ALHAMDULILLAH. Angin bertiup juga menyibak-nyibak soal bacaan
dan kebiasaan membaca para calon intelek dan intelek, peneliti
dan bukan peneliti, dan juga khalayak luas yang telah dibekali
kemampuan membaca.
Dihimbaukan agar manusia Indonesia mencerdaskan diri, menimba
ilmu yang terekam pada jutaan halaman buku, majalah dan naskah.
Supaya tidak tercecer jauh di belakang maka perlu kita ciptakan
kebiasaan baru kebiasaan membaca.
Robah pola konsumsi kalau perlu. Tekan ongkos rokok, rendahkan
tumit sepatu, hemat ongkos kosmetika. Rutin dengan sendirinya
berobah: lebih kerap ke perpustakaan, toko buku dan kios buku
loak, dari sebelumnya.
***
Pada bulan Januari dan Pebruari 1979, kami kejatuhan berkah
mendapat kesempatan melihat-lihat sembilan perpustakaan pusat
Perguruan Tinggi Negeri (tujuh Universitas dan dua IKIP) di
empat pulau, termasuk Jawa. Di antaranya terdapat Universitas
Pembina.
Petugas-petugas perpustakaan itu aduhai ramahnya, seperti yang
diharapkan dari pemberi informasi tingkat tinggi pada bangsa
yang terkenal ramah. Keadaan fasilitas fisik pada umumnya
memadai. Perpustakaan tertentu, dari segi fasilitas dan tata
ruang, memberi kesan telah mendekati taraf luar negeri. Yang
pakai permadani juga ada. Banyak dari kepala dan pengelola
perpustakaan itu tamatan atau punya pengalaman luar negeri.
Jangan dibilang pada mereka perpustakaan luar negeri itu
bagaimana. Mereka lebih maklum.
Tetapi sesudah berjalan lewat rak-rak buku, timbul perasaan: ada
sesuatu yang kurang beres. suku dalam bahasa asing yang usang
isinya dan yang tidak diperlukan lagi, rasanya terlalu banyak
mengisi rak buku. Sebaliknya berbagai judul yang penting dalam
bahasa Indonesia, tidak ada dalam koleksi. Sukar dimengerti
misalnya bahwa kebanyakan perpustakaan pusat tersebut tidak
memiliki buku Sumitro, Indonesia dalam perkembangan dunia,
Kuntjaraningrat, Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan dan
Nugroho, Indonesia sekitar tahun 2000.
Koleksi majalah secara polos menyingkapkan bahwa perpustakaan
pusat perguruan tinggi negeri kita adalall perpustakaan
"pengemis", menggantungkan diri pada hadiah. Kebanyakan judul
yang ada - Asian Survey, Economic Development and Cultural
Change, American Sociological Repiew, American Anthropologist,
Mens en Maatschappij, The Journal of Psychohistory, Tropical
and Geographical Medicine, The Journal of Tropical Geography,
International Labour Review, Journal of Biosocial Science dan
lebih seratus judul lainnya terpuus-putus, hampir tidak ada
yang lengkap. Ada yang cuma satu eksemplar, biasanya nomor
contoh.
Sebagai orang awam kami mengecek koleksi majalah-majalah
Indonesia yang isinya langsung tentang Indonesia. Dipilih
sepuluh judul: 1. Prisma (P), 2. Ekonomi dan Keuangan
Indonesia (EKI): 3. Masyarakat Indonesia (MI), 4. Cakrawala (C)
5, Jurnal Penelitian Sosial (JPS) 6. Agro Ekonomika (AE) 7.
Widyapura (W) 8. Kotapraja (K) 9. Majalah Demografi Indonesia
(MDI) dan 1O. Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES).
Tentu sangat perlu pula diketahui koleksi majalah lainnya, tapi
kali ini biarlah dibatasi sampai sepuluh judul.
Hasil pengecekan begini. Perpustakaan A memiliki EKI satu eks.,
JPS dua eks., MDI lima eks. Ketujuh judul lainnya tidak ada sama
sekali. Perpustakaan B punya P enam eks., BIES lima eks.
Kedelapan judul lainnya tidak ada. Perpustakaan C mempunyai
koleksi P dua eks, EKI satu eks., BIES empat eks., MDI empat eks
Keenam judul lainnya tidak ada. Perpustakaan D mempunyai P tiga
eks, C satu eks, MDI tiga eks. Judul lainnya tidak ada.
Perpustakaan E memiliki P lengkap, MDI lengkap, C tiga eks.,
yang lainnya tidak ada. Perpustakaan 11 memplmyai P lengkap dari
1973, MI satu eks. AE satu eks., C 13 eks, MDI lengkap dari
1975.
Apa artinya ini? Ini artinya tidak ada satu perpustakaan pusat
kampus yang dikunjungi yang mempunyai koleksi lengkap tiga dari
sepuluh judul tersebut. Ini tidak normal. Baik pula diingat
bahwa hanya satu perpustakaan yang melllpunyai Masyarakat
Indonesia (LIPI), banyaknya satu eks, Vol. 1, No. 1, tahun 1974.
Maka jelas jadinya bahwa di berbagai kampus di luar negeri
koleksi jurnal Indonesia jauh lebih lengkap adanya.
Ngomong-ngomong perihal ini dengan seorang sarjana asing, dia
bilang sambil tersenyum: "Untuk mengetahui headaan rumah tangga,
lihatlah kakusnya. Untuk mengetahui keadaan universitas,
lihatlah perpustakaannya."
Nah, untuk mempertajam penalaran calon elite dan elite Indonesia
khususnya, untuk mempercerdas masyarakat Indonesia pada umumnya
siapa kah yang tidak merasa perlu perpustakaan kampus
"dinormalisasikan"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini