Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kontroversi sampai Kini

Sederet kontroversi menyelimuti Muhammad Yamin. Dia menerbitkan buku yang isinya dituding berisi kebohongan: mengaku berpidato dan menyerahkan rancangan undang-undang dasar yang isinya seperti UUD 1945. Dia juga dituduh menyembunyikan naskah otentik perumusan dasar negara. Dia adalah pencinta sejarah yang, oleh Pringgodigdo, disebut "menyulap" sejarah.

18 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hikayat 'Penyulap' Pancasila
Peran Muhammad Yamin sebagai perumus dasar negara terus diselimuti kontroversi. Tak sedikit yang menuduhnya "curang".

Rapat di rumah Mohammad Hatta pagi itu, 11 Februari 1975, dibuka tanpa banyak basa-basi. Peserta rapat langsung terpancing pertanyaan retoris sang Proklamator. "Oh, ya, saya ingin bertanya apa masih ingat, di sini ditulis pidato Yamin 29 Mei, apa benar itu?"

Sebelum peserta rapat lain menimpali, Bung Hatta lalu menjawab sendiri pertanyaan yang dia lontarkan. Hatta menuturkan Muhammad Yamin berpidato pada hari pertama sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) itu. Adapun dia berpidato pada hari kedua. Pada hari keempat, 1 Juni 1945, giliran Bung Karno yang berpidato.

"Setahu saya pidato Pancasila yang pertama kali Bung Karno, bukan Yamin. Kalau dia (Yamin) lebih dulu, tentu saya ingat bahwa (pidato Bung Karno) itu ulangan," ujar Hatta seperti tertulis dalam notulen rapat ketiga Panitia Lima itu.

Panitia Lima ditunjuk Presiden Soeharto untuk memberi penafsiran otentik atas sila-sila Pancasila. Bersama Hatta, bergabung dalam panitia itu Achmad Subardjo, Soenario, A.A. Maramis, dan A.G. Pringgodigdo. Namun, sampai pertemuan hari itu, A.A. Maramis belum bergabung. Dia sedang berada di Swiss.

Pagi itu, di kediaman Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta, para pendiri negara yang masih tersisa tersebut "menggunjingkan" ulah mendiang Yamin. Yamin memang sudah meninggal. Pria ini meninggal pada 17 Oktober 1962 karena penyakit komplikasi. Dia dituduh memanipulasi sejarah lewat bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945. Buku itu dicetak pada 1959, ketika Yamin menjabat menteri negara dalam Kabinet Karya.

Dalam bukunya, Yamin menyebut tiga tokoh yang memenuhi permintaan Ketua BPUPKI, KRT Radjiman Wedyodiningrat, untuk memaparkan dasar negara Indonesia merdeka. Mereka adalah Yamin sendiri, Sukarno, dan Soepomo. Padahal ada puluhan tokoh yang berpidato dalam forum itu. "Itulah kelicikan Yamin dimasukkan di sini," ujar Hatta.

Hatta tampaknya begitu jengkel terhadap sepak terjang Yamin di BPUPKI. Dalam notulen rapat Panitia Lima—yang termuat dalam lampiran buku Uraian Pancasila terbitan Mutiara, Jakarta, 1977—Hatta yang dikenal santun itu sampai tiga kali menyebut Yamin "licik". Meski irit komentar, Pringgodigdo pun tak urung menimpali. "Pak Yamin itu pinter nyulap, kok!"

Toh, "gerundelan" Panitia Lima itu tak langsung memancing perdebatan di kalangan masyarakat luas. Kontroversi baru muncul enam tahun kemudian, sekitar Juli 1981. Hal itu dipicu oleh penerbitan buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara karangan Nugroho Notosusanto. Dijual seharga Rp 500, buku yang pertama kali dicetak 13.500 eksemplar oleh Balai Pustaka itu laris manis.

Dalam buku setebal 68 halaman itu, Nugroho menyimpulkan: 1 Juni hanyalah hari kelahiran Pancasila-nya Bung Karno. Sedangkan Pancasila Dasar Negara baru dilahirkan pada 18 Agustus 1945, ketika Pembukaan UUD 1945 disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Menurut Nugroho, Bung Karno pun bukan satu-satunya penggali Pancasila. Katanya, masih ada Yamin dan Soepomo, yang juga menyodorkan konsepsi dasar negara sewaktu berpidato pada putaran pertama sidang BPUPKI itu.

Kesimpulan Nugroho itu semakin melukai para pendukung Sukarno. Maklum, sejak 1970, pemerintah Orde Baru melarang peringatan hari lahirnya Pancasila setiap 1 Juni. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam, larangan memperingati itu datang dari Komando Operasi Pemulih­an Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang dipakai Orde Baru untuk membungkam lawan-lawan politiknya.

Untuk membangun kesimpulannya, Nugroho menjadikan buku Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 jilid 1, sebagai sumber primer. Di samping ditulis langsung oleh pelaku sejarah, menurut Kepala Pusat Sejarah ABRI itu, buku Yamin meyakinkan karena dilengkapi tulisan tangan Bung Karno sebagai kata pengantar. Apalagi Bung Karno pun mengaku menggunakan naskah Yamin itu untuk membuat pidatonya yang penting: Res Publica, Sekali Lagi Res Publica. "Buku itu di-endorse oleh Bung Karno," ujar Nugroho Notosusanto dalam wawancara dengan Tempo ("Di Celah-celah Ingatan '45", Tempo, edisi 29 Agustus 1981).

Untuk memperkuat kredibilitas sumbernya, Nugroho mengutip pembicaraan dengan A.G. Pringgodigdo. Wakil Kepala Tata Usaha BPUPKI itu menyebut isi buku Yamin otentik. Soalnya, buku itu merupakan cetakan dari laporan stenografis sidang. Buku Yamin, menurut Pringgodigdo, kata demi kata (woordelijk) sama dengan laporan stenografis yang dipinjam Yamin tapi tak pernah dikembalikan.

Kesaksian Pringgodigdo kepada Nugroho ini terdengar aneh bukan hanya karena dia pernah menyebut Yamin "tukang sulap". Penilaian Pringgodigdo pun susah diuji karena stenografis yang dipinjam Yamin belum ditemukan versi aslinya. Tak mengherankan bila buku Nugroho pun segera menuai kritik. "Dari sudut sejarah, buku itu mempunyai beberapa kelemahan metodologis," kata Abdurrachman Surjomihardjo, ahli dan peneliti perkembangan masyarakat dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Ada juga yang menyorot kejanggalan lain pidato Yamin itu. Misalnya Ruben Nalenan dari Lembaga Penelitian Sejarah Nasional Universitas 17 Agustus. Dalam tulisannya di harian Kompas pada 9 Agustus 1981, Ruben menyoroti Rancangan UUD yang dilampirkan Yamin dalam bukunya. Yamin mengklaim rancangan itu sebagai lampiran pidatonya di sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945.

Yang membuat Ruben tak habis pikir, lampiran itu terdiri atas 37 pasal, XVI bab, aturan peralihan, dan aturan tambahan. Keseluruhan struktur dan isi rancangan UUD versi Yamin nyaris sama persis dengan UUD 1945. Padahal isi UUD 1945 baru diputuskan melalui perdebatan—bahkan pemungutan suara—dalam rangkaian sidang mulai Juli sampai 18 Agustus 1945.

Ananda B. Kusuma, peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, termasuk yang gigih menentang kesimpulan bahwa Yamin yang pertama kali memunculkan rumusan dasar negara. "Tulisan seperti itu merupakan upaya de-Sukarnoisasi," kata Ananda dalam diskusi di kantor Tempo, pertengahan Juli lalu.

Untuk mematahkan kesimpulan Nugroho, tulisan Bung Hatta pun kembali dikutip banyak kalangan. Kebetulan komentar Hatta tentang hal itu menyebar dalam berbagai buku, memoar, surat wasiat, sampai surat untuk sahabat pena dia.

Misalnya surat Bung Hatta untuk N. Soeroso, warga Jalan Tongkol, Tanjung Priok, pada 25 Februari 1974. Dalam surat itu, Hatta menulis bahwa pidato Yamin dalam buku Naskah Persiapan UUD 1945 bukanlah pidato di depan sidang BPUPKI. Pidato Yamin juga tak ada hubungannya dengan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945.

Sewaktu Panitia Sembilan selesai membuat rumusan baru tentang Pancasila, demikian tulis Hatta, Bung Karno meminta persetujuan supaya Yamin membuat keterangan tentang Pancasila. Hasilnya, keterangan itu terlalu panjang, sehingga ditolak Panitia Sembilan. Sebagai gantinya diambillah Preambule UUD yang sudah ada. Adapun "naskah keterangan" itu dimasukkan Yamin ke bukunya, seolah-olah pernah dibacakan pada sidang BPUPKI­. "Di sinilah letak liciknya Yamin," kata Hatta.

Dituduh licik dan cenderung menonjolkan diri, Yamin tak pernah terang-terangan mengklaim sebagai perumus Pancasila. Dalam pidato pada 5 Juni 1958, Yamin bahkan menegaskan bahwa pada "1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila oleh Bung Karno".

Sebaliknya, dalam beberapa kesempatan, Sukarno pun menolak disebut sebagai pencipta Pancasila. Bung Karno mengaku menggali nilai-nilai dasar itu dari budaya luhur masyarakat Indonesia. Bahkan, untuk istilah Pancasila, Sukarno mengaku mendapat bisikan dari seorang teman yang ahli bahasa. Lantas siapa ahli bahasa itu?

Menurut Restu Gunawan, penulis biografi Muhammad Yamin dan Cita-Cita Persatuan, dalam suatu kesempatan pada 1966, Sukarno membuka bahwa "ahli bahasa" itu adalah Yamin.

Ceritanya, pada malam sebelum Sukarno menyampaikan pidatonya yang monumental itu, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan KH Masjkur menginap di rumah Yamin. Malam itu Sukarno datang ke rumah Yamin untuk meminta persetujuan para tokoh atas pidato yang dia anggap sebagai kompromi antara golongan Islam dan nasionalis sekuler tersebut.

Rupanya, malam itu Sukarno tak hanya melobi para tokoh untuk menyetujui materi pidato "philosophische grondslag" itu. Sukarno pun meminta saran mengenai penamaan lima dasar negara yang bakal dia paparkan. "Yamin yang menyumbangkan kata 'sila'. Sedangkan kata 'panca' berasal dari Sukarno," ucap Restu kepada Tempo.

Kalaupun ada andil Yamin, sejarawan Asvi Warman Adam tetap melihat Sukarno-lah sebagai pencetus pertama Pancasila. "Itu disampaikan pada 1 Juni," kata Asvi. Adapun para pendiri bangsa yang lain, menurut Asvi, juga berperan dalam merumuskan butir-butir Pancasila seperti yang dilafalkan saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus