Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUJUNG Desember 2020, Teater Koma mementaskan lakon Cinta Semesta di Gedung Kesenian Jakarta. Pertunjukan yang merupakan bagian ketiga dari trilogi Gemintang karya N. Riantiarno ini berlangsung tanpa penonton. Para aktor Teater Koma berakting di “gedung kosong”. Gedung Kesenian Jakarta tak lagi beroperasi sejak awal Maret 2020—ketika pandemi menyerbu. Rekaman pentas di gedung kosong itu kemudian ditayangkan virtual lewat Loket Live dan GoPlay dengan berbayar pada 12 dan 13 Desember 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapapun berakting tanpa kehadiran penonton langsung, yang bisa didengar interaksi tepukan tangan ataupun respons tertawa, para aktor Teater Koma tetap bersemangat. Panggung bahkan tetap disajikan canggih—ditata serupa pertunjukan Gemintang sebelumnya: penuh efek visual. Tak sedikit pun Teater Koma mengendur. Cinta Semesta mengisahkan percintaan seorang astronom dari observatorium Bosscha, Lembang, Bandung, bernama Arjuna dan alien bernama Sumbadra dari galaksi di ujung semesta. Panggung dipenuhi ilustrasi digital berupa panorama tata surya dan visual wahana antariksa. Untuk mendukung pertunjukan daring (online) selama 95 menit itu, Teater Koma sampai menggunakan sekitar 10 kamera agar rekaman pementasan bisa dinikmati penonton dengan nyaman via laptop ataupun telepon seluler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembaca, seperti tahun lalu, pada awal Januari ini kami menengok perkembangan dunia seni, sastra, dan musik tahun sebelumnya. Kami memilih karya-karya yang inovatif dan menyegarkan. Selain awak redaksi Tempo, untuk penjurian seni, sastra, dan album musik pilihan Tempo 2020 ini, kami mengundang sastrawan Seno Gumira Ajidarma; pengamat sastra Zen Hae; dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Faruk; pengamat seni Bambang Bujono; pengamat musik David Tarigan; dan dosen Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, Nyak Ina Raseuki. Berbeda dengan tahun sebelumnya, karena situasi pandemi, rangkaian proses penjurian pun digelar secara virtual.
Pandemi Covid-19 memang telah membatasi hampir semua lini kehidupan, termasuk dunia seni. Pada 2020, banyak agenda seni tertunda, bahkan batal. Dalam dunia seni pertunjukan, pada Januari-Februari masih terdapat pertunjukan semi-kolosal, seperti pementasan ulang Panembahan Reso karya W.S. Rendra yang dipentaskan di Ciputra Artpreneur, Jakarta Selatan, dengan aktor utama Ine Febriyanti-Whani Darmawan. Namun, memasuki Maret, gedung-gedung yang selama ini dikenal sebagai tempat pertunjukan teater, tari, dan musik tutup. Semenjak itu, seniman mulai menyadari adanya kenyataan baru. Mau tak mau para seniman harus beradaptasi dengan situasi ini. Masa pagebluk menuntut mereka untuk beradaptasi dengan teknologi digital. Mulanya satu-dua kelompok teater atau tari mencoba melakukan eksperimen pertunjukan digital, tapi kemudian agenda seni pun marak digelar secara daring atau virtual. Kelompok teater besar, seperti Teater Garasi dan Teater Payung Hitam, ataupun pentas Butet Kartaredjasa bersama Happy Salma akhirnya memanfaatkan kemungkinan ruang digital ini. Memasuki September, bahkan banyak festival teater atau seni pertunjukan digelar secara virtual.
Upaya seniman beradaptasi dengan medium teknologi digital kemudian menjadi parameter baru yang kami tambahkan dalam menentukan pilihan karya seni 2020. Salah satu keuntungan menonton pertunjukan digital adalah rata-rata pertunjukan yang sudah berlangsung terekam di YouTube, sehingga bisa dilacak dan ditonton ulang. Kami melihat gagasan-gagasan baru yang mereka sampaikan di dunia digital. Seberapa jauh sejumlah gagasan dan wacana baru itu bisa ditampilkan secara artistik dalam format digital.
Selain pentas Teater Koma di atas, pertunjukan daring lain yang kami nilai menarik pada 2020 adalah pentas tari Kinjeng Tangis karya koreografer Fitri Setyaningsih. Pentas tarian itu digelar di kawasan hutan jati Panggang, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cara kamera merekam para penari serta pohon-pohon jati dan daun-daun kering sangat intim. Kamera—yang kini mewakili mata penonton—merekam wajah, kaki, dan tangan para penari di hutan ranggas itu secara close-up, medium shot, sampai long shot. Semuanya dihadirkan dengan teknik editing yang padat tapi tak naratif. Tubuh para penari yang berinteraksi dengan tanah, pohon, ranting kering, angin, bunyi, dan apa pun di sekitar mereka seakan-akan bisa dihadirkan secara sugestif. Panorama visual hutan jati menjadi kekuatan utama pertunjukan ini.
Pementasan Cinta Semesta oleh Teater Koma secara daring, Desember 2020./Dok. Teater Koma
Kinjeng Tangis salah satu pertunjukan yang ditayangkan pada hari keempat rangkaian “Tribute to Suprapto Suryodarmo” dalam Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2020, yang digelar virtual pada 19-23 November 2020. Tarian ini direkam sebelumnya di hutan jati itu oleh sineas Indra Tirtana dan diunggah di saluran YouTube BWCF. Tarian Fitri itu menyajikan kemerdekaan bergerak dan menanggapi alam sekitar. Dua hal itu bagian dari filosofi gerak yang diyakini dan diajarkan seniman tari Suprapto Suryodarmo semasa hidup. Filosofi gerak yang dikembangkan Suprapto, yang wafat pada 19 Desember 2019, ia namai Joget Amerta. Ini sebuah gerak bebas. Dalam gerak bebas itu yang menjadi kata kunci adalah breathing, sensing, listening, dan moving.
Banyak pertunjukan visual lain yang kami pertimbangkan. Dari pertunjukan yang disajikan di Pekan Kebudayaan Nasional sampai Indonesia Dance Festival. Salah satu yang membetot perhatian kami adalah pentas teater lima sutradara perempuan berjudul Waktu tanpa Buku. Pertunjukan itu membawakan naskah terjemahan karya Lene Therese Teigen. Teigen adalah dramawan Norwegia masa kini. Terjemahan naskahnya adalah sesuatu yang baru dalam jagat teater Indonesia. Naskah yang diterjemahkan oleh Faiza Mardzoeki itu bercerita tentang kesaksian warga Uruguay yang pernah disiksa pada era diktator militer. Faiza membawa topik itu pada konteks Indonesia dengan mengajak lima sutradara teater perempuan dari Aceh, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Makassar untuk mementaskan naskah ini secara virtual. Lima sutradara itu memunculkan tafsir berbeda atas naskah yang menciptakan lima pentas dengan gagasan, format, dan konteks beragam. Masing-masing kuat dan mencekam.
Setelah melalui diskusi panjang, kami akhirnya memutuskan pentas teater lima sutradara perempuan berjudul Waktu tanpa Buku sebagai karya seni pertunjukan pilihan Tempo 2020 dan menobatkan Faiza Mardzoeki beserta sutradara perempuan sebagai tokoh seni pilihan untuk kategori pertunjukan. Kami menilai Faiza berperan dalam memilih lima sutradara perempuan dan memproduseri mereka membuat pertunjukan daring dengan pendekatan beragam. Jarang ada satu karya yang sama ditafsirkan oleh lima sutradara sekaligus dalam satu pertunjukan. Gagasan ini menarik karena mampu menimbulkan keberagaman pendekatan.
Di tangan sutradara Ruth Marini, misalnya, naskah itu sepenuhnya menjadi sebuah film. Demi keutuhan dan kesolidan, Ruth “merombak” struktur naskah Teigen agar sesuai dengan logika sebuah film. Dia tidak menampilkan naskah secara persis benar. Sedangkan Heliana Sinaga bersama Mainteater, Bandung, memainkan naskah secara lengkap. Baik struktur maupun dialognya persis seperti dalam naskah asli Teigen. Akan halnya Shinta Febriany dari Makassar menyuguhkan pentas yang menggabungkan performance, gerak, dan dramatic reading.
•••
DI jagat seni rupa, selama 2020 kami mengamati banyak pameran yang cukup menarik perhatian. Pada awal tahun lalu, sebagaimana seni pertunjukan, masih banyak pameran seni rupa yang diadakan seperti biasa. Pameran Dolorosa Sinaga di Galeri Nasional, Jakarta, misalnya, berlangsung aman. Pameran ini ditandai oleh peluncuran buku luks yang mendokumentasikan semua patung karya Dolorosa baik yang sudah dimiliki kolektor maupun belum. Selanjutnya, pada pertengahan Maret 2020, di Galeri Nasional digelar pameran tunggal perupa sepuh Srihadi Soedarsono berjudul “Man x Universe”. Menjelang usia 90 tahun, secara mengejutkan Srihadi menampilkan karya-karyanya dalam ukuran besar. Kami ingat pameran Srihadi ini hanya berlangsung semalam—pada malam pembukaan saja—karena Jakarta saat itu telah diserang pandemi. Pembukaan sendiri berlangsung dengan protokol kesehatan yang ketat.
Seni rupa berbeda dengan seni pertunjukan, yang bisa disiarkan secara daring seluruhnya. Selama pandemi, galeri atau seniman mengakali pameran dengan berbagai cara. Ada sejumlah pameran, baik tunggal maupun bersama, yang menggabungkan luring (offline) dan daring. ArtJog, misalnya, bisa dihadiri secara terbatas dengan protokol kesehatan ketat. Sedangkan Art Jakarta sepenuhnya berlangsung secara virtual. Ada yang menggabungkan keduanya—pembukaan secara luring dengan hadirin terbatas, selanjutnya disebar katalog digital untuk publik. Tapi ada juga pameran yang digelar terbatas tanpa menghadirkan rekaman daring. Awal Desember 2020, misalnya, perupa Ipe Ma’aruf pada umur 82 tahun mengadakan pameran di Balai Budaya Jakarta. Juga Tisna Sanjaya di Bandung menggelar pameran di bekas sebuah gedung bioskop yang kini bangunannya telantar.
Dari puluhan agenda seni rupa selama 2020, kami berpendapat ada tiga yang menonjol. Pertama, pameran proyek seni “Investigation on Male/Female Gaze” karya Nindityo Adipurnomo yang berlangsung di Cemeti Institute for Art and Society, Yogyakarta, pada 15 Juli-5 Agustus 2020. Lalu proyek seni Ugo Untoro berjudul “Homage to the Blackboards” atau “Penghormatan pada Papan Tulis” yang digelar pada 26 September 2020. Terakhir, pameran Tisna yang disebut di atas, yakni pameran seni instalasi “Dian Lentera Budaya” yang digelar di bekas gedung bioskop Dian di Bandung pada 20 Desember 2020 hingga 21 Januari 2021.
Proyek Nindityo Adipurnomo bereksperimen dengan apa yang disebut gaze (tatapan pandangan mata). Nindityo beranggapan dunia saat ini terlalu dikuasai oleh male gaze. Dia lalu bereksperimen dengan menjadikan dirinya sebuah obyek tatapan. Nindityo membuat pengumuman terbuka bagi perempuan/lelaki non-hetero (gay, waria) untuk turut dalam proyeknya. Kepada mereka, Nindityo memberikan sejumlah kain dan meminta mereka mendandaninya sesuai dengan cara tatapan pandang masing-masing. Hasilnya mengejutkan. Ada yang membelitkan kain itu ke kepala Nindityo yang gundul dan menjadikannya semacam burqa atau cadar, sehingga hanya mata Nindityo yang terlihat. Ada yang membelitkannya sebagaimana jilbab biasa. Dengan cara begitu, Nindityo menempatkan diri sebagai obyek yang dikuasai dan dieksploitasi. Setelah partisipan mendandani dan mengarahkan gaya, Nindityo dipotret. Dari potret itulah Nindityo mendasarkan gambar cat airnya. Dia hendak memunculkan kontestasi oposisi biner antara tatapan laki-laki dan perempuan. Hasil akhirnya adalah puluhan gambar cat air yang dipamerkan di Cemeti. Harus diakui, karya yang dibuat Nindityo cukup kuat.
Proses penjurian daring album pilihan Tempo pada akhir Desember 2020./Tempo
Adapun Ugo Untoro membuat proyek menggambar dengan kapur di atas 10 papan tulis hitam, lalu langsung menghapusnya untuk digantikan dengan gambar baru. Proses itu berlangsung terus-menerus selama 10 jam dan hanya dapat disaksikan lewat Zoom. Proyek itu disebut sebagai penghormatan kepada kesementaraan karena gambar-gambar hanya muncul sekejap untuk kemudian dihapus.
Sedangkan Tisna Sanjaya menggelar pameran langsung di tengah pandemi dengan memanfaatkan gedung bioskop telantar di Bandung. Di bekas gedung bioskop Dian yang sebagian sudah hancur itu, dia mengadakan intervensi seni dengan melangsungkan atraksi seni dan memamerkan karya. Karya Tisna dihidupkan oleh memori masa kecilnya yang sering diajak menonton di bioskop tersebut. Tisna juga secara konsisten memadukan karya seni dengan praktik aktivisme karena gedung telantar itu merupakan cagar budaya yang seharusnya dijaga kelestariannya.
Kami akhirnya bersepakat memilih proyek seni Ugo Untoro “Homage to the Blackboards” sebagai seni rupa pilihan Tempo 2020. Kami menilai proyek seni Ugo itu merupakan sebuah terobosan yang berupaya untuk beradaptasi dengan situasi pandemi. Dan ia berhasil. Tak hanya menyuguhkan pameran virtual, proyek seni Ugo itu juga dirancang dengan konsep dan format pameran seni rupa yang sesuai dengan situasi masa pagebluk. “Ugo menemukan bahasa yang cocok untuk sekarang. Secara peristiwa seni rupa, itu sangat klop dengan masanya. Sengaja atau tidak, ia menemukan cara berkarya yang bisa beradaptasi di tengah pandemi,” kata Bambang Bujono.
•••
AKAN halnya karya sastra, sebagaimana tahun sebelumnya, kami memilih karya prosa dan puisi terbaik. Dari puluhan karya prosa, kami kemudian memilih lima nomine: Aib dan Nasib (Minanto), Kisah-kisah Perdagangan Paling Gemilang (Ben Sohib), Kokokan Mencari Arumbawangi (Cyntha Hariadi), Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (Sasti Gotama), dan Serdadu dari Neraka (Arafat Nur).
Dari lima nomine itu, kami bersepakat memilih novel Aib dan Nasib sebagai buku sastra pilihan Tempo 2020 untuk kategori prosa. Kami mengamati, dari segi teknis, karya-karya prosa tahun 2020 secara umum terdapat kecenderungan menyajikan model “tukang cerita” dalam tradisi lisan. Gaya tukang cerita yang berbicara langsung dengan pembaca. Lalu ada fenomena menampilkan sebuah cerita dengan teknik memudarkan batas antara cerita pendek dan novel, novel menjadi semacam kumpulan cerpen lepas yang kesinambungannya tidak berpusat pada masalah, tapi hanya pencerita atau lokalitas. Kami menilai novel Aib dan Nasib berbeda. “Berbeda dari banyak novel yang lain, Aib dan Nasib tergolong novel realis dan bahkan naturalis. Gaya ceritanya menarik, realis-naturalistik,” ujar Faruk. “Novel karya Minanto ini juga relatif kompleks, padat, butuh persiapan yang cermat dalam penataan alur dan tokohnya.”
Aib dan Nasib, novel ketiga karya Minanto, bercerita tentang kehidupan sejumlah warga Desa Tegalurung, sebuah desa di Indramayu, pesisir utara Jawa Barat. Lewat novel setebal 270 halaman ini, Minanto—penulis kelahiran Indramayu pada 1992—mengajak kita menelusuri fragmen kehidupan warga Tegalurung, dari masalah kemiskinan, rumah tangga, skandal asmara, masuknya teknologi digital dan media sosial, hingga persoalan seseorang yang gagal menjadi wakil rakyat dan kemudian gila.
Dengan bahasa sederhana dan lentur yang kadang dibumbui humor khas pantura, Minanto berhasil meramu semua persoalan itu dengan baik dalam lima bab novel tersebut. Lewat alur cerita maju-mundur, Minanto menyuguhkan fragmen-fragmen yang mengisahkan kesalingterhubungan antar-tokoh-tokoh utamanya dengan menarik. Setiap peristiwa mempunyai hubungan sebab dan akibat yang kait-mengait, tidak meloncat-loncat. Hal-hal itulah yang menjadi pertimbangan kami memilih novel Aib dan Nasib sebagai karya sastra pilihan Tempo untuk kategori prosa.
Adapun untuk kategori puisi, ada lima kumpulan puisi yang menjadi nomine kami: Belok Kiri Jalan Terus ke Kota Tua (Isbedy Stiawan Z.S.), Kertas Basah (Dea Anugrah), mBoel (Sapardi Djoko Damono), Nabi Baru (Triyanto Triwikromo), dan Prometheus Pinball (Afrizal Malna). Dari lima buku kumpulan puisi itu, kami kemudian menyeleksi lagi menjadi tiga kandidat: Kertas Basah, mBoel, dan Prometheus Pinball.
Perdebatan cukup alot terjadi ketika menentukan apakah kumpulan puisi Sapardi, mBoel, atau kumpulan puisi Afrizal, Prometheus Pinball, sebagai buku puisi terbaik pilihan. Kami menilai kedua kumpulan puisi itu memiliki kekuatan karakter masing-masing. Sapardi selalu menemukan cara ucap baru untuk pengalaman yang bisa dikatakan serupa. Puisi-puisi dalam buku kumpulan puisi mBoel sangat menarik: puisi yang berbentuk dialog secara konsisten dan tetap liris. Konsistensi menjaga dialog-dialog dalam percakapan keseharian agar tetap liris tersebut membuat puisi-puisi dalam buku kumpulan ini sangat memikat.
Dalam kumpulan mBoel, kami masih bisa menemukan Sapardi yang memiliki kematangan dan kemapanan pengucapan sebagai penyair melalui puisi lirik, puisi imajis, dan puisi prosa. “Kemampuannya memadatkan puisi dalam ekspresi imajistis membuat puisi-puisinya menjelma menjadi puisi suasana yang luar biasa,” ucap Zen Hae.
Warga tiduran sambil nontop di instalasi kasur dan lampu tempel karya Seniman Tisna Sanjaya di eks gedung bioskop Dian di Bandung, Jawa Barat, 19 Desember 2020./TEMPO/Prima Mulia
Sedangkan kumpulan puisi Afrizal, Prometheus Pinball, menyuguhkan narasi puisi-puisi yang ditautkan dengan berbagai peristiwa dalam sejarah secara acak. Puisi-puisi dalam kumpulan itu mencoba merekonstruksi sejarah pribadi sang penyair dengan menjuktaposisikan dengan berbagai arsip dan dokumen. Hasilnya cukup mengejutkan. Afrizal tertarik bermain-main dengan data sebagaimana sering disajikan infografis dari sebuah lini masa. Dalam dunia media massa sekarang, baik cetak, digital, maupun televisi, informasi berupa lini masa adalah hal yang tak terelakkan. Dalam sebuah lini masa biasanya disajikan kronologi, poin peristiwa yang penting dari tahun ke tahun, hari per hari, atau bulan per bulan. Puisi-puisi dalam buku kumpulan Afrizal ini dikerjakan dengan cara membenturkan riwayat pribadi dengan berbagai lini masa dunia yang dianggap Afrizal penting tapi sering luput dari perhatian orang.
Boleh dibilang, di tengah arus puisi yang masih mempertahankan keharuan penyair serta sikap romantis terhadap alam dan manusia, kehadiran mBoel dan Prometheus Pinball terasa berbeda. Dengan cara masing-masing, Sapardi dan Afrizal membuktikan bahwa selalu ada jalan untuk memperbarui agar puisi layak dibaca terus-menerus. Sapardi dan Afrizal punya cara sendiri untuk mengembalikan pesona puisi, sehingga tak terjebak pada kemapanan keharuan penyair serta sikap romantis terhadap alam dan manusia. Hal-hal itulah yang membuat kami bersepakat memilih mBoel dan Prometheus Pinball sebagai buku sastra pilihan Tempo 2020 untuk kategori puisi. Untuk pertama kalinya, kami memilih dua kumpulan puisi buat kategori puisi.
•••
DI bidang musik, kami mengamati ada fenomena baru yang mewarnai industri musik kita di masa pandemi: bedroom recording atau home recording. Pandemi yang membatasi membuat para musikus bersiasat melakukan proses rekaman di rumah. Sebagian besar dari mereka menelurkan single dan album mini. Tercatat ada sekitar 3.000 single yang dirilis selama era pandemi 2020, padahal tahun-tahun sebelumnya hanya 2.000-an lagu.
Meski begitu, masih banyak musikus yang tetap merilis album penuh dan beberapa di antaranya proses rekamannya di rumah. Setidaknya ada puluhan album pop, jazz, rock, hip-hop, dan genre musik lain yang dirilis selama 2020. Dari puluhan album itu, kami kemudian menyaringnya menjadi 10 album nomine dari berbagai genre. Lalu, dari 10 nomine itu, kami memilih satu album untuk dinobatkan sebagai album terbaik pilihan Tempo. Pilihan kami mengerucut pada tiga kandidat: album Garatuba (Rollfast), Morbid Funk (Bars of Death), dan Selamat Ulang Tahun (Nadin Amizah).
Setelah melalui diskusi cukup ketat, kami bersepakat memilih Selamat Ulang Tahun milik Nadin Amizah sebagai album pilihan Tempo 2020. Sebagai sebuah album musik populer, Selamat Ulang Tahun menyuguhkan musik yang bagus dan kualitas vokal Nadin yang luar biasa. Lirik-lirik lagu yang dibuat penyanyi 20 tahun itu juga sederhana dan tidak pretensius. “Sesuai dengan usianya, Nadin menulis lirik-lirik sederhana dari tema tentang bagaimana dia tumbuh hingga keresahan yang dialami generasinya. Meski sederhana, lirik-liriknya kritis terhadap situasi zamannya,” kata David Tarigan.
Selain itu, bila mengamati proses penggarapannya, Selamat Ulang Tahun adalah salah satu album hasil produksi era pandemi, yakni melalui bedroom recording. Album ini dibuat dengan penggunaan unsur sederhana dan teknologi dari rumah sendiri. Nadin menulis lagu dan merekam musiknya di kamar tidur (bedroom recording). “Memang cukup banyak album tahun 2020 yang proses produksinya seperti itu, tapi yang hasilnya benar-benar bagus sedikit. Dan album Nadin ini adalah salah satu yang terbaik hasilnya,” ujar David.
Nyak Ina Raseuki atau Ubiet menyebutkan Selamat Ulang Tahun adalah album musik populer yang menggambarkan generasinya. Secara musikalitas, album itu memperlihatkan upaya Nadin untuk memperbarui karya-karya dia sebelumnya. Dan hasilnya cukup luar biasa, banyak variasi dibanding karya Nadin sebelumnya. “Jarang ada penyanyi muda sekarang yang memilih memakai warna suara seperti itu. Ini sangat menarik,” tutur Ubiet.
TIM LIPUTAN KHUSUS TOKOH SENI PILIHAN TEMPO 2020
Penanggung Jawab:
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Koordinator:
Moyang Kasih Dewimerdeka, Isma Savitri, Mustafa Ismail
Dewan Juri dan Penulis:
Seno Gumira Ajidarma, Faruk, Zen Hae, Bambang Bujono, David Tarigan, Nyak Ina Raseuki, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Kurniawan, Mustafa Ismail, Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka, Dian Yuliastuti
Penyunting:
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Penyunting Bahasa:
Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo
Fotografer:
Ratih Purnama Ningsih (Koordinator), Jati Mahatmaji, Gunawan Wicaksono
Desainer:
Djunaedi, Munzir Fadly
Digital:
Rio Ari Seno, Riyan R Akbar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo