Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dibalik pintu jakarta

Jakarta kian padat penduduk, gedung maupun gubuk liar. angka kriminal meningkat. Gubernur Ali Sadikin menyatakan kota tertutup. Dibanding kota besar di Asia, Jakarta tertinggal 20 tahun.

19 Juni 1971 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDJADJA roti keliling masih sadja meneriakkan "booti!, boot boot", sedang pendjual ikan tetap meng'ejuu-ejuu" tiap pagi, sementara Djakatta berdandan dan bergegas-gegas kembali. Didjalan samping Gatot Subroto beberapa pedagang kaki-lima berkerumun dalam sarungnja ketika para hostes selesai dengan dinas malam mereka. Diboulevard Thamrin & Sudirman terlihat laki-laki dan ada djuga wanita bersenam raga djalan kaki diseling lari-lari andjing. Sekian ratus meter dari sana, dilapangan golf Rawamangun kabut belum terangkat semua disaat tangan-tangan jang terawat baik mengajunkan stick, melambungkan bola kedjurusan hole. Sepandjang Tjiliwung, dibagian kota lama, tiada lagi "perempuan mendaki tepi sungai kesajangan" seperti jang dipahatkan penjair Toto Sudarto Bachtiar dalam Ibukota Sendja. Perempuan itn masih mendaki tapi sosoknja tersembunji dibalik dinding-dinding MTK. Dalam kekinian dan keakanandja Djakarta jang dulu bernama Betawi, berubah dan djuga tidak berubah. Sebagai satu kota besar berlatar sedjarah besar (Lihat box) Djakarta mewarisi sedikit tradisi. Disamping itu metropolis ini akan mewariskan kebudajaan urban. Dalam perdjalanan pandjang dari satu dusun besar mendjadi kota besar, gedung-gedung pentjakar langit tumbuh sementara gubuk-gubukpun terus tumbuh. Dalam pergolakan antara jang tinggi dan rendah ini terasa bahwa hampir tidak ada kenjataan jang bisa dianggap luarbiasa, sedang pantja-indera pun mendjadi kurang peka. Baji Merah di Bak Sampah. Demikianlah, sementara beberapa tadjuk surat kabar bitjara tentang pendidikan politik, bisa sadja disatu bak sampah petugas-petugas Dinas Kebersihan setjara kebetulan menemukan baji merah jang masih bernjawa. Ini satu kegandjilan tapi dalam sesaat sadja orangpun tidak kaget lagi. Kebiadaban seperti itu sudah sering kali terdjadi dan apakah sang baji hidup atau mati, bukanlah satu hal penting jang bisa mentjegah ibu-ibu lain untuk tidak membuang bajinja. Peristiwa ini akan terdjadi lagi, seperti djuga tjopet, penusukan dan penodongan masih akan terdjadi. Penemuan majat tak dikenal dikali Antjol termasuk berita jang tidak begitu dihirau-kan lagi. Bahkan achir-achir ini pengerojokan jang dilakukan tukang-tukang betjak sudah mulai djadi biasa pula. Dan kebering-asan jang makin mendjadi djadi dari radja-radja djalanan itu tidak lagi mengingatkan orang pada subversi PKI tapi pada satu kelompok sosial jang semula longgar tapi makin mendjadi ketat karena penderitaan Penderitaan itu tidak bisa ditutup betapapun rapi dandanan janh dioleskan kewadjah Djakarta jang berulangtahun pada 22 Djuni ini. Tidak bisa ditutup karena penderitaan identik dengan Djakarta jang remuk-redam dibanjak tempat, dengan 80% penduduk bernafas dalam kemelaratan. Itulah jang mendjadi beban pemerintah DCI, beban jang makin memberat karena baru akan dipikul tahun '70/71, sesudah program rehabilitasi DCI dinjatakan selesai pada tahun 69 Walaupun Djakarta jang atjak-atjakkan sudah sukar ditemukan ketjuali kalau kita mendjeladjah kekampung-kampung, tapi seperti dikatakan Ali Sadikin metropolis ini masih ketinggalan 20 tahun dari kota-kota besar lain di Asia. Berarti masih terlalu banjak jang musti dikerdjakan karena mengedjar ketinggalan dua dekade bukanlah pekerdjaan sederhana, walaupun seandainja dana tersedia untuk itu. Apalagi kalau dana jang diharapkan ternjata minim dana. Konon pernah diungkapkan bahwa masalah dana telah mendorong pihak DCI untuk berkirim surat pada Presiden, Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Sesudah 2 bulan belum djuga ada djawaban kongkrit. Diperhitungkan penerimaan Pusat disektor rupiah jang dipungut diwilajah DCI mencapai Rp. 100 miljar. Dengan surat kepada Menteri Dalam Negeri dipintakan agar 10%, dari djumlah itu, berarti Rp. 10 miljar disisihkan umtuk DCI, sebagai pengganti ADO. Bahkan Gubernur DCI hanja minta separonja, Rp. 5 miljar sadja (lihat box). Rupa-rupanja jang pasti diterima hanjalah Rp. 3 miljar, satu kenjataan jang bisa membuat setiap orang berketjil hati. "Berlomba dengan Komunis" Berketjil hati atau tidak, Djakarta tidak bisa menunggu, terutama Ali Sadikin tidak. Mengapa? "Sebab, kalau tidak tjepat-tjepat, mereka itu mendjadi umpan jang baik buat komunis. Saja memang harus berlomba dengan komunis dalam hal ini", kata Gubernur itu bulan Mei jang lalu. Apa jang dimaksudkannja dengan "hal ini", tidak lain daripada kemelaratan penderitaan, didjurang mana penduduk jang 80% itu (kira-kira 3 djuta orang) menggapai-gapaikan tangannja. Tindakan pertama jang diambil Ali Sadikin untuk memenangkan perlombaan dengan komunis, dan terutama dengan kemelaratan, adalah tindakan jang tidak simpatik menurut penilaian beberapa orang bidjak bestari. Persisnja terdjadi hampir setahun jang lalu ketika Gubernur muntjul dengan pernjataan "Djakarta Kota Tertutup" lengkap beserta peraturan pelaksanaan dalam Perta No. I/DI/1970. Seperti jang dimaklumi setiap orang keputusan itu berbunji: "Larangan menetap bagi setiap orang jang berasal dari daerah lain jang tidak mempunjai pekerdjaan tetap dan tempat tinggal jang tertentu jang resmi di Djakarta". Mengapa perlu ada larangan jang mengedjutkan orang-orang daerah jang senang bermimpi tentang Djakarta itu? Dalam kata-kata Sutan Bachtiar, Kepala Kantor Urusan Penduduk DCI, djawaban untuk itu antara lain berbulnji "Penduduk Djakarta peningkatannja tahun demi tahun semakin besar, sedangkan kemampuan Pemerintah untuk melengkapi sarana-sarananja belum memadai. Sampailah achirnja pada proses urbanisasi jang tak terkendalikan, jang sangat berbahaja, bahkan dapat membuat sengsara masjarakat sendiri". Dengan mendjadikan Djakarta sebagai kota tertutup, diusahakan untuk melindungi kesedjahteraan penduduk, karena kesedjahteraan itulah konon tudjuan utama DCI, jang kalau tidak salah djuga merupakan tudjuan utama dari pemerintah pusat. Lalu mendjadi persoalan kini, apakah larangan Gubernur bisa diefektifkan sehagai larangan? Toh banjak sekali jang harus, mereka jang mengedari Djakarta tanpa kartu penduduk disaku badjunja? Mereka ini rupanja tidak masuk hitungan kantor urusan penduduk DCI. Tanpa mengingat kaum gelandangan, Sutan Bachtiar berani mengatakan bahwa sedjak adanja larangan, arus urbanisasi mengalami penurunan 50% dibanding tahun '69. Peraturan baru itu dikatakan sebagai sangat efektif dalam mengurangi arus urbanisasi dan mengendalikan djumlah penduduk. Dan seperti untuk mejakinkan diri sendiri, pedjabat itu menambahkan bahwa ide kota tertutup bukanlah jang pertama kali dilaksanakan di Djakarta. "Kota Medan pernah melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kota tertutup. Istilahnja djuga kota tertutup. Itu kirakira tahun 1960-an. Karena itu kota Medan sampai sekarang keadaan penduduknja begitu-begitu djuga. Kalau Medan tidak mengambil langkah itu keadaannja barangkali tidak seperti sekarang ini". Kota ini Ibarat Perawan. Medan ternjata berhasil, tapi apakah Djakarta akan demikian pula masih harus dibuktikan. Apalagi kalau diingat bahwa Djakarta bukan Medan. Berbagai faktor telah membuat kota ini ibarat perawan jang bagi banjak orang daerah perlu dan harus ditaklukkan. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa Djakarta lebih merupakan satu "urban jungle", satu belantara kota jang seperti kota-kota besar laim1ja didunia bersifat keras, tidak bersahabat, tidak mengenal belas kasihan, dan tentu sadja tidak agraris. "Siapa lu siapa gua", adalah kata-kata jang bisa mendjadi sangat kedjam dalam pentrapannja. Tapi kekedjaman djuga tidak bisa menahan orang untuk tidak datang. Terbukti dari kenjataan bahwa sebagian besar penduduk Djakarta jang heterogen dan dibagi dalam tiga kelas oleh Djoko Brotosurjono, sekretaris BPP DCI, merupakan orang-orang daerah. Tertjatat pada achir Desember '70, penduduk Djakarta seluruhnja berdjumlah 4.778.840 djiwa. Semua hidup bersama-sama diatas tanah seluas hanja 577 km persegi, jang berarti mentjapai kepadatan 10.000 orang untuk tiap km persegi. Ladju pertambahan penduduk tiap tahun meningkat djadi 6%, dan hanja 3% berasal dari kelahiran, selebihnja20merupakan pendatang-pendatang baru dari luar daerah. Urbanisasi jang dilakukan oleh golongan jang terachir ini, bukanlah urbanisasi jang lazim dikenal dikota-kota industri dibenua Eropa dan Amerika. Dikedua benua itu orang meninggalkan desa karena lapangan kerdja terbuka luas dikota. Apa jang terdjadi di Djakarta djustru sebaliknja. Kota ini berfungsi sebagai tempat penampungan bagi orang-orang desa jang mengharap-kan lapangan kerdja, tapi tidak menemukan apa-apa selain kelaparan dan ketidak atjuhan. Akibatnja mereka terlantar di Djakarta, dan bila musim lagi tidak baik, masalah penduduk tanpa keahlian dan tanpa lapangan kerdja itu bisa meruntjing dalam ketidakpuasan dan kemarahan. Pemerintah DCI tidak menghendaki hal ini. Sebelum terlalu terlambat mereka tutuplah pintu kota. Tapi masalahnja tidak selesai karena keterlantaran tenaga atau jang lebih dikenal sebagai pengangguran sudah merupakan penjakit, seperti djuga halnja keterlantaran dibidang pendidikan, kesehatan dan perumahan. Belum lagi masalah keamanan penghidjauan, rekreasi, air minum, listrik, angkutan dan seribu satu masalah jang sedjak lama telah memusingkan kepala setiap orang jang memegang djabatan sebagai gubernur Djakarta. "Dosalah Kita ........" Untuk tjontoh paling dekat, kita ambilkan fasilitas dalam bidang pendidikan. Tiap tahun di Djakarta lahir 160.000 baji dan bila ingin menjerahkan Djakarta ketangan generasi jang terpeladjar, DCI harus mendirikan 110 gedung SD tiap tahun sedang apa jang bisa dihadiahkan DCI hanja 40 SD. Ali Sadikin hanja bisa berharap agar kekurangan 70 gedung SD itu bisa digarap oleh swasta. Diperhitungkan sampai tahun '73 sesuai dengan ladju kelahiran baji, Djakarta seharusnja membangun 34 gedung SD dan SL. Bagaimana mengatasi masalah ini kalau kemampuan pemerintah hanja sekitar 60 gedung tiap tahun? Mengingat keparahan ini Gubernur sampai mentjetus: "Dosalah kita kalau tidak memberikan kepada mereka itu pendidikan jang baik". Fasilitas dibidang kesehatan tidak lebih baik. Memang banjak rumah sakit pemerintah direhabilitir dan dibangun jang baru, tambah lagi doktcr-dokter UI jang getol buka praktek di Djakarta. Tapi totalitas semua itu belum menggembirakan. Menurut Djoko Brotosurjono, Djakarta baru bisa menjediakan tempat tidur untuk 1100 orang sakit, sedang standard internasional menjebutkan harus ada 1 tempat tidur untuk 100 orang sakit. Dokter-dokter muda jang bertumpuk di Djakarta ternjata baru bisa mentjiutkan perhitungan 1 doktcr melajani 20.000 orang, padahal menurut norma umum 1 dokter hanja untuk 2000 orang. Dari semua kekurangan-kekurangan ini, fasilitas perumahan adalah jang paling minim dan menjedihkan. Lebih-lebih lagi karena belum ada djalan keluarnja. Dalam tata-kota sekarang, dimana djumlah penduduk terbesar berdesak-desakan dipusat kota apa jang disebut rumah" sesungguhnja sudah tidak ada. Penilaian ini tentulah tidak berlaku untuk daerah Menteng, tapi untuk kampung-kampung jang terletak dibelakang daerah elite ini, dimana rumah-rumah berdiri berhimpitan. Tidak ada sepetak pekarangan tersisa bagi sineneng untuk menanam bunga. Tidak ada semak belular bagi siudjang supaja bisa main sembunji-sembunjian. Bahkan tidak ada satu tanah terbuka jang sedikit luas dimana kaki-kaki ketjil bisa menjepak-njepak bola sepandjang hari. Akibatnja anak-anak terpaksa main bola digang-gang sempit, dan anak-anak perempuan jang terbatas kelintjahannja terpaksa keburu matang sebelum lebih dulu mendjadi dewasa. Ruang gerak mereka hanja sekian meter, komunikasi dengan alam kurang, komunikasi dengan orang tua lebih kurang lagi. Dari lingkungan kehidupan seperti ini Djakarta tidak bisa menurunkan generasi jang lebih baik, atau katakanlah generasi jang siap menghadapi tantangan zamannja. "The middle-income" Apapun jang terdjadi, dan apapun jang dikatakan orang mengenai pembangunan perumahan rakjat di Singapura atau di Seoul, di Djakarta orang harus berhadapan dengan kenjataan bahwa masalah itu bleum terpetjahkan. Mengapa? Berkatalah Ir. Tubagus Moh. Rais, Kepala Bagian Umum Dinas Tata-Kota DCI: "Soalnja di Djakarta ini terdapat dua atau tiga golongan penduduk jang menjulitkan pemebahan setjara menjeluruh. Golongan itu terbagi atas jang low-income, middle-income dan high-income. Untuk jang low-income soalnja sering-sering mereka tidak begitu pusing. Sedang bagi jang high-income djuga tidak djadi persoalan karena mereka mampu. Tapi jang repot ialah jang middle-income ini, terutama mereka adalah pegawai negeri. Mereka ini untuk berbuat seperti low-income sama sekali menolak atau tidak mau karena merasa rendah deradjatnja. Tapi mau mentjapai seperti jang high-income tidak bisa. Pemerintah daerah selalu memikirkan masalah ini. Dan20dengan stabilnja ekonomi sekarang mungkin bisa dipakai sistem kredit luar negeri" Sentralisasi. Ditengah-tengah serba kekurangan, dirongrong oleh keterbatasan dana dan daja, Ali Sadikin meneruskan usahanja membuat Djakarta mendjadi kota jang lajak dan dapat didiami, disenangi, diatur dan diperintah. Dari sebuah gedung jang direntjanakan setinggi 20 tingkat dan selesai tahun '74 pemerintah DCI akan menertibkan kota jang binal ini sebaik dan semaksimal mungkin. Masalah pelatjur jang terkenal paling sukar untuk diatur tidak luput dari djangkauannja. Dalam rentjana djangka pandjang akan diadakan lokalisasi daerah hitam diatas tanah seluas 5 ha di Kramat Tunggak. Pendeknja, permukaan Djakarta seluruhnja akan mendjadi "berbeda" pada 20 tahun jang akan datang. "Perkembangan Djakarta dalam master-plan dibatasi sampai radius 15 km. Setelah tertjapai radius kita tidak menginginkan pertambahan. Tapi ada sssuatu jang meleset", kata Ir. Tubagus Moh. Rais. Apa itu? Djumlah penduduk jang diduga baru akan mendjadi 6,5 djuta pada tahun '85 belum apa-apa sudah djadi 4,8 djuta pada achir tahun '70. "Tapi sebegitu djauh hal ini tidak menimbulkan kekatjauan dalam master-plan. Dan kalaupun nanti terdjadi asumsi penduduk itu terlalu besar melesetnja, untuk mengatasinja tidak begitu sulit. Masih bisa dilakukan pemadatan penduduk dibagian-bagian kota tertentu", Tubagus menerangkan dengan optimis. Mungkin sekali pemadatan penduduk masih bisa dilakukan karena dalam master-plan, Djakarta akan ditata menurut konsep mono-nucleus. "Sentralisasi", kata Tubagus. "Pusat atau sentral fisiknja berupa tugu Monas. Didalamnja djuga ada pembagian. Sekitar pusat padat, makin kepinggir, makin djarang". Ini mungkin mengingatkan pada tata-kota lama Indonesia, dimana alun-alun mendjadi pusat kegiatan penduduk. Tapi jang akan terdjadi di Djakarta tentulah tidak sepersis itu benar. Tugu Monas dan sekitarnja bukanlah pusat kegiatan, tapi titik-tengah dari lalulintas kegiatan kota. Bahwa ada usaha-usaha untuk melebarkan djalan-djalan pintas, menundjukkan adanja rentjana untuk tidak menjalurkan segaIa-galanja melalui urat-nadi Thamrin Sudirman atau Djatinegara-Kramat-Senen, jang selama ini menampung arus kegiatan kota jang lebih vertikal dan kurang horizontal. Dulu Sophocles berkata 'Kota adalah penduduknja". dan sekarang Sutan Bachtiar menambahkan "Djiwa dari rentjana suatu kota adalah penduduk". Tanpa mengingat faktor kependudukan, segala rentjana bisa ngawur. Untuk mentjegah ini, konsep tata-kota dilandaskan pada tata-penduduk jang dalam master-plan akan diarahkan pada self contained community". "Ini tjotjok buat Djakarta". kata Tubagus. Dalan rentjana djangka pandjang, penduduk ibukota akan terbagi dalam beberapa area jang membentuk masjarakatnja sendiri. Dalam kata lain, masjarakat seperti ini tinggal dibeberapa bagian kota tertentu, jang lengkap dengan serba fasilitas seperti sekolah, pasar, tempat hiburan, lapangan olahraga dan sebagainja. Bila pola ini konsekwen dilaksanakan maka anak-anak Djatinegara tidak akan bersekolah di Kota atau sebaliknja Tubagus tidak mendjelaskan apakah tiap bagian kota itu nanti akan menjediakan lapangall kerdja untuk penduduknja. Kemungkinan kearah ini hanja terdapat di Pulo Gadung jang dalam master-plan ditetapkan sebagal industrial-estare, dimana akan didirikan berbagai industri berat yang diperkirakan dapat menam-pung 90.000 tenaga kerdja. Menjinggung masalah "tempat tinggal" jang lajak untuk didiami oleh penduduk Djakarta jang terus berkembangbiak ini, Tubagus berkata pula "Untuk Djakarta konsep kota satelit kurang tepat. Kita baru memerlukan sematjam kota satelit bila kelak radius 15 km itu sudah tertjapai. Dan penduduk Djakarta sudah padat benar" Jang dimaksud Tubagus kota satelit kalau tidak salah tentulah daerah suburbia, jang bagi penduduk kota-kota besar Amerika merupakan daerah tempat tinggal jang njaman sementara mereka menghabiskan 8-10 djam kerdja sehari dikota inti jang terantjam pengotoran udara Djakarta behlm sampai memikirkan suburbia, dan untuk sementara ini djelaslah bahwa tata-penduduk DCI berpegang pada prinsip pemadatan, bukan pementjaran. Sebegitu djauh pemusatan dan pemadatan hanjalah istilah-istilah jang baru menemukan bentuk dan mentjiptakan iklim paling tjepat 5 tahun lagi. Sementara itu masalah 3 djuta penduduk dan kemelaratan djuga belum akan terpetjahkan. Tapi seperti halnja kota-kota besar lain didunia Djakarta memiliki ketahanan raksasa untuk menanggungkan penderitaan. Ali Sadikin tentulah sangat menjadari hal ini, seperti ia djuga menjadari bahwa Djakarta tidak mungkin mengatasi seluruh permasalanannja dengan tenaga sendiri. Diperlukan tenaga ekstra, apakah dari Pemerintah Pusat jang belum bisa murah hati, ataupun dari modal luar negeri. Adapun jang terachir ini telah menampakkan diri dan membuat Buku Pelita DCI jang dikeluarkan tahun '69 mendjadi kurang lengkap. Perkembangan belakangan dari kegairahan modal asing telah memperpandjang projek pembangunan dibawah otorita DCI dengan sederetan nama jang kedengarannja mantap20seperti projek Antjol untuk industri menengah, perumahan dan rekreasi, projek Tjempaka Putih untuk perumahan industri dan rekreasi, projek Pulo Gadung untuk industrial estate jang mentjakup industri berat besi & badja. Masih dapat ditambah lagi dengan beberapa projek lain jang djelas akan melantjarkan arus uang mengalir kekas DCI. Dengan sematjam faktor x, atau katakanlah faktor keberuntungan jang selama ini menjertai langkah Ali Sadikin, mudah-mudahan Djakarta bisa berdjaja dan mengedjar ketinggalan 20 tahun dan bisa berfungsi dengan baik sebagai djendela pertama Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus