, Jakarta, 29 Mei 2024./Tempo/Febri Angga Palguna
Kasus kakap lain yang sedang ditangani Kejaksaan Agung adalah kasus importasi gula di Kementerian Perdagangan periode 2015-2023. Penyidik menemukan indikasi perbuatan melawan hukum akibat diterbitkannya persetujuan impor gula kristal mentah. Korupsi ini terjadi karena pejabat ditengarai memberikan izin impor yang melebihi batas kuota maksimal yang dibutuhkan pemerintah.
Penyidik telah menetapkan RD, direktur perusahaan importir gula di Dumai, Riau, yaitu PT SMIP, sebagai tersangka. Satu perusahaan gula rafinasi di jaringan grup bisnis milik seorang taipan dikabarkan ikut terseret. Saksi-saksi dari pegawai perusahaan taipan tersebut turut diperiksa penyidik. Taipan tersebut dikenal memiliki jaringan luas di kalangan pejabat penegak hukum.
•••
PENGUNTITAN Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Febrie Adriansyah berakhir antiklimaks. Brigadir Dua Iqbal Mustofa dinyatakan tak bersalah. Delapan hari setelah kejadian di Cipete, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. Jokowi mengatakan memanggil keduanya untuk meminta klarifikasi perihal masalah penguntitan Jampidsus. “Sudah saya panggil, silakan tanya kepada Kapolri,” kata Jokowi dalam pertemuan itu.
Seusai pertemuan itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto berjalan menuruni tangga Istana Negara sambil menggandeng tangan Burhanuddin dan Sigit. “Inget ya, sudah bergandengan, lho,” ujar Hadi.
Kepala Polri Listyo Sigit Prabowo (kanan) dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di Istana Negara, Jakarta, 27 Mei 2024./Tempo/Daniel A. Fajri
Sementara itu, meski menjadi sasaran teror dan penguntitan, Jampidsus Febrie Adriansyah menganggap kejadian yang dia alami merupakan persoalan institusi, bukan masalah pribadi. “Sudah diambil alih Jaksa Agung. Ini sudah jadi urusan kelembagaan,” ucap Febrie.
Kepada Tempo, Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan tidak ada kaitan antara penguntitan Febrie Adriansyah di Cipete dan penyidikan kasus oleh tim Jampidsus yang diduga turut menyasar anggota dan purnawirawan Korps Bhayangkara. “Tidak ada permasalahan antara institusi Kejaksaan Agung dan Polri,” tutur Sigit.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riky Ferdianto, Lani Diana, M. Khory Alfarizi, Linda Trianita, dan Adil al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Detasemen Tak Bertuan dari Cipete"