PENDJADJA roti keliling masih sadja meneriakkan "booti!, boot
boot", sedang pendjual ikan tetap meng'ejuu-ejuu" tiap pagi,
sementara Djakatta berdandan dan bergegas-gegas kembali.
Didjalan samping Gatot Subroto beberapa pedagang kaki-lima
berkerumun dalam sarungnja ketika para hostes selesai dengan
dinas malam mereka. Diboulevard Thamrin & Sudirman terlihat
laki-laki dan ada djuga wanita bersenam raga djalan kaki
diseling lari-lari andjing. Sekian ratus meter dari sana,
dilapangan golf Rawamangun kabut belum terangkat semua disaat
tangan-tangan jang terawat baik mengajunkan stick, melambungkan
bola kedjurusan hole.
Sepandjang Tjiliwung, dibagian kota lama, tiada lagi "perempuan
mendaki tepi sungai kesajangan" seperti jang dipahatkan penjair
Toto Sudarto Bachtiar dalam Ibukota Sendja. Perempuan itn masih
mendaki tapi sosoknja tersembunji dibalik dinding-dinding MTK.
Dalam kekinian dan keakanandja Djakarta jang dulu bernama
Betawi, berubah dan djuga tidak berubah. Sebagai satu kota besar
berlatar sedjarah besar (Lihat box) Djakarta mewarisi sedikit
tradisi. Disamping itu metropolis ini akan mewariskan kebudajaan
urban. Dalam perdjalanan pandjang dari satu dusun besar mendjadi
kota besar, gedung-gedung pentjakar langit tumbuh sementara
gubuk-gubukpun terus tumbuh. Dalam pergolakan antara jang tinggi
dan rendah ini terasa bahwa hampir tidak ada kenjataan jang bisa
dianggap luarbiasa, sedang pantja-indera pun mendjadi kurang
peka.
Baji Merah di Bak Sampah.
Demikianlah, sementara beberapa tadjuk surat kabar bitjara
tentang pendidikan politik, bisa sadja disatu bak sampah
petugas-petugas Dinas Kebersihan setjara kebetulan menemukan
baji merah jang masih bernjawa. Ini satu kegandjilan tapi dalam
sesaat sadja orangpun tidak kaget lagi. Kebiadaban seperti itu
sudah sering kali terdjadi dan apakah sang baji hidup atau mati,
bukanlah satu hal penting jang bisa mentjegah ibu-ibu lain untuk
tidak membuang bajinja. Peristiwa ini akan terdjadi lagi,
seperti djuga tjopet, penusukan dan penodongan masih akan
terdjadi. Penemuan majat tak dikenal dikali Antjol termasuk
berita jang tidak begitu dihirau-kan lagi. Bahkan achir-achir
ini pengerojokan jang dilakukan tukang-tukang betjak sudah mulai
djadi biasa pula. Dan kebering-asan jang makin mendjadi djadi
dari radja-radja djalanan itu tidak lagi mengingatkan orang pada
subversi PKI tapi pada satu kelompok sosial jang semula longgar
tapi makin mendjadi ketat karena penderitaan
Penderitaan itu tidak bisa ditutup betapapun rapi dandanan janh
dioleskan kewadjah Djakarta jang berulangtahun pada 22 Djuni
ini. Tidak bisa ditutup karena penderitaan identik dengan
Djakarta jang remuk-redam dibanjak tempat, dengan 80% penduduk
bernafas dalam kemelaratan. Itulah jang mendjadi beban
pemerintah DCI, beban jang makin memberat karena baru akan
dipikul tahun '70/71, sesudah program rehabilitasi DCI
dinjatakan selesai pada tahun 69 Walaupun Djakarta jang
atjak-atjakkan sudah sukar ditemukan ketjuali kalau kita
mendjeladjah kekampung-kampung, tapi seperti dikatakan Ali
Sadikin metropolis ini masih ketinggalan 20 tahun dari kota-kota
besar lain di Asia. Berarti masih terlalu banjak jang musti
dikerdjakan karena mengedjar ketinggalan dua dekade bukanlah
pekerdjaan sederhana, walaupun seandainja dana tersedia untuk
itu. Apalagi kalau dana jang diharapkan ternjata minim dana.
Konon pernah diungkapkan bahwa masalah dana telah mendorong
pihak DCI untuk berkirim surat pada Presiden, Menteri Keuangan
dan Menteri Dalam Negeri. Sesudah 2 bulan belum djuga ada
djawaban kongkrit. Diperhitungkan penerimaan Pusat disektor
rupiah jang dipungut diwilajah DCI mencapai Rp. 100 miljar.
Dengan surat kepada Menteri Dalam Negeri dipintakan agar 10%,
dari djumlah itu, berarti Rp. 10 miljar disisihkan umtuk DCI,
sebagai pengganti ADO. Bahkan Gubernur DCI hanja minta
separonja, Rp. 5 miljar sadja (lihat box). Rupa-rupanja jang
pasti diterima hanjalah Rp. 3 miljar, satu kenjataan jang bisa
membuat setiap orang berketjil hati.
"Berlomba dengan Komunis"
Berketjil hati atau tidak, Djakarta tidak bisa menunggu,
terutama Ali Sadikin tidak. Mengapa? "Sebab, kalau tidak
tjepat-tjepat, mereka itu mendjadi umpan jang baik buat komunis.
Saja memang harus berlomba dengan komunis dalam hal ini", kata
Gubernur itu bulan Mei jang lalu. Apa jang dimaksudkannja dengan
"hal ini", tidak lain daripada kemelaratan penderitaan,
didjurang mana penduduk jang 80% itu (kira-kira 3 djuta orang)
menggapai-gapaikan tangannja.
Tindakan pertama jang diambil Ali Sadikin untuk memenangkan
perlombaan dengan komunis, dan terutama dengan kemelaratan,
adalah tindakan jang tidak simpatik menurut penilaian beberapa
orang bidjak bestari. Persisnja terdjadi hampir setahun jang
lalu ketika Gubernur muntjul dengan pernjataan "Djakarta Kota
Tertutup" lengkap beserta peraturan pelaksanaan dalam Perta No.
I/DI/1970. Seperti jang dimaklumi setiap orang keputusan itu
berbunji: "Larangan menetap bagi setiap orang jang berasal dari
daerah lain jang tidak mempunjai pekerdjaan tetap dan tempat
tinggal jang tertentu jang resmi di Djakarta". Mengapa perlu ada
larangan jang mengedjutkan orang-orang daerah jang senang
bermimpi tentang Djakarta itu? Dalam kata-kata Sutan Bachtiar,
Kepala Kantor Urusan Penduduk DCI, djawaban untuk itu antara
lain berbulnji "Penduduk Djakarta peningkatannja tahun demi
tahun semakin besar, sedangkan kemampuan Pemerintah untuk
melengkapi sarana-sarananja belum memadai. Sampailah achirnja
pada proses urbanisasi jang tak terkendalikan, jang sangat
berbahaja, bahkan dapat membuat sengsara masjarakat sendiri".
Dengan mendjadikan Djakarta sebagai kota tertutup, diusahakan
untuk melindungi kesedjahteraan penduduk, karena kesedjahteraan
itulah konon tudjuan utama DCI, jang kalau tidak salah djuga
merupakan tudjuan utama dari pemerintah pusat.
Lalu mendjadi persoalan kini, apakah larangan Gubernur bisa
diefektifkan sehagai larangan? Toh banjak sekali jang harus,
mereka jang mengedari Djakarta tanpa kartu penduduk disaku
badjunja? Mereka ini rupanja tidak masuk hitungan kantor urusan
penduduk DCI. Tanpa mengingat kaum gelandangan, Sutan Bachtiar
berani mengatakan bahwa sedjak adanja larangan, arus urbanisasi
mengalami penurunan 50% dibanding tahun '69. Peraturan baru itu
dikatakan sebagai sangat efektif dalam mengurangi arus
urbanisasi dan mengendalikan djumlah penduduk. Dan seperti untuk
mejakinkan diri sendiri, pedjabat itu menambahkan bahwa ide kota
tertutup bukanlah jang pertama kali dilaksanakan di Djakarta.
"Kota Medan pernah melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai kota
tertutup. Istilahnja djuga kota tertutup. Itu kirakira tahun
1960-an. Karena itu kota Medan sampai sekarang keadaan
penduduknja begitu-begitu djuga. Kalau Medan tidak mengambil
langkah itu keadaannja barangkali tidak seperti sekarang ini".
Kota ini Ibarat Perawan.
Medan ternjata berhasil, tapi apakah Djakarta akan demikian pula
masih harus dibuktikan. Apalagi kalau diingat bahwa Djakarta
bukan Medan. Berbagai faktor telah membuat kota ini ibarat
perawan jang bagi banjak orang daerah perlu dan harus
ditaklukkan. Mereka tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa
Djakarta lebih merupakan satu "urban jungle", satu belantara
kota jang seperti kota-kota besar laim1ja didunia bersifat
keras, tidak bersahabat, tidak mengenal belas kasihan, dan tentu
sadja tidak agraris. "Siapa lu siapa gua", adalah kata-kata jang
bisa mendjadi sangat kedjam dalam pentrapannja.
Tapi kekedjaman djuga tidak bisa menahan orang untuk tidak
datang. Terbukti dari kenjataan bahwa sebagian besar penduduk
Djakarta jang heterogen dan dibagi dalam tiga kelas oleh Djoko
Brotosurjono, sekretaris BPP DCI, merupakan orang-orang daerah.
Tertjatat pada achir Desember '70, penduduk Djakarta seluruhnja
berdjumlah 4.778.840 djiwa. Semua hidup bersama-sama diatas
tanah seluas hanja 577 km persegi, jang berarti mentjapai
kepadatan 10.000 orang untuk tiap km persegi. Ladju pertambahan
penduduk tiap tahun meningkat djadi 6%, dan hanja 3% berasal
dari kelahiran, selebihnja20merupakan pendatang-pendatang baru
dari luar daerah. Urbanisasi jang dilakukan oleh golongan jang
terachir ini, bukanlah urbanisasi jang lazim dikenal dikota-kota
industri dibenua Eropa dan Amerika. Dikedua benua itu orang
meninggalkan desa karena lapangan kerdja terbuka luas dikota.
Apa jang terdjadi di Djakarta djustru sebaliknja. Kota ini
berfungsi sebagai tempat penampungan bagi orang-orang desa jang
mengharap-kan lapangan kerdja, tapi tidak menemukan apa-apa
selain kelaparan dan ketidak atjuhan.
Akibatnja mereka terlantar di Djakarta, dan bila musim lagi
tidak baik, masalah penduduk tanpa keahlian dan tanpa lapangan
kerdja itu bisa meruntjing dalam ketidakpuasan dan kemarahan.
Pemerintah DCI tidak menghendaki hal ini. Sebelum terlalu
terlambat mereka tutuplah pintu kota. Tapi masalahnja tidak
selesai karena keterlantaran tenaga atau jang lebih dikenal
sebagai pengangguran sudah merupakan penjakit, seperti djuga
halnja keterlantaran dibidang pendidikan, kesehatan dan
perumahan. Belum lagi masalah keamanan penghidjauan, rekreasi,
air minum, listrik, angkutan dan seribu satu masalah jang sedjak
lama telah memusingkan kepala setiap orang jang memegang
djabatan sebagai gubernur Djakarta.
"Dosalah Kita ........"
Untuk tjontoh paling dekat, kita ambilkan fasilitas dalam bidang
pendidikan. Tiap tahun di Djakarta lahir 160.000 baji dan bila
ingin menjerahkan Djakarta ketangan generasi jang terpeladjar,
DCI harus mendirikan 110 gedung SD tiap tahun sedang apa jang
bisa dihadiahkan DCI hanja 40 SD. Ali Sadikin hanja bisa
berharap agar kekurangan 70 gedung SD itu bisa digarap oleh
swasta. Diperhitungkan sampai tahun '73 sesuai dengan ladju
kelahiran baji, Djakarta seharusnja membangun 34 gedung SD dan
SL. Bagaimana mengatasi masalah ini kalau kemampuan pemerintah
hanja sekitar 60 gedung tiap tahun? Mengingat keparahan ini
Gubernur sampai mentjetus: "Dosalah kita kalau tidak memberikan
kepada mereka itu pendidikan jang baik".
Fasilitas dibidang kesehatan tidak lebih baik. Memang banjak
rumah sakit pemerintah direhabilitir dan dibangun jang baru,
tambah lagi doktcr-dokter UI jang getol buka praktek di
Djakarta. Tapi totalitas semua itu belum menggembirakan. Menurut
Djoko Brotosurjono, Djakarta baru bisa menjediakan tempat tidur
untuk 1100 orang sakit, sedang standard internasional
menjebutkan harus ada 1 tempat tidur untuk 100 orang sakit.
Dokter-dokter muda jang bertumpuk di Djakarta ternjata baru bisa
mentjiutkan perhitungan 1 doktcr melajani 20.000 orang, padahal
menurut norma umum 1 dokter hanja untuk 2000 orang.
Dari semua kekurangan-kekurangan ini, fasilitas perumahan adalah
jang paling minim dan menjedihkan. Lebih-lebih lagi karena belum
ada djalan keluarnja. Dalam tata-kota sekarang, dimana djumlah
penduduk terbesar berdesak-desakan dipusat kota apa jang disebut
rumah" sesungguhnja sudah tidak ada. Penilaian ini tentulah
tidak berlaku untuk daerah Menteng, tapi untuk kampung-kampung
jang terletak dibelakang daerah elite ini, dimana rumah-rumah
berdiri berhimpitan. Tidak ada sepetak pekarangan tersisa bagi
sineneng untuk menanam bunga. Tidak ada semak belular bagi
siudjang supaja bisa main sembunji-sembunjian. Bahkan tidak ada
satu tanah terbuka jang sedikit luas dimana kaki-kaki ketjil
bisa menjepak-njepak bola sepandjang hari. Akibatnja anak-anak
terpaksa main bola digang-gang sempit, dan anak-anak perempuan
jang terbatas kelintjahannja terpaksa keburu matang sebelum
lebih dulu mendjadi dewasa. Ruang gerak mereka hanja sekian
meter, komunikasi dengan alam kurang, komunikasi dengan orang
tua lebih kurang lagi. Dari lingkungan kehidupan seperti ini
Djakarta tidak bisa menurunkan generasi jang lebih baik, atau
katakanlah generasi jang siap menghadapi tantangan zamannja.
"The middle-income"
Apapun jang terdjadi, dan apapun jang dikatakan orang mengenai
pembangunan perumahan rakjat di Singapura atau di Seoul, di
Djakarta orang harus berhadapan dengan kenjataan bahwa masalah
itu bleum terpetjahkan. Mengapa? Berkatalah Ir. Tubagus Moh.
Rais, Kepala Bagian Umum Dinas Tata-Kota DCI: "Soalnja di
Djakarta ini terdapat dua atau tiga golongan penduduk jang
menjulitkan pemebahan setjara menjeluruh. Golongan itu terbagi
atas jang low-income, middle-income dan high-income. Untuk jang
low-income soalnja sering-sering mereka tidak begitu pusing.
Sedang bagi jang high-income djuga tidak djadi persoalan karena
mereka mampu. Tapi jang repot ialah jang middle-income ini,
terutama mereka adalah pegawai negeri. Mereka ini untuk berbuat
seperti low-income sama sekali menolak atau tidak mau karena
merasa rendah deradjatnja. Tapi mau mentjapai seperti jang
high-income tidak bisa. Pemerintah daerah selalu memikirkan
masalah ini. Dan20dengan stabilnja ekonomi sekarang mungkin bisa
dipakai sistem kredit luar negeri"
Sentralisasi.
Ditengah-tengah serba kekurangan, dirongrong oleh keterbatasan
dana dan daja, Ali Sadikin meneruskan usahanja membuat Djakarta
mendjadi kota jang lajak dan dapat didiami, disenangi, diatur
dan diperintah. Dari sebuah gedung jang direntjanakan setinggi
20 tingkat dan selesai tahun '74 pemerintah DCI akan menertibkan
kota jang binal ini sebaik dan semaksimal mungkin. Masalah
pelatjur jang terkenal paling sukar untuk diatur tidak luput
dari djangkauannja. Dalam rentjana djangka pandjang akan
diadakan lokalisasi daerah hitam diatas tanah seluas 5 ha di
Kramat Tunggak. Pendeknja, permukaan Djakarta seluruhnja akan
mendjadi "berbeda" pada 20 tahun jang akan datang. "Perkembangan
Djakarta dalam master-plan dibatasi sampai radius 15 km. Setelah
tertjapai radius kita tidak menginginkan pertambahan. Tapi ada
sssuatu jang meleset", kata Ir. Tubagus Moh. Rais. Apa itu?
Djumlah penduduk jang diduga baru akan mendjadi 6,5 djuta pada
tahun '85 belum apa-apa sudah djadi 4,8 djuta pada achir tahun
'70. "Tapi sebegitu djauh hal ini tidak menimbulkan kekatjauan
dalam master-plan. Dan kalaupun nanti terdjadi asumsi penduduk
itu terlalu besar melesetnja, untuk mengatasinja tidak begitu
sulit. Masih bisa dilakukan pemadatan penduduk dibagian-bagian
kota tertentu", Tubagus menerangkan dengan optimis.
Mungkin sekali pemadatan penduduk masih bisa dilakukan karena
dalam master-plan, Djakarta akan ditata menurut konsep
mono-nucleus. "Sentralisasi", kata Tubagus. "Pusat atau sentral
fisiknja berupa tugu Monas. Didalamnja djuga ada pembagian.
Sekitar pusat padat, makin kepinggir, makin djarang". Ini
mungkin mengingatkan pada tata-kota lama Indonesia, dimana
alun-alun mendjadi pusat kegiatan penduduk. Tapi jang akan
terdjadi di Djakarta tentulah tidak sepersis itu benar. Tugu
Monas dan sekitarnja bukanlah pusat kegiatan, tapi titik-tengah
dari lalulintas kegiatan kota. Bahwa ada usaha-usaha untuk
melebarkan djalan-djalan pintas, menundjukkan adanja rentjana
untuk tidak menjalurkan segaIa-galanja melalui urat-nadi Thamrin
Sudirman atau Djatinegara-Kramat-Senen, jang selama ini
menampung arus kegiatan kota jang lebih vertikal dan kurang
horizontal. Dulu Sophocles berkata 'Kota adalah penduduknja".
dan sekarang Sutan Bachtiar menambahkan "Djiwa dari rentjana
suatu kota adalah penduduk". Tanpa mengingat faktor
kependudukan, segala rentjana bisa ngawur. Untuk mentjegah ini,
konsep tata-kota dilandaskan pada tata-penduduk jang dalam
master-plan akan diarahkan pada self contained community". "Ini
tjotjok buat Djakarta". kata Tubagus. Dalan rentjana djangka
pandjang, penduduk ibukota akan terbagi dalam beberapa area
jang membentuk masjarakatnja sendiri. Dalam kata lain,
masjarakat seperti ini tinggal dibeberapa bagian kota tertentu,
jang lengkap dengan serba fasilitas seperti sekolah, pasar,
tempat hiburan, lapangan olahraga dan sebagainja. Bila pola
ini konsekwen dilaksanakan maka anak-anak Djatinegara tidak
akan bersekolah di Kota atau sebaliknja Tubagus tidak
mendjelaskan apakah tiap bagian kota itu nanti akan
menjediakan lapangall kerdja untuk penduduknja.
Kemungkinan kearah ini hanja terdapat di Pulo Gadung jang dalam
master-plan ditetapkan sebagal industrial-estare, dimana akan
didirikan berbagai industri berat yang diperkirakan dapat
menam-pung 90.000 tenaga kerdja.
Menjinggung masalah "tempat tinggal" jang lajak untuk didiami
oleh penduduk Djakarta jang terus berkembangbiak ini, Tubagus
berkata pula "Untuk Djakarta konsep kota satelit kurang tepat.
Kita baru memerlukan sematjam kota satelit bila kelak radius 15
km itu sudah tertjapai. Dan penduduk Djakarta sudah padat benar"
Jang dimaksud Tubagus kota satelit kalau tidak salah tentulah
daerah suburbia, jang bagi penduduk kota-kota besar Amerika
merupakan daerah tempat tinggal jang njaman sementara mereka
menghabiskan 8-10 djam kerdja sehari dikota inti jang terantjam
pengotoran udara Djakarta behlm sampai memikirkan suburbia, dan
untuk sementara ini djelaslah bahwa tata-penduduk DCI berpegang
pada prinsip pemadatan, bukan pementjaran.
Sebegitu djauh pemusatan dan pemadatan hanjalah istilah-istilah
jang baru menemukan bentuk dan mentjiptakan iklim paling tjepat
5 tahun lagi. Sementara itu masalah 3 djuta penduduk dan
kemelaratan djuga belum akan terpetjahkan. Tapi seperti halnja
kota-kota besar lain didunia Djakarta memiliki ketahanan raksasa
untuk menanggungkan penderitaan. Ali Sadikin tentulah sangat
menjadari hal ini, seperti ia djuga menjadari bahwa Djakarta
tidak mungkin mengatasi seluruh permasalanannja dengan tenaga
sendiri. Diperlukan tenaga ekstra, apakah dari Pemerintah Pusat
jang belum bisa murah hati, ataupun dari modal luar negeri.
Adapun jang terachir ini telah menampakkan diri dan membuat Buku
Pelita DCI jang dikeluarkan tahun '69 mendjadi kurang lengkap.
Perkembangan belakangan dari kegairahan modal asing telah
memperpandjang projek pembangunan dibawah otorita DCI dengan
sederetan nama jang kedengarannja mantap20seperti projek Antjol
untuk industri menengah, perumahan dan rekreasi, projek Tjempaka
Putih untuk perumahan industri dan rekreasi, projek Pulo Gadung
untuk industrial estate jang mentjakup industri berat besi &
badja. Masih dapat ditambah lagi dengan beberapa projek lain
jang djelas akan melantjarkan arus uang mengalir kekas DCI.
Dengan sematjam faktor x, atau katakanlah faktor keberuntungan
jang selama ini menjertai langkah Ali Sadikin, mudah-mudahan
Djakarta bisa berdjaja dan mengedjar ketinggalan 20 tahun dan
bisa berfungsi dengan baik sebagai djendela pertama Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini