Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sembilan orang itu bekerja siang-malam mulai medio hingga akhir Juni 1945. Dilantik sebelum sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) usai, mereka mendapat tugas yang berat: merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dan menjadikannya sebagai teks proklamasi. Muhammad Yamin termasuk dalam tim sembilan tersebut.
Tujuh anggota lain tim yang dikomandoi Sukarno itu adalah Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Achmad Subardjo, H Agus Salim, dan Wahid Hasyim. Tak ada catatan mengenai kerja tim sembilan. Tak ada notulensi ataupun catatan steno perihal rapat-rapat yang mereka gelar.
Pembentukan tim sembilan dilakukan menyusul perdebatan antara golongan Islam dan nasionalis dalam penentuan dasar negara pada rapat BPUPKI pertama, terutama soal menentukan hubungan antara negara dan agama.
Golongan Islam, yang dimotori oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wahid Hasyim, Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso, menginginkan agar Islam menjadi dasar negara. Sedangkan golongan nasionalis, yang dimotori Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Maramis, dan Subardjo, menolak usul ini.
Perdebatan ini sendiri akhirnya dapat ditengahi dengan memasukkan sila "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam rancangan tim sembilan yang belakangan disebut Piagam Jakarta itu. Namun konsep ini kembali mendapat protes dalam sidang BPUPKI kedua.
Protes keras tercatat dilayangkan oleh Johanes Latuharhary. Dia berpendapat pemberlakuan syariat Islam bagi pemeluknya dapat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. Alasannya, banyak nilai budaya dan adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan kelompok Islam, yang dimotori Ki Bagus Hadikusumo, ngotot menuntut Islam menjadi dasar negara. Pertikaian ini berupaya ditengahi oleh Sukarno dan Yamin. Mereka mengatakan hasil Piagam Jakarta adalah kompromi antara kelompok Islam dan nasionalis yang berada di tim sembilan.
Namun pada akhirnya kalimat itu pun dihilangkan setelah Hatta mengaku ditemui seorang utusan dari Indonesia timur yang mengancam akan memisahkan diri jika kata itu tak dihapus. Hatta kemudian melobi Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimejo. Keduanya akhirnya menerima usul sila pertama itu diganti dengan kalimat "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Menurut Hatta, Yamin memiliki peran cukup penting dalam penyelesaian akhir yang dilakukan tim sembilan. Dia diminta Sukarno membuat preambule atau kata pembuka yang di dalamnya nanti terdapat butir-butir pancasila.
Hubungan Yamin dan Sukarno memang dikenal cukup dekat. Sejarawan Restu Gunawan mengatakan keduanya memiliki banyak kesamaan soal cara pandangan nasionalisme. Yamin dan Sukarno, kata Restu, juga dikenal sama-sama menyukai hal berbau "mistis".
Namun tugas Yamin membuat preambule tampaknya tak memuaskan sejumlah anggota lain. Hatta mengatakan preambule yang dibuat Yamin terlampau panjang untuk dibacakan sebagai naskah proklamasi. Akhirnya tim sembilan kembali menyusun naskah preambule. Dan Yamin memberinya "sentuhan" akhir dengan menamainya Piagam Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo