Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Yoga Pratama: Aktor Film Pilihan Tempo 2024

Yoga Pratama menjadi aktor pilihan Tempo lewat film Kabut Berduri. Sukses menampilkan aneka karakter dan emosi.

9 Februari 2025 | 08.30 WIB

Yoga Pratama di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 28 Januari 2025. Tempo/Gunawan Wicaksono
Perbesar
Yoga Pratama di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 28 Januari 2025. Tempo/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Yoga Pratama menjadi aktor Film Pilihan Tempo 2024 lewat film Kabut Berduri.

  • Karakter Thomas Martinus yang dia bawakan Yoga Pratama begitu kompleks.

  • Yoga menampilkan sosok polisi lokal dengan aneka karakter, lengkap dengan logat Dayak Iban.

MALAM belum habis. Di tengah gerimis, Inspektur Polisi Dua Sanja Arunika dan koleganya, Brigadir Polisi Kepala Thomas Martinus, bercengkerama sembari menikmati tuak di sebuah dangau di perkebunan kelapa sawit. Dalam kondisi cukup sadar, keduanya bertukar cerita alasan menjadi aparat berseragam cokelat. Yang satu, misinya mulia. Satu lainnya punya rahasia yang membebani sepanjang waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Sanja belum lama datang dari Jakarta. Ia ditugasi menyelidiki kasus pembunuhan berantai yang mengerikan di perbatasan Indonesia-Malaysia. Sedangkan Thomas adalah pemuda Dayak yang mulanya punya cita-cita luhung. “Aku dulu masuk polisi niatnya mau lindungi saudara-saudaraku putra Dayak, membela harga diri Dayak,” katanya kepada Sanja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dalam film Kabut Berduri, Thomas yang diperankan aktor Yoga Pratama menjadi penghubung. Sebagai orang Dayak, ia bisa mengenali korban pembunuhan dengan mudah, misalnya lewat tato yang khas. Ia memahami medan, mudah berkomunikasi, dan mengenal karakter masyarakat setempat. Dia pun ditunjuk mendampingi Sanja.

Sekilas, Thomas tampak lebih banyak diam dan berpikir. Menurut dia, keberadaannya sebagai aparat cukup termarginalkan lantaran polisi kerap berhadapan dengan masyarakat adat. Sebaliknya, kerabatnya di kampung tak menghargainya karena ia menjadi polisi. “Dari dulu stigmanya sudah ketebak. Aku sampai tutupi tato supaya bisa diterima. Eh, sekarang di polisi dibilang dasar Dayak. Di orang Dayak dibilang dasar polisi. Nasib... nasib…,” ujarnya.

Dalam film, Thomas menunjukkan beberapa lapis emosinya. Kadang dia tenang, tapi bisa naik pitam juga tatkala menghadapi Silas, pemuda Dayak yang mencoba mengungkap masalah besar di kampungnya. Dia pun bisa beringas menghadapi tahanan.

Yoga Pratama di kantor Tempo, Palmerah, Jakarta, 28 Januari 2025. Tempo/Gunawan Wicaksono

Perkenalan dengan Sanja yang penuh integritas perlahan mengetuk keapatisan Thomas untuk berani melawan atasannya, Panca—diperankan Lukman Sardi—yang kerap menerima suap dari pelaku perdagangan manusia. Thomas sebenarnya bukan polisi yang bersih-bersih amat. Dalam kurun waktu cukup lama, Thomas juga menerima suap agar tutup mulut atas kelakuan Panca, walau di akhir film kita tahu dia tak pernah menyentuh uang itu.

Yoga menunjukkan banyak peralihan karakter tersebut dengan halus. Ia berteman dengan Sanja, tapi sekaligus memata-matainya untuk Panca. Perannya kompleks. Di satu sisi dia bisa menghadirkan kecurigaan, tapi di sisi lain melahirkan simpati.

Penonton bisa bersimpati kepada Thomas karena dia punya keinginan baik melindungi Sanja si tokoh utama. Namun ada elemen dalam dirinya yang menyebalkan ketika penonton tahu bahwa dia menjadi mata-mata, juga saat terkuak bahwa ia menerima uang sogokan.

Hal lain yang menonjol dari Thomas adalah logatnya. Yoga Pratama—mantan aktor cilik yang lahir dan besar di Jakarta—secara sukses dan meyakinkan tampil sebagai orang Dayak. Menurut dia, hal ini berkat darah Melayu yang mengalir dalam nadinya. Terlahir dari ibu asal Sumatera Barat, saat proses pendalaman karakter di Kalimantan, ia menyimak cara masyarakat Iban berbincang. “Aku simak logat mereka mirip orang Melayu. Mungkin karena lokasinya ada di daratan yang perbatasan dengan rumpun Melayu,” kata Yoga kepada Tempo, Selasa, 28 Januari 2025.

Yoga juga mengobservasi latar belakang warga Dayak Iban serta gestur mereka sehari-hari. Yoga tinggal di rumah panjang dan berinteraksi langsung dengan para penghuninya.

Dia mengatakan sutradara Edwin tak banyak mengarahkan karakter Thomas. Gambarannya tercakup dalam skenario dan sesekali dibahas pada saat pembacaan naskah. Kebutuhan Yoga untuk mempelajari dialek dan sebagainya datang dari asisten sutradara. "Tiba-tiba asisten sutradara menyampaikan ada jadwal observasi empat-lima hari di Kalimantan, ya saya berangkat,” katanya.

Namun, secara tak langsung, gambaran perannya disampaikan Edwin lewat buku. Sang sutradara meminjami Yoga buku Harnovia Diculik, Diperkosa, Dibunuh yang ditulis wartawan Pontianak, Adong Eko. Buku tersebut berlatar kisah nyata pembunuhan gadis remaja di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. “Bukunya belum saya kembalikan sampai sekarang,” ujar Yoga, lalu tertawa.

Yoga juga mengatakan para pemain mendapat jadwal belajar bahasa Dayak, kelas latihan adegan, dan “kuliah” dengan materi suku Dayak serta kawasan perbatasan. Mereka mendapatkan materi tersebut sebelum melakukan observasi di Kalimantan. Pemberi materi itu adalah Dave Lumenta, antropolog Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, yang banyak meneliti kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia. Untuk mendapatkan gambaran aktivitas polisi perbatasan, Yoga mampir ke sejumlah kepolisian sektor yang dekat dengan lokasi syuting.

Dalam diskusi juri Festival Film Tempo, penampilan Thomas dinilai begitu intens, dari gerak tubuh sampai logatnya. Yoga dianggap memiliki gaya tersendiri sehingga saat peran serupa dimainkan aktor lain mungkin akan menghasilkan karakter berbeda.

Yoga pertama kali bermain peran pada usia 5 tahun dalam film Tragedi Bintaro karya Buce Malawau. Perannya saat itu sebatas penyemarak di tengah tema film tragedi. Pencinta film mengenangnya sebagai bocah badung yang melempar kodok kepada Indro dalam film Warkop DKI karya Arizal, Bisa Naik Bisa Turun, pada 1992. “Sampai sekarang masih suka ketemu Om Indro dan mengingat adegan itu,” tutur Yoga, tergelak.

Yoga Pratama (kanan) dalam salah satu adegan dalam film Kabut Berduri. Stills by Eriek Juragan/Netflix Indonesia

Pengalamannya mencicipi dunia sinema datang lewat ayahnya, Johny, yang bekerja sebagai kru penata artistik. Sejak kecil, anak pertama dari tiga bersaudara ini kerap diajak sang ayah bekerja. Ujung-ujungnya, dia diajak bermain film.

Yoga sempat menepi dari layar saat remaja hingga menempuh kuliah diploma III film dan televisi di Institut Kesenian Jakarta. Namun pendidikan tingginya tak ia tuntaskan. Yoga memilih mempelajari film dengan terjun langsung ke dunia seni peran. Hingga kini, dia kerap meminta saran dan mengajak ayahnya berdiskusi untuk mendalami peran.

Yoga bulat menekuni dunia keaktoran setelah aktingnya sebagai Rian dalam 3 Doa 3 Cinta diganjar Piala Citra pada 2008 sebagai Pemeran Pendukung Pria Terbaik. “Setelah itu, saya berpikir sudah saatnya berfokus menjalani karier,” ucapnya.

Meski sudah sedari kecil mengenal dunia sinema, aktor 41 tahun ini mengaku masih kikuk setiap kali berada di tempat ramai atau berhadapan dengan banyak orang. Saat menjalani syuting, ia kerap meminta waktu dan ruang sendiri untuk berlatih peran. “Nanti, begitu syuting dimulai, akan saya tunjukkan hasilnya,” katanya.

Untungnya, Yoga melanjutkan, kebiasaannya itu dipahami para sutradara. Sutradara Teddy Soeriaatmadja pernah berkata bahwa Yoga tidak akan menunjukkan aktingnya sebelum terdengar bunyi clapper board sebagai penanda pengambilan gambar.

Seorang juri Festival Film Tempo menyebutkan tokoh Thomas tergolong kompleks dan Yoga berhasil membawakannya dalam porsi yang tepat. “Dari bahasa dan aksen, bahasa tubuh, hingga akting dengan lawan mainnya seperti Putri Marino dan Yudi Ahmad Tajudin, betul-betul pas.”

Juri lain memuji cara Yoga membawakan peran polisi dan bagaimana dia bisa tampil dengan akting yang berbeda dalam setiap filmnya. Menurut juri tersebut, banyak aktor yang menampilkan gaya serupa meski karakternya berbeda. “Yoga bukanlah jenis pemain yang seperti itu,” ujarnya.

Dalam pemilihan aktor pilihan Tempo pada Festival Film Tempo, Yoga bersaing ketat dengan Arswendy Bening Swara Nasution. Dalam film Tale of the Land karya Loeloe Hendra Komara, Arswendy memerankan karakter kakek di tengah konflik agraria melawan eksploitasi tambang di tanah mereka. Pada akhirnya, juri memilih Yoga dengan sederet pertimbangan di atas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Aneka Wajah Polisi Dayak

Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus