Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Tetralogi Pulau Buru yang Mengguncang Orde Baru

Pelarangan Bumi Manusia tertunda karena ada dukungan Wakil Presiden Adam Malik. Hasta Mitra berjalan terus.

16 Februari 2025 | 08.30 WIB

Pramoedya Ananta Toer di kamarnya Mako Inrehab, Pulau Buru, 1977. Dok. Tempo/ Acin Yassien
Perbesar
Pramoedya Ananta Toer di kamarnya Mako Inrehab, Pulau Buru, 1977. Dok. Tempo/ Acin Yassien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Tak lama setelah dibebaskan dari Pulau Buru, Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawannya mendirikan Hasta Mitra.

  • Hasta Mitra menjadi penerbit utama Tetralogi Pulau Buru dan karya lain Pramoedya.

  • Tetralogi Pulau Buru kemudian dilarang Orde Baru, tapi diterjemahkan Max Lane ke bahasa Inggris.

TAK lama setelah dibebaskan dari Pulau Buru, Kepulauan Maluku, pada 1979, Pramoedya Ananta Toer, sastrawan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak mendirikan penerbitan Hasta Mitra. Kantornya berada di rumah Joesoef di Duren Tiga, Jakarta. Bekas gudang kecil di belakang rumah itu menjadi tempat mendesain buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Joesoef adalah jurnalis generasi perang kemerdekaan yang kemudian menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Jakarta. Pemimpin redaksi harian Merdeka, yang didirikan Burhanuddin Mohammad Diah, itu lalu ditunjuk Presiden Sukarno menjadi Sekretaris Jenderal Persatuan Wartawan Asia-Afrika. Ketika pecah peristiwa 1965, Joesoef ditahan di penjara Salemba, Jakarta, selama sepuluh tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Hasjim adalah pemilik Bintang Timoer, harian dengan sirkulasi terbesar sebelum 1965. Dia pernah menyelundupkan senjata dari Malaysia ke Sumatera dalam perang melawan Belanda. Pram—sapaan Pramoedya—mengasuh Lentera, rubrik kebudayaan di harian ini. Hasjim juga dipenjara di Pulau Buru bersama Pram.

Mereka bertiga memutuskan menerbitkan empat novel yang ditulis Pram selama di Buru. Novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca itu kemudian dikenal sebagai Tetralogi Pulau Buru. Bahkan pada sampul buku itu mereka cantumkan tulisan “Karya Pulau Buru”.

Menurut Maxwell Ronald Lane, penerjemah buku-buku Pram ke bahasa Inggris yang biasa disapa Max Lane, Pram mengetik naskahnya di kertas tanpa margin. Dia menggunakan seluruh kertas karena kertas sangat langka di Pulau Buru. “Yang lebih gila, tidak ada coretan. Sedikit sekali perbaikan,” kata Lane kepada Tempo, Ahad, 9 Februari 2025.

Pram menulis hanya dengan mengandalkan ingatan. “Kadang-kadang, kalau lupa atau tidak yakin, dia bertanya kepada orang-orang di Pulau Buru, yang juga banyak intelektual. Jadi dia banyak mendapat masukan dari tahanan-tahanan politik lain,” ujar Lane.

Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa terbit pada 1980. Penerbitan buku ini menuai banyak dukungan. Wakil Presiden Adam Malik, Kepala Komando Pemulihan Ketertiban dan Stabilitas Laksamana Sudomo, dan Jaksa Agung Ali Said tampak enggan melarangnya. Mereka membuat pernyataan publik bahwa nasib buku itu diserahkan kepada pembaca untuk menentukan.

Militer sebenarnya ingin segera melarang buku-buku itu, tapi Wakil Presiden Adam Malik malah menerima kunjungan Pram, Hasjim, dan Joesoef. Bahkan, menurut Adam Malik, setiap anak sekolah Indonesia seharusnya wajib membaca Bumi Manusia supaya tahu bagaimana orang tua mereka dulu menghadapi penjajahan. Karena itulah, Lane menuturkan, militer tak segera melarang buku tersebut.

Fakta ini kontradiktif dengan kenyataan bahwa Adam Malik adalah wakil Presiden Soeharto, yang memerintahkan penangkapan Pram dan ribuan orang lain. Soeharto pula yang menjadi pemimpin program pembunuhan massal terhadap simpatisan atau anggota Partai Komunis Indonesia dan Partai Nasional Indonesia pimpinan Sukarno. Menurut Lane, di satu sisi, Adam Malik sangat anti-PKI karena partainya, Musyawarah Rakyat Banyak atau Murba, amat tidak setuju terhadap PKI. “Di sisi lain, ada ikatan batin dengan orang dari Pulau Buru karena sama-sama terlibat langsung menciptakan Indonesia,” ucapnya. Adam Malik salah satu pemuda yang menculik Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok agar mereka memproklamasikan kemerdekaan lebih cepat.

Max Lane menggambarkan kelahiran tetralogi itu dalam Indonesia Out of Exile: How Pramoedya’s Buru Quartet Killed a Dictatorship terbitan Penguin Random House pada 2022. Di situ dia menguraikan dukungan Adam Malik yang tak menurunkan tekanan terhadap Hasta Mitra. Hasjim disebut berkali-kali menerima panggilan telepon dari orang yang mengaku dari kejaksaan dan bahkan Presiden Soeharto.

Cover buku berjudul "Indonesia Out of Exile: How Pramoedya's Buru Quartet Killed a Dictatorship" karya Max Lane. Dok. Max Lane

Bumi Manusia akhirnya dilarang Kejaksaan Agung pada Mei 1981, sembilan bulan setelah terbit dan beredar. Buku lain pun dilarang satu per satu. Alasan resminya, buku itu menggambarkan “konflik antarkelas” meskipun tak diuraikan konflik macam apa yang dimaksud. Petugas kejaksaan yang menginterogasi Hasjim menyimpulkan bahwa Bumi Manusia menggambarkan konflik kelas, Anak Semua Bangsa mempresentasikan internasionalisme, Jejak Langkah adalah Manifesto Komunis, dan Rumah Kaca merupakan masyarakat komunis.

Lane menelusuri dokumen asesmen teritorial yang dikeluarkan Departemen Pertahanan dan Keamanan pada September 1980. Dokumen itu menyatakan bahwa Pram adalah pemimpin Lekra yang terlibat Gerakan 30 September dan tergolong tahanan kategori B. Selama ditahan di Buru sampai bebas, menurut dokumen itu, Pram tetap menjadi pengikut komunis garis keras. Dalam analisisnya terhadap novel tersebut, Departemen Pertahanan menilai ada gambaran perjuangan kelas, yang dianggap sebagai ciri khas pemikiran komunis. Mereka mengklaim hal ini tersembunyi rapi di dalamnya sehingga tidak akan terasa oleh banyak pembaca. Departemen tidak melarang buku itu, hanya memperingatkan pembaca mengenai “bahaya laten komunis” yang dapat merasuk dengan berbagai cara, termasuk budaya.

Menurut Lane, sikap ambigu rezim terhadap buku Pram ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, upaya teror kejaksaan lewat telepon, pemanggilan, dan interogasi terhadap Joesoef dan Hasjim tak berbuah. Mereka tetap menerbitkan dan menjual buku Pram. Kedua, pelarangan buku itu sama saja dengan pelarangan Indonesia karena kisah dalam Tetralogi adalah perjalanan kelahiran Indonesia. Pelarangannya berarti mencegah kisah paling inspiratif tentang bangsa ini.

Empat Buku Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer yaitu Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988) terbitan Hasta Mitra (1980). Dok. Hasta Mitra

Nyatanya, pelarangan tetap terjadi dan memukul Hasta Mitra secara finansial, meski tidak secara politik. Hasta Mitra tak menghentikan penerbitan dua novel Pram lain dari Tetralogi Buru, yakni Jejak Langkah dan Rumah Kaca, juga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kumpulan catatan para tahanan politik. Buku bajakan dan versi fotokopi buku Pram beredar setelah pelarangan.

Nama Pram malah membesar dan banyak mahasiswa yang mengundangnya berdiskusi atau berkunjung ke rumah mereka. Ini bukannya tanpa konsekuensi. Beberapa mahasiswa ditahan karena membahas buku ini dan lembaga pers mahasiswa dibredel lantaran memuat laporan wawancara dengan Pram.

This Earth of Mankind, terjemahan Max Lane atas Bumi Manusia, diterbitkan Penguin Australia pada 1982 dan masuk daftar buku laris Sydney Morning Herald selama beberapa pekan. Lane menerjemahkan buku itu selama beberapa bulan sejak 1980. Menurut dia, tak ada masalah khusus dalam penerjemahan itu. Hanya ada problem biasa seperti adanya kata atau metafora yang lazim dipakai di Indonesia tapi tidak digunakan di luar Indonesia.

Lane mencontohkan, Minke digambarkan sebagai orang yang suka bermain perempuan sehingga disebut “buaya”. “Saya terjemahkan buaya dengan crocodile,” tuturnya. Tapi ada kritik agar dia tidak memakai crocodile, tapi wolf (serigala) karena di Barat, terutama di Amerika Serikat, lelaki yang doyan bermain perempuan disebut wolf. “Tapi saya mempertahankan crocodile dengan alasan, dari konteks, dari membaca, orang berbahasa Inggris akan mengerti maksud crocodile dan orang akan mendapat pengetahuan baru bahwa di Indonesia orang seperti itu disebut buaya, bukan serigala. Perbendaharaan katanya akan bertambah. Mengapa semua harus dibarat-baratkan?”

Menurut Lane, karya Pram telah menginspirasi para aktivis mahasiswa 1980-1990-an. “Mereka mendapat inspirasi nilai-nilai dari buku Pram. Nilai kemanusiaan, keadilan, perlawanan,” katanya. “Untuk mahasiswa yang kemudian menjadi aktivis, karya itu membangkitkan kepekaan terhadap sejarah.”

Ada kontradiksi dalam sejarah Orde Baru. Propaganda antikomunis Orde Baru, Lane menjelaskan, adalah propaganda paling kasar di dunia. Orang PKI dicap sebagai ateis, penyiksa, dan semacamnya. “Kalau orang baca Bumi Manusia, mana biadabnya? Katanya orang dibuang ke Pulau Buru karena biadab, tapi kenapa bukunya kayak gini? Kan, ada kontradiksi,” ujarnya. “Jangan-jangan peneliti sejarah Orde Baru bohong. Jadi orang makin tertarik membaca sejarah.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Tetralogi yang Mengguncang Orde Baru

Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Sarjana Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (1998) dan Master Ilmu Komunikasi dari Universitas Paramadina (2020. Bergabung di Tempo sejak 2001. Meliput berbagai topik, termasuk politik, sains, seni, gaya hidup, dan isu internasional.

Di ranah sastra dia menjadi kurator sastra di Koran Tempo, co-founder Yayasan Mutimedia Sastra, turut menggagas Festival Sastra Bengkulu, dan kurator sejumlah buku kumpulan puisi. Puisi dan cerita pendeknya tersebar di sejumlah media dan antologi sastra.

Dia menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (2020).

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus