Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah Sukarno sebagai penulis naskah drama dan sutradara teater.
Selama masa pembuangannya di Ende, Bung Karno mementaskan belasan lakon sandiwara karyanya.
Pementasan perdana sandiwara Dokter Setan mendapat sambutan luar biasa.
SUATU malam pada 1935-an, atas izin Pater Gerardus Huijtink, SVD, pastor paroki Katedral Ende, Nusa Tenggara Timur, Bung Karno menggelar pementasan sandiwara di gedung Aula Immakulata milik paroki. Sukarno menyulap aula itu menjadi ruang pementasan sandiwara karya perdananya berjudul Dokter Syaitan (Dokter Setan). Sandiwara tersebut adalah interpretasi Sukarno atas kisah Boris Karloff dalam film Frankenstein yang saat itu tengah populer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panggung menggambarkan sebuah laboratorium yang di tengahnya tertancap sebatang pipa hingga menyentuh atap. Dari pipa itu tergantung kawat dan kabel ke meja operasi di tengah panggung. Pentas menampilkan tokoh dokter bernama Marzuki dan perawat Hayati yang berdiri di dekat meja operasi menghadap mayat yang terbujur kaku. Dokter Marzuki menandaskan bahwa mayat itu akan bangkit dan hidup lagi. “Kita akan menamakannya Robot,” kata dokter Marzuki ke arah penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pementasan perdana sandiwara Dokter Syaitan itu mendapat sambutan luar biasa. Sandiwara tersebut membawa pesan bahwa mayat yang hidup lagi bagi Sukarno adalah metafora tubuh Indonesia yang mati suri bisa bangkit dan hidup kembali suatu waktu nanti.
Boleh dibilang tak banyak yang tahu bahwa Sukarno berbakat menjadi penulis naskah dan sutradara teater serta pemimpin kelompok sandiwara. Kisah tersebut diceritakan Lambert Giebels dalam bukunya, Soekarno: Biografi 1901-1950. Giebels bercerita, semasa pembuangannya di Ende, Bung Karno membentuk Perkumpulan Sandiwara Kelimutu (Kelimoetoe Tonil Club). Anggota perkumpulan yang jumlahnya sekitar 50 orang itu datang dari berbagai kalangan masyarakat biasa. Ada petani, nelayan, sopir, montir, pemetik kelapa, tukang jahit, guru, juga pemuda setempat.
Bung Karno mengajari mereka bermacam hal agar dapat memainkan peran masing-masing, dari mengeja kata hingga berakting. Perempuan dalam perkumpulan sandiwara itu tidak ikut bermain. Mereka hanya menyediakan perlengkapan atau tampil di bagian selingan sebagai penyanyi atau penari.
Kelompok teater itu biasanya berlatih drama di rumah pengasingan Bung Karno, tepi pantai, atau alam terbuka lain. Sebuah drama rata-rata membutuhkan waktu latihan 40 hari. Teks naskah hanya satu sehingga Sukarno sendiri yang mesti membacakan dialog untuk setiap pemeran berulang-ulang agar bisa dihafalkan dan diingat.
Setiap kali selesai latihan atau pementasan drama, Sukarno punya kebiasaan mengajak para pemainnya berkumpul untuk makan di rumah pengasingannya. Mereka berdiskusi mengenai latihan atau pertunjukan yang baru selesai. “Mereka menunjukkan kegembiraan yang tiada taranya. Terutama kalau sang sutradara menunjukkan kepuasannya,” tutur Inggit Garnasih, istri Bung Karno, dalam buku biografi Kuantar ke Gerbang.
Kesuksesan pementasan drama Dokter Syaitan menggairahkan energi kreatif Sukarno. Apalagi ia mendapat dukungan yang sangat besar dari para pastor yang sejalan dan mendukung gagasan perjuangannya untuk merdeka dari penjajah. Selain dibolehkan memakai aula paroki Katedral (saat ini paroki tersebut berlokasi di area Percetakan Arnoldus, Ende) sebagai tempat pementasan, Bung Karno mendapat dukungan dari Uskup Ende di Ndona yang menyumbang cat untuk mewarnai layar pertunjukan dan lambang-lambang sandiwara. Adapun karcis pertunjukan dicetak di Percetakan Arnoldus milik para pastor dan bruder Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD).
Sukarno juga sering datang ke Biara Santo Yosef. Selain mengisi waktu dengan membaca buku, majalah, atau surat kabar, Bung Karno kerap berkonsultasi tentang rencana dan jadwal pementasan drama hasil karyanya serta bertukar pikiran dan berbincang akrab dengan para biarawan, khususnya dua misionaris asal Belanda, yaitu Pater Gerardus Huijtink, SVD, dan Pater Johannes Bouma, SVD, yang menaruh simpati penuh pada perjuangannya.
Dalam keterbatasan sarana dan fasilitas sebagai orang yang diasingkan Belanda, energi kreatif Sukarno tetap menyala. Semangat Bung Karno untuk terus menulis naskah dan mementaskan drama tak pernah surut. Bersama kelompoknya, Sukarno menanamkan gerakan kemerdekaan dan revolusi melalui ruang simbolis teater, karena ia hidup dalam pengawasan polisi suruhan pemerintah kolonial Belanda.
Selama empat tahun masa pembuangan di Ende, Sukarno tercatat menulis setidaknya 12 naskah drama. Selain menciptakan naskah Dokter Syaitan yang terinspirasi cerita film Frankenstein, Sukarno menulis Aero Dinamit dan Rahasia Kelimutu serta Indonesia 1945. Dalam naskah Indonesia 1945, Bung Karno menggambarkan pembebasan Indonesia pada 1945.
Ada satu naskah drama yang juga cukup menarik berjudul Rendo. Naskah ini terinspirasi drama percintaan klasik Portugis yang diceritakan turun-temurun. Diceritakan seorang nakhoda kapal Portugis, Don Louis Pareira, jatuh cinta kepada gadis cantik jelita dari Flores bernama Rendo. Gadis ini mempunyai rambut keemasan yang panjangnya hampir 7 meter. Kapten itu ingin menculik gadis tersebut, tapi para misionaris mencegahnya. Ia lantas meradang. Sebagai balasan, kapten itu menembaki para misionaris dengan meriam kapal sampai hancur lebur.
Kini salinan naskah-naskah drama karya Sukarno itu tersimpan di rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende. Menurut catatan, salinan naskah-naskah itu diserahkan oleh Ibrahim Haji Umar Syah, pendamping Sukarno di kelompok sandiwara Kelimutu, kepada Museum Rumah Pengasingan Bung Karno.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo