The Japanese and Sukarno's Indonesia: Tokyo-Jakarta Relations
1951-1966
Pengarang: Masashi Nishihara
Penerbit: East-West Center, University of Hawaii bekerjasama
dengan Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University.
Tebal: 244 halaman (dengan indeks)
PADA tahun 1970-an, hubungan Jepang-Indonesia ditandai berbagai
krisis. Salah satu yang terpenting adalah Peristiwa 15 Januari
1974. Pada waktu itu kritik rerhadap kehadiran Jepang di
Indonesia terutama berkisar pada sikapnya sebagai "binatang
ekonomi." Perusahaan manufaktur Jepang membanjir di Indonesia,
seringkali dengan kemudahan yang sangat nienyolok, dan menyaingi
industri pribumi. Dalam mencari pasangan berdagang, modal Jepang
lebih tertarik pada partner non-pribumi dengan koneksi yang kuat
pada pusat kekuasaan, sehingga lebih membakar sentimen yang
sudah ada.
Dalam mencari akar sejarah dari sentimen anti-Jepang di kalangan
orang Indonesia, buku-buku yang ada umumnya hanya berpusat pada
period,- pendudukan Jepang. Padahal, satu periode penting yang
juga turut menentukan perkembangan hubungan kedua negara adalah
proses pembayaran pampasan perang pada tahun 1950-an serta
pelaksanaannya pada tahun 1960-an. Pembahasan mengenai masalah
ini belum pernah dilakukan, padahal pengaruhnya cukup besar
dalam mempertebal sentimen anti Jepang sebagai warisan masa
pendudukan dulu.
Jurang literatur inilah yang diisi Mishihara dengan bukunya,
yang bermula dari disertasi doktornya pada Universitas Michigan,
AS. Secara kronologis, Nishihara menceritakan betapa sulitnya
memperoleh pampasan perang dari Jepang.
Mula-mula misi Juanda ke Jepang tahun 1952 menuntut pampasan
perang sebesar 17« milyar dollar AS. Sebab, Indonesia kehilangan
4 juta jiwa selama pendudukan Jepang dan bermilyar dollar AS
dalam barang.
Jepang kaget sekali karena tuntutan itu katanya sangat tinggi.
Bahkan seorang pejabatnya, Wajima Keiji yang menjadi Kepala Biro
Asia Deplu menganggap Jepang tidak perlu bayar pampasan sebab
tidak pernah perang dengan Indonesia. Akibatnya, sampai tahun
1955, hubungan kedua negara tegang karena soal pampasan.
Perundingan berlangsung terus sampai tahun 1957. Sementara itu,
Pilipina telah memperoleh pampasan dari Jepang, dan Indonesia
sudah menurunkan tuntutannya menjadi saru milyar dollar AS.
Akhirnya, akhir 1957 disepakati pampasan sebesar 800 juta dollar
AS, setengahnya dalam bentuk grant, setengahnya lagi sebagai
bantuan ekonomi bersyarar ringan. Persetujuan ini dicapai karena
peranan yang sangat menentukan dari Adam Malik dan
teman-temannya. Bersama-sama dengan Winoto Danuasmoro dan Elkana
Tobing (dan setelah campur tangan Sukarno), Adam Malik dapat
menembus rintangan dari perundingan resmi berkat hubungannya
yang erat dengan Shigetada Nishijima. Tokoh ini punya jalur
kepimpinan partai LDP yang berkuasa. Bersama-sama dengan
pengusaha terkenal Jepang, Ataru Kobayashi dan Tomoyoshi
Shirahata, Nishijima melicinkan jalan sehingga pada awal 1958
perjanjian pampasan perang ditandatangani.
Dari semula, pengusaha Jepang sudah terlibat dalam proses
pembayaran pampasan perang. Tidak mengherankan, kontrak
pembayaran pampasan perang dengan mudah jaruh ke tangan
pengusaha yang dekat dengan PM (waktu iru) Kishi. Terkenal di
antara mereka adalah Kinoshita yang dapat jatah banyak sekali,
tapi tahun 1964 perusahaannya bangkrut. Kontrak pampasan menjadi
rejeki yang diperebutkan oleh pengusaha Jepang. Seorang di
antara pengusaha tersebut, Masao Kubo, tadinya adalah penghubung
antara golongan konservatif Jepang dengan tokoh-tokoh gangster
daerah Ginza di Tokyo.
Saudara Tua
Pada tahun 1959, Kubo memperkenalkan Nemoto Naoko, yang kemudian
bernama Ratnasari Dwi, pada Presiden Sukarno. Menurut
Nishihara, Dewi juga berperanan banyak dalam pelaksanaan
pembayaran pampasan perang dan acapkali menjadi penghubung untuk
perusahaan Jepang, seperti Kinoshita dan Tonichi (milik Kubo).
Bahkan pada mulanya Dewi ke Indonesia sebagai pegawai perusahaan
Tonichi.
Dalam bukunya, Nishihara tidak menyimpulkan apakah pampasan
perang memperbaiki atau memperburuk hubungan kedua negara.
Berlarutnya penyelesaian pampasan sampai enam tahun memperdalam
sentimen anti-Jepang di kalangan pejabat pemerintahan Indonesia.
Demikian pula, kontrak pampasan perang pada umumnya hanya
dinikmati oleh pengusaha Jepang, tidak jarang dengan cara
penipuan, seperti dalam pembelian kapal. Tenru saja, mereka
bekerjasama dengan para pejabat Indonesia yang waktu itu hilir
mudik ke Tokyo.
Semuanya ada 36 proyek pampasan perang. Sampai tahun 1968,
sebelas proyek belum selesai. Dari yang sudah selesai, 7 proyek
tidak baik jalannya sehingga tinggal 18 proyek yang beres.
Beberapa di antaranya kemudian ternyata gagal, seperti pabrik
kertas di Pematang Siantar, Wisma Nusantara yang
terkatung-katung. Proyek yang baik misalnya Hotel Indonesia dan
sejenisnya, Proyek Karangkates dan Riam Kanan serta Jembatan
Sungai Musi.
Yang kurang dibahas Nishihara adalah kegagalan memanfaatkan
pampasan perang di bidang kebudayaan dan pendidikan. Ada 378
mahasiswa dan 474 treini Indonesia belajar di Jepang. Tapi,
pemilihannya aras dasar politik dan bukan berlandaskan prestasi
akademis. Tidak jelas, berapa orang yang lulus. Berbeda dengan
negara-negara sarat, seperti AS dan Eropa sarat, Jepang dengan
pampasannya tidak berhasil memberikan sumbangan untuk
menciptakan suatu lapisan yang terdidik dan ahli di Indonesia.
Alat Menekan Sukarno
Akibatnya, sentimen anti-Jepang juga sangat kuat di kalangan
kaum intelektual Indonesia karena tidak adanya "mahab Jepang"
di kalangan mereka. Dalam keseluruhannya, pampasan perang boleh
dikatakan makin memperdalam jurang kecurigaan dan salah
pengertian rakyat lndonesia terhadap Jepang. Ini tidak
menghilangkan kenyataan adanya orang Jepang yang secara tulus
ingin membantu Indonesia, seperti diperlihatkan Nishijima dan
temannya.
Buku Nishihara merupakan sumbangan yang sangat penting untuk
memahami proses hubungan kedua negara dalam periode 1950-an dan
1960-an. Tapi, karena kebanyakan bersumber pada pihak Jepang,
Nishihara sering membesar-besarkan peranan negaranya, misalnya
dalam menengahi konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Uraiannya
juga berbau paternalisme seorang "saudara tua", misalnya dengan
melihat seringnya Sukarno berkunjung ke Tokyo sebagai tanda
subordinasi Indonesia pada Jepang.
Nishihara justru mengabaikan bagaimana subordinasi Jepang pada
AS mempengaruhi penyelesaian pampasan perang. PM Kishi dikenal
sebagai tokoh yang sangat dekat dengan AS, dan penguluran
pembayaran pampasan perang haruslah dilihat sebagai bagian dari
politik global AS waktu itu yang berpusat pada Perang Dingin.
Pampasan perang dipakai sebagai alat untuk menekan Sukarno dan
mempengaruhi politik dalam negeri Indonesia.
Kekurangan ini sangat terasa untuk suatu buku yang bertujuan
menjelaskan masalah politik internasional. Namun, buku ini
hanyalah usaha permulaan dari Nishihara untuk mengenal politik
Indonesia. Dalam bukunya yang lain, Golkar and Indonesian
Election 1971, Nishihara mampu menempatkan dirinya sebagai
seorang pengamat politik Indonesia yang teliti dan tidak berat
sebelah.
Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini