Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia yang Tak Pernah Tertawa

Hatta dianggap sosok yang serius. Justru karena itu, ia jadi lucu.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini dituturkan oleh Des Alwi, anak angkat Hatta. Set-ting-nya di Banda, ketika si Bung tengah menjalani masa-masa awal pembuangan bersama Sutan Sjahrir. Syahdan, Hatta dan Sjahrir mulai akrab dengan anak-anak setempat. Keduanya sering diajak jalan-jalan melihat karang di pantai. Pada suatu hari Minggu yang cerah, serombongan anak-anak yang dipimpin Des Alwi membawa kedua "Bung" itu berenang ke pantai yang jauh dari pelabuhan. Lokasinya bersih dan tenang. Siapa sangka, Hatta dan Sjahrir ternyata tak bisa berenang. Tapi bukan anak Banda namanya kalau mereka menyerah. Mereka lalu "memaksa" Hatta dan Sjahrir belajar. Singkat cerita, kedua "Bung" itu bisa dibujuk turun ke air. Tapi dasar Hatta, bukannya mencopot celana panjang dan menggantinya dengan celana renang, ia malah menggulung celana panjang sampai selutut dan tetap memakai sepatu tenis sewaktu berenang. "Kami terpingkal-pingkal melihat kejadian itu," kata Des Alwi mengenang. Mungkin karena malu, akhirnya Hatta memutuskan berenang sendiri, mojok di sudut pantai. Hatta ternyata takut air. Dia selalu memegangi sisi kole-kole (perahu tradisional setempat) erat-erat ketika diajak berenang agak ke tengah laut. Ketika sudah lumayan mahir berenang pun, ia selalu memilih duduk di tengah kalau diajak naik perahu, takut jatuh. Kendati demikian, Hatta dikenang sebagai orang yang berdisiplin, terutama soal waktu. Para pekerja perkebunan setempat hafal betul, Hatta selalu jalan-jalan sore secara rutin pada jam yang sama. Saban hari, dari Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 4-5, ia akan mengelilingi Pulau Banda melewati kebun pala. Dengan jarak tempuh sekitar 3 kilometer bolak-balik, Hatta menelusuri jalan setapak. Rutenya sama: dari rumah menuju masjid, berbelok masuk hutan yang sunyi, melintasi kebun pala, dan berakhir di dekat pantai ujung pulau. Di situ ia berhenti sebentar, lalu balik ke arah semula. Saking rutin dan tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila Hatta muncul, para pekerja akan berseru, "Wah, sudah jam lima." Mereka lalu berhenti bekerja. Kemunculan Hatta menjadi penting karena tidak ada jam di kebun yang luas tersebut. Bagaimana Hatta bisa tepat waktu? Disiplin. Selain itu, dia selalu berjalan secara teratur, sigap, dan jarang berhenti untuk sekadar ngobrol dengan pekerja perkebunan. Di kala senggang, Hatta lebih suka ketenangan dengan membaca buku. Gayanya jauh berbeda dibandingkan dengan Sjahrir, yang kerap memutar lagu klasik seperti komposisi Beethoven atau Jacowski di sebuah gramofon. Karena itulah Hatta sering menegur Des Alwi, yang membantu Sjahrir memutar gramofon. Suatu pagi, Sjahrir menyuruh Des Alwi menyiapkan gramofon dan memutarkan lagu-lagu klasik favoritnya di beranda rumah. Karena merasa terganggu, Hatta pun menegurnya, "Jangan keras-keras. Itu terlalu Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan." Karena ditegur, Des pun mengadu ke Sjahrir. Yang dilapori tenang saja dan dengan enteng malah berkata, "Hatta mengatakan aku kebarat-baratan? Dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda." Bagaimana sosok Hatta di mata kawannya yang lain? Di mata Sukarno, anak Bukit Tinggi itu sosok yang serius. Ia tak pernah menari, tertawa, atau menikmati hidup. Pun ketika ia muda. Jejaka Hatta adalah orang yang memerah mukanya bila bertemu dengan seorang gadis. Cara terbaik untuk melukiskan pribadi Hatta, kata Sukarno (seperti dikutip Cindy Adams di buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia), adalah dengan mengisahkan suatu kejadian di suatu sore, ketika Hatta dalam perjalanan ke suatu tempat dan satu-satunya penumpang lain dalam kendaraan adalah seorang gadis cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah. Si sopir terpaksa pergi mencari bantuan. Ketika dua jam kemudian sopir kembali dengan bantuan, ia mendapati gadis itu terbaring di sudut yang jauh dalam kendaraan dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Satu kisah lucu terjadi ketika Hatta tengah bersiap mengikuti ujian doktoral di Rotterdam, 1932. Suatu saat, dia menemui pembimbingnya, Profesor C.W. de Vries, untuk berkonsultasi sekaligus minta persetujuan ikut ujian. De Vries mewanti-wanti, Hatta harus membaca karangan G. Jellinek, Allgemeine Staatslehre. Alamak! Di benak Hatta segera terbayang buku setebal bantal. Hatinya bertanya-tanya, "Dapatkah buku setebal itu aku pelajari dengan intensif tanpa melalaikan buku-buku yang lain?" Sesampai di rumah, Hatta langsung mencari buku itu dan mempelajarinya dengan tekun. Selama empat bulan, setiap hari Hatta membaca buku tersebut. Buku-buku dan diktat lain hanya ia perhatikan sekadarnya. Tiap hari Hatta juga menenggak tonikum supaya badan dan pikirannya kuat. Empat bulan berlalu. Badan Hatta menjadi lesu dan otaknya tak sanggup lagi menerima pelajaran baru. Walaupun buku mahatebal itu sudah selesai dipelajarinya, Hatta justru tak mengingat satu pun. Padahal waktu ujian tinggal dua minggu. Akhirnya Hatta memutuskan berhenti belajar. Tiap hari Hatta hanya berjalan-jalan saja sambil minum tonikum. Dua hari sebelum ujian, Hatta kembali membolak-balik buku. Berhasil. Ia bisa mengingat semua yang ia pelajari selama empat bulan. Akhirnya Hatta pun maju ujian doktoral pada Juni 1932. Ternyata tak ada satu pun soal ujian yang berasal dari buku Jellinek. Masih tentang pengalaman Hatta di luar negeri. Kali ini setting-nya di Hamburg, 1921. Pada suatu malam, Hatta menonton opera bersama tiga rekannya, Dr. Eichele, Dahlan Abdullah, dan Usman Idris. Sebelum menonton, mereka makan malam dulu di sebuah restoran. Dahlan, Eichele, dan Usman memesan bir untuk minum. Entah karena mau mengirit atau memang tak suka bir, Hatta memilih air es. Rupanya, harga segelas es ternyata lebih mahal dibandingkan dengan segelas bir. Dahlan pun menertawai Hatta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus