Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Biara Santo Yosef dan Dua Rohaniwan Belanda

Biara Santo Yosef punya peran dalam sejarah pergulatan intelektualisme yang mengasah kesadaran Bung Karno muda saat dalam pengasingan di Ende.

11 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Interaksi Sukarno dengan dua rohaniwan asal Belanda di Biara Santo Yosef, Ende.

  • Hampir setiap hari Bung Karno membaca buku dan majalah di perpustakaan Biara Santo Yosef.

  • Serambi Soekarno sebagai situs untuk mengenang jejak intelektualisme Bung Karno.

BIARA Santo Yosef berdiri tenang di sebuah bukit kecil dekat Gereja Katedral Christo Regi yang terletak di Jalan Katedral Nomor 5, Kelurahan Potulando, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Biara tua milik anggota Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) yang berdiri pada 19 Maret 1928 ini boleh dibilang mempunyai peran signifikan dalam sejarah intelektualisme dan mengasah kesadaran Bung Karno muda yang kala itu menjadi interniran Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarak antara rumah pengasingan Sukarno di Jalan Perwira dan Biara Santo Yosef di Jalan Katedral sekitar 1 kilometer. Jarak itu bisa ditempuh sekitar 10 menit dengan berjalan kaki. Selama empat tahun masa pembuangan di Ende (1934-1938), hampir setiap hari Bung Karno mengunjungi Biara Santo Yosef. Ia berbincang dan bertukar pikiran terutama dengan dua biarawan asal Belanda di sana, yakni Pater Gerardus Huijtink, SVD, pastor paroki Katedral Ende waktu itu; serta Pater Johannes Bouma, SVD, pemimpin Regio SVD Nusa Tenggara dan Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persahabatan tiga orang itu makin lama makin intim. Saking akrabnya mereka, Bung Karno pun diizinkan leluasa bertamu ke Biara Santo Yosef dan diperbolehkan membaca buku, majalah, serta surat kabar di perpustakaan biara itu. Bahkan Pater Huijtink rela memberikan kunci kamarnya kepada Sukarno jika ia ke luar kota untuk pelayanan pastoral. Mereka menjadi teman diskusi dan bertukar pikiran tanpa rasa curiga. Diskusi itu menghasilkan ide dan gagasan brilian mengenai upaya memerdekakan Indonesia.

Hampir setiap hari Sukarno berjalan kaki mendaki bukit kecil di samping Gereja Katedral untuk membaca buku, majalah, dan koran berbahasa asing. Sukarno memang menguasai beberapa bahasa asing. Menurut informasi yang diterima pengurus Serambi Soekarno di Biara Santo Yosef, Pater Yosef Seran, SVD, dari Pater Hendrick Daros, SVD -- pendiri Serambi Soekarno -- saat itu Sukarno juga berkesempatan membaca dokumen Gereja Katolik berupa Ensiklik Rerum Novarum (Masalah Modern) yang ditulis Paus Leo XIII pada 1891. Rerum Novarum adalah ensiklik pertama ajaran sosial gereja yang menaruh fokus keprihatinan pada kondisi kerja waktu itu, juga nasib para buruh.

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Doktor Otto Gusti Madung, SVD, mengatakan Rerum Novarum adalah ensiklik Paus tentang ajaran sosial gereja yang secara khusus berbicara tentang hak-hak buruh. Lahirnya dokumen ini sangat dipengaruhi oleh Revolusi Industri dan gerakan kaum buruh pada masa itu. Secara filosofis, Paus Leo juga terinspirasi buku Karl Marx, Das Kapital, yang ditulis pada 1841. Karya Marx ini juga mungkin telah menjadi inspirasi bagi gerakan yang melahirkan generasi kedua hak-hak asasi manusia. 

Generasi kedua hak-hak asasi manusia, menurut Otto Gusti Madung, lahir sebagai hasil perjuangan kaum buruh industri dan kelompok kelas bawah lain di abad ke-19. Latar belakang filosofisnya adalah sosialisme. Generasi kedua ini memuat hak asasi sosial, seperti hak atas tempat tinggal, pekerjaan, upah yang adil, dan nafkah hidup. Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar 1945 masuk kelompok ini.

Otto Madung menyebutkan Sukarno sebagai seorang Marxis pasti mengikuti semua perkembangan ini. Ketika membaca Rerum Novarum di Ende, dengan sendirinya dia langsung menghubungkan bacaan itu dengan pemikiran Marx. “Saya menduga ini semua telah mendorong Sukarno memasukkan pasal sosialisme ke UUD 45, yakni pasal 33 dan 34. Juga sila tentang keadilan sosial dalam Pancasila,” katanya ketika dihubungi lewat telepon, Kamis, 9 Juni lalu.

Waktu berlalu. Jejak intelektualisme Sukarno di Biara Santo Yosef kemudian mendorong Pater Hendrik Daros, SVD, merancang pendirian Serambi Soekarno. Situs bersejarah untuk mengenang Bung Karno itu diresmikan oleh Provinsial SVD Ende, Pater Lukas Jua, SVD, pada 14 Januari 2019—bertepatan dengan 85 tahun kedatangan Sukarno ke Ende sebagai tempat pembuangannya. 

Di situs Serambi Soekarno, ada patung Bung Karno muda yang sedang duduk merenung setelah membaca buku-buku yang tergeletak di sampingnya di atas meja kecil. Ia merenung sambil memandang laut lepas yang menembus hingga Pulau Ende. Selain itu, ada lukisan berukuran besar yang memperlihatkan keakraban Sukarno dengan dua biarawan di Biara Santo Yosef. Dalam lukisan itu Sukarno tampak sedang berdiri diapit oleh Pater Gerardus Huijtink dan Pater Johannes Bouma sambil berdiskusi. Ada pula Pojok Buku Bung Karno yang berisi deretan rak yang memajang buku-buku tentang Sukarno.  

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Steph Tupeng Witin

Steph Tupeng Witin

Kontributor Tempo di Ende

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus