Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Pampasan perang jepang liku-liku

Pengarang: masashi nishihara hawaii: east-west center, univ. of hawaii, 19? resensi oleh: burhan magenda. (bk)

31 Maret 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

The Japanese and Sukarno's Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations 1951-1966 Pengarang: Masashi Nishihara Penerbit: East-West Center, University of Hawaii bekerjasama dengan Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University. Tebal: 244 halaman (dengan indeks) PADA tahun 1970-an, hubungan Jepang-Indonesia ditandai berbagai krisis. Salah satu yang terpenting adalah Peristiwa 15 Januari 1974. Pada waktu itu kritik rerhadap kehadiran Jepang di Indonesia terutama berkisar pada sikapnya sebagai "binatang ekonomi." Perusahaan manufaktur Jepang membanjir di Indonesia, seringkali dengan kemudahan yang sangat nienyolok, dan menyaingi industri pribumi. Dalam mencari pasangan berdagang, modal Jepang lebih tertarik pada partner non-pribumi dengan koneksi yang kuat pada pusat kekuasaan, sehingga lebih membakar sentimen yang sudah ada. Dalam mencari akar sejarah dari sentimen anti-Jepang di kalangan orang Indonesia, buku-buku yang ada umumnya hanya berpusat pada period,- pendudukan Jepang. Padahal, satu periode penting yang juga turut menentukan perkembangan hubungan kedua negara adalah proses pembayaran pampasan perang pada tahun 1950-an serta pelaksanaannya pada tahun 1960-an. Pembahasan mengenai masalah ini belum pernah dilakukan, padahal pengaruhnya cukup besar dalam mempertebal sentimen anti Jepang sebagai warisan masa pendudukan dulu. Jurang literatur inilah yang diisi Mishihara dengan bukunya, yang bermula dari disertasi doktornya pada Universitas Michigan, AS. Secara kronologis, Nishihara menceritakan betapa sulitnya memperoleh pampasan perang dari Jepang. Mula-mula misi Juanda ke Jepang tahun 1952 menuntut pampasan perang sebesar 17« milyar dollar AS. Sebab, Indonesia kehilangan 4 juta jiwa selama pendudukan Jepang dan bermilyar dollar AS dalam barang. Jepang kaget sekali karena tuntutan itu katanya sangat tinggi. Bahkan seorang pejabatnya, Wajima Keiji yang menjadi Kepala Biro Asia Deplu menganggap Jepang tidak perlu bayar pampasan sebab tidak pernah perang dengan Indonesia. Akibatnya, sampai tahun 1955, hubungan kedua negara tegang karena soal pampasan. Perundingan berlangsung terus sampai tahun 1957. Sementara itu, Pilipina telah memperoleh pampasan dari Jepang, dan Indonesia sudah menurunkan tuntutannya menjadi saru milyar dollar AS. Akhirnya, akhir 1957 disepakati pampasan sebesar 800 juta dollar AS, setengahnya dalam bentuk grant, setengahnya lagi sebagai bantuan ekonomi bersyarar ringan. Persetujuan ini dicapai karena peranan yang sangat menentukan dari Adam Malik dan teman-temannya. Bersama-sama dengan Winoto Danuasmoro dan Elkana Tobing (dan setelah campur tangan Sukarno), Adam Malik dapat menembus rintangan dari perundingan resmi berkat hubungannya yang erat dengan Shigetada Nishijima. Tokoh ini punya jalur kepimpinan partai LDP yang berkuasa. Bersama-sama dengan pengusaha terkenal Jepang, Ataru Kobayashi dan Tomoyoshi Shirahata, Nishijima melicinkan jalan sehingga pada awal 1958 perjanjian pampasan perang ditandatangani. Dari semula, pengusaha Jepang sudah terlibat dalam proses pembayaran pampasan perang. Tidak mengherankan, kontrak pembayaran pampasan perang dengan mudah jaruh ke tangan pengusaha yang dekat dengan PM (waktu iru) Kishi. Terkenal di antara mereka adalah Kinoshita yang dapat jatah banyak sekali, tapi tahun 1964 perusahaannya bangkrut. Kontrak pampasan menjadi rejeki yang diperebutkan oleh pengusaha Jepang. Seorang di antara pengusaha tersebut, Masao Kubo, tadinya adalah penghubung antara golongan konservatif Jepang dengan tokoh-tokoh gangster daerah Ginza di Tokyo. Saudara Tua Pada tahun 1959, Kubo memperkenalkan Nemoto Naoko, yang kemudian bernama Ratnasari Dwi, pada Presiden Sukarno. Menurut Nishihara, Dewi juga berperanan banyak dalam pelaksanaan pembayaran pampasan perang dan acapkali menjadi penghubung untuk perusahaan Jepang, seperti Kinoshita dan Tonichi (milik Kubo). Bahkan pada mulanya Dewi ke Indonesia sebagai pegawai perusahaan Tonichi. Dalam bukunya, Nishihara tidak menyimpulkan apakah pampasan perang memperbaiki atau memperburuk hubungan kedua negara. Berlarutnya penyelesaian pampasan sampai enam tahun memperdalam sentimen anti-Jepang di kalangan pejabat pemerintahan Indonesia. Demikian pula, kontrak pampasan perang pada umumnya hanya dinikmati oleh pengusaha Jepang, tidak jarang dengan cara penipuan, seperti dalam pembelian kapal. Tenru saja, mereka bekerjasama dengan para pejabat Indonesia yang waktu itu hilir mudik ke Tokyo. Semuanya ada 36 proyek pampasan perang. Sampai tahun 1968, sebelas proyek belum selesai. Dari yang sudah selesai, 7 proyek tidak baik jalannya sehingga tinggal 18 proyek yang beres. Beberapa di antaranya kemudian ternyata gagal, seperti pabrik kertas di Pematang Siantar, Wisma Nusantara yang terkatung-katung. Proyek yang baik misalnya Hotel Indonesia dan sejenisnya, Proyek Karangkates dan Riam Kanan serta Jembatan Sungai Musi. Yang kurang dibahas Nishihara adalah kegagalan memanfaatkan pampasan perang di bidang kebudayaan dan pendidikan. Ada 378 mahasiswa dan 474 treini Indonesia belajar di Jepang. Tapi, pemilihannya aras dasar politik dan bukan berlandaskan prestasi akademis. Tidak jelas, berapa orang yang lulus. Berbeda dengan negara-negara sarat, seperti AS dan Eropa sarat, Jepang dengan pampasannya tidak berhasil memberikan sumbangan untuk menciptakan suatu lapisan yang terdidik dan ahli di Indonesia. Alat Menekan Sukarno Akibatnya, sentimen anti-Jepang juga sangat kuat di kalangan kaum intelektual Indonesia karena tidak adanya "mahab Jepang" di kalangan mereka. Dalam keseluruhannya, pampasan perang boleh dikatakan makin memperdalam jurang kecurigaan dan salah pengertian rakyat lndonesia terhadap Jepang. Ini tidak menghilangkan kenyataan adanya orang Jepang yang secara tulus ingin membantu Indonesia, seperti diperlihatkan Nishijima dan temannya. Buku Nishihara merupakan sumbangan yang sangat penting untuk memahami proses hubungan kedua negara dalam periode 1950-an dan 1960-an. Tapi, karena kebanyakan bersumber pada pihak Jepang, Nishihara sering membesar-besarkan peranan negaranya, misalnya dalam menengahi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Uraiannya juga berbau paternalisme seorang "saudara tua", misalnya dengan melihat seringnya Sukarno berkunjung ke Tokyo sebagai tanda subordinasi Indonesia pada Jepang. Nishihara justru mengabaikan bagaimana subordinasi Jepang pada AS mempengaruhi penyelesaian pampasan perang. PM Kishi dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat dengan AS, dan penguluran pembayaran pampasan perang haruslah dilihat sebagai bagian dari politik global AS waktu itu yang berpusat pada Perang Dingin. Pampasan perang dipakai sebagai alat untuk menekan Sukarno dan mempengaruhi politik dalam negeri Indonesia. Kekurangan ini sangat terasa untuk suatu buku yang bertujuan menjelaskan masalah politik internasional. Namun, buku ini hanyalah usaha permulaan dari Nishihara untuk mengenal politik Indonesia. Dalam bukunya yang lain, Golkar and Indonesian Election 1971, Nishihara mampu menempatkan dirinya sebagai seorang pengamat politik Indonesia yang teliti dan tidak berat sebelah. Burhan Magenda

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus