Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Burhanuddin Radzi menciptakan karakter Upin dan Ipin setelah pensiun dari perusahaan minyak.
Ia dan istrinya ingin ada film animasi yang berisi budaya Melayu.
Tak punya pengetahuan dan pengalaman membuat film, Burhanuddin nekat membangun rumah produksi Les' Copaque.
Begitu tayang pertama kali di TV9 pada 2007, enam episode seri animasi Upin & Ipin langsung meledak. Menjelang Idul Fitri tahun itu, jumlah penontonnya mencapai 1,5 juta—menggeser SpongeBob SquarePants dan hanya tertinggal 100 ribu dari penonton kartun Jepang, Doraemon. Jumlah penonton karakter anak kembar Malaysia itu kian bertambah setelah merambah televisi Indonesia dan menjadi fenomena global ketika menjadi nomine Oscar 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEDUNG tiga lantai berbentuk segitiga di pusat perniagaan Shah Alam, Selangor, Malaysia, berdiri agak mencolok. Dengan tembok berwarna kuning, biru, dan abu-abu, gedung ini segera dikenali sebagai rumah produksi Les’ Copaque dari baliho besar di atasnya. Bagi anak-anak Malaysia dan Indonesia, Les’ Copaque bukan nama asing karena sering muncul di bagian kredit akhir serial animasi Upin & Ipin.
Upin & Ipin adalah animasi paling digemari di negara dua jiran. Di Malaysia, enam episode seri pertama pada 2007 yang tayang di TV9 ditonton 1,5 juta orang. Ini angka yang fantastis untuk ukuran animasi lokal karena bisa menggeser popularitas SpongeBob SquarePants, animasi laris dari Amerika Serikat. Jumlah penonton Upin & Ipin di TV9, sebuah jaringan televisi swasta Malaysia yang berdiri pada 2003, hampir menyamai kartun Jepang yang populer, Doraemon.
Burhanuddin Radzi dan Ainon Ariff di kantor Les' Copaque, pada 2011. (Foto: Les' Copaque)
Kantor Les’ Copaque kian mencolok karena di depan pintunya terparkir Ferrari merah. Siapa saja yang bertandang ke studio Upin & Ipin siang hari itu, Rabu, 29 Juni lalu, akan melihat mobil mewah berlogo kuda jingkrak seharga Rp 4,25 miliar itu di sana. Tiga lelaki menyambut kami—rombongan Ikatan Setiakawan Wartawan Malaysia dan Indonesia—di pintu kantor Les’ Copaque. Mereka necis memakai jas dengan daleman kaus, khas tampilan anak-anak muda profesional sekarang.
Di antara mereka berdiri seorang lelaki beruban. Bersalut jins dan kaus berkerah hitam, ia hanya memakai sepatu olahraga tanpa tali dan kaus kaki. Ia tersenyum karena tak memakai masker. Matanya agak merah seperti baru bangun tidur. “Saya Burhan, selamat datang di Les’ Copaque,” tuturnya. Suaranya tak asing, nadanya pelan dengan cengkok Melayu yang kental.
Di ruang tamu kantor Les’ Copaque, tiga meja sudah berisi penuh hidangan makan siang. Burhan mempersilakan tamu-tamu menyantapnya. Karena kursi di lobi penuh, ia masuk ke ruang rapat. Di sana juga sudah tersedia hidangan. Saya mengikutinya karena penasaran pada suara khasnya. Saya curiga ia salah satu pengisi suara Upin & Ipin.
Menolak memberikan basa-basi yang diminta panitia, Burhan mempersilakan tamu-tamunya langsung makan. Ia sendiri mengambil piring, menyerok nasi, dan ayam goreng kuah asam-pedas. “Ini Pak Haji Burhanuddin, pemilik Les’ Copaque,” ujar Karyabudi Mohamad Aris, International Marketing Manager Les’ Copaque, yang duduk di sampingnya.
“Saya yang isi suara Tok Dalang,” Burhan menyahut. Nah, benar, kan? Dugaan saya tak salah. Suara Haji Burhanuddin Md. Radzi memang persis suara Tok Dalang, seorang kakek di Kampung Durian Runtuh yang bijak, tinggal sendiri, dan suka bermain dengan anak-anak mengenalkan permainan-permainan tradisional Melayu. Tok Dalang yang arif juga suka mengajak Upin dan Ipin memungut durian di kebunnya malam-malam. Ia mengajarkan kebajikan dengan tulus.
Burhanuddin Radzi (tengah) dan pengisi suara Upin & Ipin Asyiela Putri (kedua kanan), saat konferensi pers mengenai Film Animasi Upin & Ipin Keris Siamang Tunggal, pada Januari 2019. (Foto: Les' Copaque)
Tak seperti perawakan Tok Dalang yang botak dan kurus hingga terlihat tulang-tulang rusuknya karena kemeja pangsinya tak pernah ia kancingkan, Burhan lumayan tambun. Usianya 66 tahun sekarang. Sambil mengunyah makanan, ia menceritakan awal mula mendirikan Les’ Copaque dan membuat serial Upin & Ipin hingga terkenal ke seluruh dunia dan menjadi nomine Oscar 2020.
Syahdan, pada 2003, Burhan berhenti kerja dari Dayang Enterprise Sdn Bhd, sebuah perusahaan minyak di Miri, kota kedua terbesar di Sarawak, sisi Malaysia di Pulau Kalimantan. Perusahaan minyak ini hampir bangkrut karena kontrak-kontraknya mengebor minyak hampir habis. Burhan diminta menjadi “pengarah urusan kongsi” pada 1994.
Karena berhasil mendatangkan kontrak baru hingga pendapatan Dayang naik dari RM 8 juta menjadi RM 163 juta pada 2000, perusahaan menawarinya saham. Burhan berhenti kerja karena Dayang hendak melantai di bursa Malaysia. Bagi Burhan, ini tugas yang berat karena perusahaan menghimpun dana masyarakat.
Selama dua tahun setelah pensiun, ia hanya bermain golf. Tapi Dayang yang makin maju dengan kontrak-kontrak baru membuat sahamnya terus naik. Tabungannya makin tebal. “Saya jadi orang kaya,” ujarnya, terbahak. Istrinya, Ainon Ariff, pun bertanya apa rencana suaminya dengan uang yang banyak itu. Bingung karena tak punya rencana, Burhanuddin bertanya balik ke istrinya.
Ia terkejut mendengar keinginan Ainon. Tak tebersit dalam pikiran Burhanuddin, Ainon ingin membuat film. Sebagai penggemar film India, Ainon geram karena tak ada film Melayu yang bagus. “Jika kita buat pasti bisa lebih bagus,” katanya, menirukan Ainon. Burhanuddin tak langsung setuju karena tak punya pengalaman dan pengetahuan membuat film.
Karakter dari serial televisi Upin dan Ipin. (Dokumentasi Les' Copaque)
Pada 1976, Burhanuddin datang ke Indonesia. Ia diterima sebagai mahasiswa Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung. “Teman seangkatan saya jadi menteri sekarang,” tuturnya, merujuk pada Sekretaris Kabinet Pramono Anung Wibowo. Baru satu tahun kuliah, pemerintah menghentikan kegiatan belajar-mengajar karena muncul demonstrasi mahasiswa ITB menuntut Presiden Soeharto mundur. Burhanuddin pun pulang ke Malaysia.
Ia melanjutkan kuliah di jurusan perminyakan di Universitas Teknologi Malaysia hingga lulus dan bekerja di Petronas Carigali Sdn Bhd, perusahaan negara pengeboran minyak. Setelah sepuluh tahun bekerja di Sarawak, Burhanuddin pulang ke Kuala Lumpur dan bekerja di sebuah perusahaan minyak besar. Tapi ia hanya satu tahun di sini. Ia mundur dan mendirikan perusahaan kontraktor minyak hingga dipinang Dayang Enterprise.
Ainon meyakinkan Burhanuddin bahwa membuat film akan menguntungkan. Meski tetap cemas, Burhanuddin setuju. Tapi, begitu mulai mencari informasi tentang pembuatan film, ia kian khawatir karena banyak tokoh film dunia gagal pada awalnya. Steven Spielberg pernah gagal. Bahkan pelakon India Shah Rukh Khan juga tak gemilang di permulaan kariernya. Apalagi di Malaysia industri film sedang lesu.
Pada 2000, pemerintah Malaysia sampai harus menyediakan hibah RM 200 juta bagi siapa saja yang hendak menghidupkan kembali film Melayu. Fokusnya adalah merangsang film-film animasi. Tapi, tetap saja, Burhanuddin tak melihat industri ini menjanjikan. Ainon, di sisi lain, tetap meyakinkannya bahwa film mereka akan berhasil. Burhanuddin pun tunduk pada keinginan istrinya dan mendirikan Les’ Copaque Production Sdn Bhd.
Gedung Les’ Copaque Production di kompleks perniagaan Shah Alam Selangor, Malaysia, 29 Juni 2022. TEMPO/Bagja Hidayat
Nama Les’ Copaque bukan diambil bahasa Prancis. Les’ Copaque adalah nama keren-kerenan bikinan Burhanuddin yang diambil dari ungkapan “last kopék”. Ini istilah dalam permainan kartu remi ketika hendak gim. Peserta terakhir akan melihat kartu tersisa dan menghitung kartu lawan untuk membuat keputusan ambil atau lempar untuk menang. “Last kopék” bisa diartikan “percobaan terakhir”. “Waktu muda saya suka main kartu,” ujarnya.
Les’ Copaque adalah permainan terakhir Burhanuddin. Jika ia gagal membuat film atau bisa membuat film tapi sedikit penontonnya, ia sudah siap menutup perusahaan ini, meski uang tabungan pensiunnya melayang. Dalam hitungan Burhanuddin, modal membuat film animasi sekitar RM 4 juta atau Rp 14 miliar.
Setelah Les’ Copaque berdiri, ia dan Ainon segera merancang cerita film animasi. Judulnya Geng: Pengembaraan Bermula yang bercerita tentang Badrol dan Lim yang berlibur ke Kampung Durian Runtuh. Badrol adalah cucu Tok Dalang. Karena itu, dalam ide asli Burhanuddin dan Ainon, Upin dan Ipin bukan tokoh utama. Karakternya muncul ketika mereka mengantar Badrol dan Lim ke rumah Tok Dalang akibat bus yang membawa mereka mogok.
Untuk memvisualkan cerita, Burhanuddin merekrut empat animator. Dua bulan kemudian ia membangun studio kecil untuk sulih suara. Jumlah pegawai bertambah menjadi delapan orang. Mereka orang-orang yang punya pengalaman membuat film kartun. Selama delapan bulan Burhanuddin berdiskusi dengan mereka, terutama membuat alur dan cakupan kerja tiap orang. Setelah semua persiapan matang, Burhanuddin baru mengajak para pegawainya mulai memproduksi film Geng.
Karena cakupan kerja sudah terlihat, delapan orang tidak cukup membuat satu film animasi tiga dimensi. Burhanuddin lalu merekrut 12 pegawai lain. Masalahnya, cerita belum terlalu solid. Dalam Bila Atok Ranggi Berbicara, otobiografinya yang terbit pada awal Juni 2022, Burhanuddin bercerita bahwa istrinya ingin film animasi yang mereka buat berisi budaya Melayu dengan cara penyampaian yang menghibur dan diterima secara global.
Pada April 2007, Malaysia’s Digital Economy Agency—lembaga pemerintah yang menyediakan hibah untuk industri kreatif—mengajak Burhanuddin menghadiri Festival Film Cannes bersama sutradara dan produser lain. Burhanuddin pun bertemu dengan pelaku industri film lain, tak hanya dari Malaysia, juga dari seluruh dunia. Dari sini ia mendapat pengetahuan bahwa ide filmnya tak cocok untuk pemirsa di Eropa, atau Jepang, atau Amerika.
Seorang yang membuatnya terkesan adalah ketika mengobrol dengan Ketua Pegawai Ekskutif TV9. Ini stasiun televisi swasta baru cabang TV3 yang baru mengudara setahun. Kepada Dato' Khairul Anwar Salleh, Burhanuddin bercerita ihwal proyek filmnya. Khairul tertarik, tapi menginginkan seri animasi untuk mengisi acara Ramadan.
Karakter Upin dan Ipin di acara ulang tauhn MNCTV, Oktober 2017. (Foto: Les' Copaque)
Pulang ke Selangor, Burhanuddin bercerita tentang pengalamannya di Prancis. Ketika mengajukan permintaan Khairul Anwar, para pegawainya menolak karena bisa mengganggu produksi film Geng. Tapi Burhanuddin memaksa. Ia pikir televisi bisa menjadi tes ombak dalam mengukur penerimaan penonton sekaligus mempromosikan filmnya.
Bagi Burhanuddin, mengubah film menjadi seri televisi sebuah peluang besar. Bagi dia, cara mudah menarik perhatian penonton Malaysia adalah menyajikan animasi berkonten Islami. Dari 32,4 juta penduduk negeri ini, 63 persen muslim. Maka mengisi acara Ramadan adalah cara mudah mengenalkan karakter-karakter film Geng.
Setelah mendapat persetujuan Ainon Ariff, Burhanuddin meminta kru Les’ Copaque menyiapkan enam episode seri Ramadan. Panjang tiap episode enam menit. Karakter utamanya adalah si kembar penduduk Kampung Durian Runtuh tersebut. Pada waktu itu Burhanuddin belum punya nama mereka. Seorang kru menganjurkan nama mereka mengandung huruf U dan I, yang berarti “you and I”. Burhanuddin menambahkan kata “pin” di belakangnya. Sejak saat itu lahirlah Upin dan Ipin.
Ainon meminta penulis skrip menyiapkan enam episode itu. Skrip cepat jadi, tapi Ainon tak sreg. Cerita yang dibuat para penulis menekankan kenakalan Upin-Ipin dalam mengakali puasa. “Itu akan memberi contoh buruk,” katanya. Akhirnya, Ainon sendiri yang menulis skrip. Tak bisa mengetik di komputer dan tak punya pengalaman tinggal di desa, Ainon kerepotan merangkai cerita. “Jadi Atok terpaksa menolong menuliskan pengalaman sebagai anak kampung,” kata Burhan, menyebut panggilannya di rumah.
Demikianlah Upin & Ipin mengudara di TV9 pada Oktober 2007. Ceritanya tentang keseharian penduduk Durian Runtuh. Ainon berpesan kepada sutradara agar dialog Upin-Ipin pendek dan ringkas. Sebab, anak-anak tak boleh berpetuah, agar tak sama dengan film anak lain yang memakai dialog orang dewasa. Petuah datang dari Tok Dalang dan Opah, nenek Upin-Ipin.
Ainon membuat enam seri Upin & Ipin secara berurut, dimulai dari sahur pertama, puasa pertama, hingga orang Durian Runtuh bersiap merayakan Idul Fitri. Nah, karena Idul Fitri berisi silaturahmi, Burhanuddin meminta ayah-ibu Upin-Ipin ditampilkan. “Rupanya prosesnya butuh dua pekan membuat karakter baru,” ucap Burhanuddin. “Jadi adegan diubah dengan ziarah ke kuburan ayah Upin-Ipin.” Sejak saat itu karakter Upin dan Ipin menjadi anak kembar yatim-piatu.
Upin dan Ipin juga berkepala plontos meski mereka sudah berusia 10 tahun. Untuk membedakan keduanya, Upin memiliki kuncir selembar dan kaus bertulisan “U”. Upin lebih dulu lahir lima menit dari adiknya. “Tadinya mau memakai rambut, tapi biaya render warna mahal dan lama,” tutur Burhanuddin. Render adalah istilah teknologi untuk transfer warna animasi ke dalam audio-visual.
Burhanuddin siap untuk presentasi episode pertama di TV9. Tapi ruangan Khairul Anwar tak punya pemutar cakram DVD. Walhasil, video diputar di aula kantor TV9 sehingga semua karyawan bisa menontonnya. “Jika karyawan saya di ujung sana tertawa tanpa melihat videonya, pasti program ini amat bagus,” kata Khairul.
Ramalan Khairul terbukti. Anak-anak Malaysia senang pada serial itu karena ceritanya sederhana dan lucu. Jumlah penonton enam episode 1,5 juta, rekor baru untuk animasi lokal dan jumlah penonton terbanyak TV9.
Demikianlah cerita Upin & Ipin menjadi fenomena global. Studio Les’ Copaque kini bertambah luas, bahkan memerlukan gedung baru karena produksinya macam-macam. Tak hanya film dan miniseri, suvenir pun diproduksi. Sewaktu saya ke sana, tiga lantai studio penuh oleh pelbagai divisi: dari tim penulis skrip, pembuat konsep, animator, hingga pembuat musik latar.
Upin & Ipin mendapat pelbagai penghargaan, termasuk menjadi nomine Oscar 2020 untuk animasi terbaik. Serial ini kalah oleh Toy Story 4. Bahkan film Geng: Pengembaraan Bermula yang rilis pada 2009 membukukan pendapatan RM 6,3 juta. Les’ Copaque ternyata bukan percobaan terakhir Burhanuddin. Dengan manajemen yang solid, ia tak menutup permainan kartu dengan “last kopék”. “Alhamdulillah, dari proyek main-main kami bisa sebesar ini,” katanya, seraya menunjuk Ferrari yang terparkir di depan kantornya.
Artikel lain:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo