Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Arsip

Dua Tahun Dilarang, Paham Ma Ba Tha Masih Mengakar di Myanmar

Paham radikalisme di Myanmar ini memicu terjadinya konflik yang menyudutkan kelompok-kelompok minoritas termasuk etnis Rohingya.

20 Januari 2019 | 17.11 WIB

Biksu Budha berjalan mengharapkan sedekah dari sekelompok polisi yang berjaga di sisi sebuah rumah yang dirusak di Hlekuu, utara Yangon, Myanmar (5/4). Ratusan polisi dikerahkan setelah massa mulai menggeledah bertingkat tiga rumah yang dimiliki oleh seorang Muslim di mana dua anak laki-laki Muslim di tengah sengketa itu mencari tempat berlindung. (AP/Gemunu Amarasinghe)
Perbesar
Biksu Budha berjalan mengharapkan sedekah dari sekelompok polisi yang berjaga di sisi sebuah rumah yang dirusak di Hlekuu, utara Yangon, Myanmar (5/4). Ratusan polisi dikerahkan setelah massa mulai menggeledah bertingkat tiga rumah yang dimiliki oleh seorang Muslim di mana dua anak laki-laki Muslim di tengah sengketa itu mencari tempat berlindung. (AP/Gemunu Amarasinghe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Setelah pelarangan organisasi ultranasionalis Myanmar, Ma Ba Tha, radikalisme antaragama di Myanmar belum surut karena pengaruh organisasi garis keras tersebut masih mengakar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ini adalah dampak dari pengajaran yang dilakukan oleh Ma Ba Tha yang kerap menyebar ujara kebencian terhadap Rohingya, atau minoritas lain di Myanmar, menurut laporan yang dilansir dari Manila Times, 18 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyebaran radikalisme Ma Ba Tha disinggung dalam seminar internasional Nurturing Faith: State, Religious Education, and Prevention of Violent Extremism in Southeast Asia di Jakarta.

Ma Ba Tha telah memainkan peran dalam kekerasan sektarian di Myanmar pemerintahan Thein Sein sebelumnya. Kelompok yang dipimpin oleh biksu radikal menyebarkan radikalisme di Myanmar, memberikan edukasi radikal kepada pengikutnya.

"Ma Ba Tha menyebarkan edukasi religi yang menyebarkan paham ultranasionalisme dan radikal terhadap minoritas," kata peneliti kepada Tempo, 15 Januari 2019."Biasanya, lulusan sekolah Islam (madrasah) kesulitan mendapat pekerjaan setelah lulus dan terpaksa bekerja buruh kasar atau ke negara lain."

Menurutnya, toleransi antaragama di Myanmar bukan hanya terjadi kepada Muslim namun juga agama minoritas lain di Myanmar, termasuk Kristen. Ini menjadi contoh bagaimana kaum garis keras Myanmar menyebarkan radikalisme menentang minoritas.

Lembaga Budha tertinggi Myanmar telah melarang organisasi Ma Ba Tha pada 2017. Komisi Sangha Maha Nayaka, otoritas tertinggi Budha Myanmar, telah mengirim surat kepada kementerian Myanmar untuk melarang organisasi Ma Ba Tha, untuk meredam radikalisme yang menggunakan retorika anti-Muslim.

Namun pelarangan tidak mencegah biksu radikal seperti Ashin Wirathu menyebarkan paham radikalnya terhadap minoritas.

Setelah Ma Ba Tha dilarang, pada dasarnya ia bereinkarnasi melalui Yayasan Nasional Buddha Dhamma Parahita yang berjanji untuk melindungi agama Budha di Myanmar, yang mereka pandang sebagai hak warga negara di bawah Konstitusi 2008. Ketuanya, seorang biksu senior Ashin Tilokabhivamsa di Biara Ywana Payiyarti di pinggiran Yangon.

Menurutnya Myanmar miliki masalah imigrasi dan bahwa islamisasi merambat ke negara itu melalui negara bagian Rakhine.

"LSM menciptakan masalah ini, dan media serta PBB berada di bawah kendali uang LSM internasional," katanya.

Ketika ditanya tentang label ekstremis yang diberikan kepada biksu Ma Ba Tha, dia menjawab, "(ucapan) kita adalah ucapan yang benar dan fakta sejarah. Kami tidak pernah berbohong, kami berbicara kebenaran.

"Adalah media Barat yang berbohong," katanya.

Biksu Ashin Wirathu, diduga sebagai dalang kerusuhan dan pembantaian muslim rohingya. Paula Bronstein/Getty Images

Menurut laporan CNN, organisasi garis keras dan radikal Ma Ba Tha, menilai Islam sebagai ancaman utama. Thaw Parka, juru bicara kelompok Ma ba Tha, mengatakan pada November 2017, sebelum organisasi ini dilarang, bahwa tidak pernah ada genosida yang dilakukan di Myanmar seperti klaim masyarakat internasional.

Ma Ba Tha adalah kelompok garis depan protes anti-Rohingya sejak isu ini mulai memanas pada 2014. Tokoh terkemuka Ma Ba Tha, Ashin Wirathu, seorang biksu kontroversial dari Mandalay, yang pernah menciptakan gerakan boikot bisnis Muslim.

Ma Ba Tha bahkan mengajukan amandeman UU tentang rasial dan agama Myanmar yang kontroversia, menurut laporan Asia Times.

Sementara pengamat mengatakan kepada New York Times arahan otoritas Budha, dan jawaban keras kepala Ma Ba Tha, menggambarkan tantangan utama yang dihadapi Liga Nasional untuk Demokrasi, partai politik yang dipimpin oleh pemenang Nobel Perdamaian Daw Aung San Suu Kyi.

Tindakan keras pemerintah terhadap Ma Ba Tha, kdapat meredakan tekanan terhadap Aung San Suu Kyi dari para pembela hak di luar negeri yang telah mengkritik ketidakmampuannya, atau mungkin keengganan, untuk mengekang kekerasan yang direstui negara terhadap Rohingya yang tinggal di Myanmar barat.

Namun, para pengamat mengatakan, ini juga bisa mendorong pendukung Ma Ba Tha ke arah partai politik yang semakin menganut retorika Budha garis keras, termasuk satu partai yang terkait dengan junta militer yang memerintah Myanmar selama beberapa dekade hingga 2011.

"Liga Nasional untuk Demokrasi terus mengabaikan gerakan ini secara umum dalam bahaya,"Matius J. Walton, seorang peneliti senior di Universitas Oxford yang mempelajari agama dan politik di Myanmar, mengatakan tentang Ma Ba Tha.

Ketegangan sektarian sangat tinggi di Myanmar setelah gerilyawan Rohingya membunuh sembilan petugas polisi di pos perbatasan di Rakhine, menghasut kampanye kontra-pemberontakan brutal yang mengirim puluhan ribu Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Namun dukungan rakyat untuk Ma Ba Tha atau pendukungnya tidak menurunkan popularitas partai Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum Myanmar 2015, yang pertama sejak berakhirnya pemerintahan militer, karena banyak orang memilih untuk perubahan luas daripada kebijakan khusus, mesikpun dapat berubah pada pemilihan umum berikutnya pada tahun 2020, di mana Liga Nasional untuk Demokrasi harus meminta para biksu pendukungnya merestui wacana melindungi dan mempromosikan agama Budha yang tidak memerlukan pengusiran umat Islam di Myanmar.

 


Catatan Redaksi:

Judul dan artikel ini telah diubah pada Jumat, 18 Januari 2019 pukul 18.00 PM. Perubahan ini berkaitan dengan kebijakan dari pihak penyelenggara dan peneliti.

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus