Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di kuningan, Sisa-Sisa Otorita

Tahun 1972 Kuningan, Jakarta dijadikan Daerah Otorita yang dikoordinir pemerintah. Pelaksanaan pembebasan tanah seret. Satu sebab adalah krisis Pertamina. Penduduk mengeluh soal tanah & proyek MHT. (kt)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERIBUTAN menyangkut daerah otorita di Jakarta tak hanya terjadi di Otorita Pluit. Tapi juga Ororita Kuningan. Ini semakin jelas ketika Komisi C DPRD DKI Jakarta melihat-lihat daerah itu dua pekan lalu. Maksud kunjungan itu untuk menyaksikan perkampungan yang direncanakan akan didandani. Tiba-tiba saja penduduk muncul dengan keluhan. "Kami seakan-akan dikubur hidup-hidup oleh pemerintah DKI," seperti dikatakan Alimuddin Firdaus (49) seorang di antara mereka. Ceritanya begini. Tahun 1972 Kuningan dijadikan daerah otorita. lni berarti pembangunan di daerah itu dikordinir oleh pemerintah. Dan yang dinamakan pembangunan tentu saja adalah proyek-proyek yang bentuk atau modelnya cocok dengan selera metropolitan. Lihat saja yang sudah ada. Beberapa gedung kedutaan besar di samping Gelanggang Mahasiswa serta Pusat Perfilman. Untuk berbagai keperluan itu tanah rakyat harus dibebaskan. Dalam Surat Keputusan Gubernur DKI ketika itu disebutlah tanah yang harus dibebaskan meliputi 410 hektar. Pelaksanaannya seret. Salah satu sebabnya, sebagaimana diakui seorang pejabat di kantor Walikota Jakarta Selatan, "krisis Pertamina beberapa waktu lalu memang berpengaruh banyak pada para pengusaha real estate. " Alhasil pembangunan di daerah itu tersendat-sendat karena PT Town City & Properties yang ditunjuk sebagai teman membangun Badan Otorita di sana turut jadi lesu. Walikota Jakarta Selatan Baka Perianakusumah sebagai ketua Badan Pelaksana Otorita (BPO) Kuningan mengakui badan yang dipimpinnya impoten. Alasannya "keseimbangannya" terlalu berat. "Tanah mahal." Karena PT Town City & Properties terengah-engah membangun daerah itu, satu waktu BPO mengadakan kerjasama dengan perusahaan lain. Rencana tanah yang akan dibebaskan BPO sudah dikurangi menjadi hanya 230 hektar. Alimuddin dan kawan-kawan berbicara mengenai tanah 180 hektar yang dikeluarkan dari rencana semula. Dikatakan, sekalipun tanah itu sudah tidak termasuk daerah otorita namun tak berarti masyarakat pemiliknya bebas memperjual-belikan atau membangunnya. Tentu saja itu dibantah Walikota Jakarta Selatan. Menurut Walikota, kalau tanah itu di luar otorita, bebas. Kalau termasuk otorita tentu saja segala sesuatunya harus melalui BPO. Yang dipermasalahkan Alimuddin dan kawan-kawan bukan hanya soal bebas tidaknya mereka menentukan nasib tanahnya masing-masing. Tapi juga ini proyek Muhamad Husni Thamrin sebagai proyek perbaikan kampung Pemerintah DKI Jakarta ternyata belum menjamah wilayah mereka. Sebab bila proyek MHT mau dilaksanakan, pengeluaran sebagian dari tanah yang semula termasuk daerah ororita disebut-sebut harus dilengkapi SK Gubernur pula. Dan itu belum ada. Begitu ruwetkah masalahnya bagi satu kampung untuk mendapat giliran MHT? "Masalahnya adalah ini," kata saka "uang". Atau, hanya soal giliran saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus