Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Vonis Bush untuk Saddam Hussein

Amerika Serikat siap menyerang Irak untuk mendongkel Saddam Hussein. Bukan upaya yang mudah.

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AROMA heroik yang memenuhi Kota Baghdad, Kamis pekan lalu, mirip suasana beberapa saat sebelum AS dan sekutunya melancarkan Operasi Badai Gurun, 11 tahun silam. Sekitar 15 ribu anggota ”Tentara Yerusalem” yang terdiri atas lelaki dan perempuan mengenakan seragam khaki dengan senjata tempur Kalashnikov di bahu. Mereka berjalan dengan tegap dalam parade mendukung Presiden Saddam Hussein. ”Hidup Saddam, mampuslah Amerika Serikat,” teriak mereka berulang-ulang. Tepat pada peringatan 14 tahun berakhirnya perang Irak-Iran, parade ini dimanfaatkan untuk menjawab ancaman AS terhadap Irak. Amerika Serikat memang belum memukul genderang perang. Tapi Presiden George W. Bush dan para jenderal di Pentagon sebulan belakangan ini sibuk menyiapkan hajat besar untuk mengadakan serangan militer besar-besaran terhadap Irak. Tanpa tedeng aling-aling, Presiden Bush langsung menunjuk hidung Saddam Hussein sebagai sasaran utamanya. Pasalnya? AS mengusung tema besar menggulung terorisme hingga ke akarnya—suatu hal yang kebetuan bertemu dengan sikap keras kepala Saddam Hussein. Saddam dinilai mempersulit kerja tim inspeksi PBB yang bertugas memastikan Irak tak lagi memiliki senjata pemusnah massal. Sebenarnya isu pemilikan senjata pemusnah massal oleh Irak sempat mencair. Bahkan ada dorongan kuat untuk mengakhiri embargo ekonomi terhadap Irak. Tapi isu ini mencuat kembali setelah serangan 11 September terhadap gedung World Trade Center dan Pentagon. Berbagai tuduhan disodorkan AS tentang keterlibatan Irak merancang serangan, termasuk serangan virus antraks di AS. Tapi tak satu pun yang terbukti. Bak kehabisan akal, AS bersikukuh bahwa Irak yang diperintah oleh rezim Saddam Hussein yang sejatinya rezim sekuler melindungi anggota Al-Qaidah, yang dikenal sebagai kelompok Islam militan. ”Ada Al-Qaidah di Irak,” kata Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld. Bahkan AS tak peduli ketika mulai terjalin sikap saling mengerti antara Irak dan PBB untuk menyelesaikan perselisihan tentang kelangsungan kerja tim inspeksi PBB yang kini bernama Unmovic (Komisi Inspeksi, Monitoring, dan Verifikasi PBB). Belakangan sikap Irak mengeras kembali dengan menuduh bahwa Kepala Unmovic, Hans Blix, adalah mata-mata. Anehnya, awal bulan ini Irak berubah sikap lagi dengan membuka pintu bagi Hans Blix untuk membicarakan soal teknis inspeksi. Sikap Saddam Hussein inilah yang membuat AS semakin ingin mengenyahkan Saddam secara permanen. Rencana serangan pun dibuat dalam beberapa pilihan. Skenario pertama diusulkan Jenderal Tommy Frank, Kepala Komando Pusat, berupa operasi militer besar dengan melibatkan 250 ribu anggota pasukan yang bakal menduduki Irak selama berbulan-bulan. Pilihan ini merupakan perluasan dari Operasi Badai Gurun. Pilihan kedua diusulkan penasihat keamanan Gedung Putih, Jenderal Wayne Downing, berupa serangan kilat pasukan khusus bekerja sama dengan pasukan oposisi Irak dan didukung kekuatan udara AS. Skenario serangan ini mirip dengan aksi militer AS terhadap Afganistan. Skenario pertama dinilai terlalu berat dan lama, sedangkan skenario kedua dianggap terlalu ber-bahaya. Akhirnya diputuskan mengawinkan kedua skenario serangan itu, yang kemudian disebut ”Inside-Out Option”, yang dimulai dengan sebuah serangan kilat terhadap Baghdad untuk membuka pintu masuk bagi pasukan lainnya ke seluruh wilayah Irak. Untuk mempercepat keberhasilan serangan, AS harus mengerahkan 1.000 sampai 1.500 kali serangan udara per hari. Di atas kertas, rencana perang ini lebih merupakan soal politik internasional yang pelik ketimbang strategi perang itu sendiri. Uni Eropa, bahkan Inggris, tidak mendukung aksi militer terhadap Irak. Perang hanya akan membuat kawasan Teluk tidak stabil dan menimbulkan antipati negara Arab moderat. Buktinya, Arab Saudi sudah menolak dijadikan pangkalan bagi pesawat AS untuk menyerang Irak, sehingga AS memindahkan basis pangkalan udaranya ke Qatar. Mereka lebih suka mengoptimalkan kerja tim inspeksi Unmovic. Masalah dalam negeri AS tak kalah pelik. Dukungan publik AS terhadap aksi militer atas Irak lemah. Rakyat AS tidak keberatan memaki Saddam Hussein sebagai setan yang membahayakan AS. Tapi, kalau harus menyerang Irak, tunggu dulu. Rakyat AS ternyata lebih realistis. ”Rakyat AS merasa lebih nyaman jika serangan terhadap Irak dilakukan bersama-sama dengan sekutunya,” kata Direktur Pew Research Center, Andrew Kohut. Apalagi hasil jajak pendapat juga menyebutkan syarat bahwa serangan terhadap Irak baru sah dilakukan jika Irak terbukti mengembangkan senjata pemusnah massal. Perlu kesabaran buat menyingkirkan Saddam. Raihul Fadjri (AP, Reuters, The Christian Science Monitor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus