Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada Senin ketiga Agustus lalu berjalan alot. Sejumlah peserta mempertanyakan efek samping vaksin measles-rubella (MR), yang hukum penggunaannya menjadi alasan sidang digelar.
Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Abdurrahman Dahlan, misalnya, khawatir vaksin itu menyebabkan kematian setelah masuk ke tubuh. Menurut Abdurrahman, hal tersebut dia pertanyakan demi kehati-hatian dalam memutuskan fatwa. “Semua perlu diuji, termasuk kandungan vaksinnya,” katanya, Kamis pekan lalu.
Dihadiri 45 dari 60 anggota Komisi Fatwa, rapat tersebut digelar atas permintaan Kementerian Kesehatan. Program vaksinasi MR tahap kedua oleh pemerintah meleset jauh dari target. Dari 32 juta anak yang menjadi sasaran, saat itu yang diimunisasi hanya 42,98 persen.
Penyebabnya, imunisasi ditolak pemerintah daerah dan masyarakat karena vaksin MR disebut mengandung zat yang berasal dari babi. Pemerintah daerah dan masyarakat berpegang pada fatwa MUI yang menyatakan vaksin yang dibuat dengan memanfaatkan zat tersebut haram.
Menyadari keberhasilan vaksinasi berhubungan dengan fatwa ulama, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menyurati MUI pada 6 Agustus lalu. Kementerian meminta MUI mengubah fatwa haram menjadi mubah. Dengan begitu, vaksin MR bisa digunakan dengan alasan darurat dan belum ada penggantinya. Sidang pun digelar pada 21 Agustus lalu.
Dalam sidang Komisi Fatwa, keraguan Abdurrahman luruh setelah Aminuddin Yakub, juga anggota Komisi Fatwa, dan sejumlah peserta lain menyampaikan data dari Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) serta Ikatan Dokter Anak Indonesia. Kedua lembaga diundang ke kantor MUI tiga hari sebelum sidang. Menurut Aminuddin Yakub, MUI ingin memperoleh data penunjang dalam mengambil keputusan.
Komnas PP KIPI, kata Yakub, dalam kajiannya menyatakan risiko kematian setelah imunisasi, yang akhir-akhir ini beredar di media sosial, tak berkaitan langsung dengan vaksin. “Kejadian kematian itu kebetulan saja,” ujar Ketua Komnas PP KIPI Hindra Irawan Satari, ketika dimintai konfirmasi soal data lembaganya yang dipaparkan dalam sidang Komisi Fatwa MUI.
Sebaliknya, jika imunisasi measles atau campak tak diberikan, nyawa anak-anak terancam. “Sedangkan jika virus rubela menyerang perempuan hamil, janinnya berpotensi mengalami cacat serta gangguan jantung dan pertumbuhan,” kata Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan.
Dalam sidang, bukan hanya Abdurrahman Dahlan yang meributkan kandungan vaksin. Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin berpendapat bahwa sesuatu yang berasal dari zat haram hanya boleh digunakan dalam kondisi darurat. Vaksin MR, kata Hasanuddin, termasuk haram karena dalam proses pembuatannya menggunakan zat yang berasal dari babi.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh tak sependapat dengan Hasanuddin. Ni’am berpandangan vaksin tersebut bukanlah lidzatihi atau sesuatu yang haram karena zatnya. “Menurut Pak Ni’am, unsur babi dalam vaksin itu bukan dagingnya. Hanya semacam sel. Menurut dia, sel bukan lidzatihi. Menurut saya, sel itu pun dari babi. Maka haram zatnya,” tutur Hasanuddin.
Ni’am tak membantah berbeda pendapat dengan Hasanuddin. Menurut dia, perbedaan pandangan adalah hal wajar dalam diskusi. Sekalipun ada perdebatan, kata Ni’am, fatwa diambil melalui musyawarah bersama. MUI bahkan mendukung vaksinasi di semua daerah. “Kami bahkan membantu Kementerian Kesehatan mensosialisasi fatwa mubah ini,” ujarnya.
Setelah bersidang selama tiga jam, sejak pukul 19.30 hingga 22.30, Komisi Fatwa akhirnya memutuskan penggunaan vaksin MR adalah mubah. Menurut Hasanuddin, fatwa itu diambil karena saat ini belum ada vaksin campak dan rubela yang halal. Sekalipun boleh digunakan, dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tertanggal 20 Agustus 2018 itu, disebutkan bahwa pemakaiannya hanya dalam keadaan darurat.
Kenyataannya, perdebatan tak selesai setelah palu diketuk. Beberapa hari setelah penetapan fatwa mubah, Wakil Sekretaris Jenderal MUI Tengku Zulkarnain mengatakan MUI menggelar rapat soal terbitnya fatwa mubah yang dihadiri pemimpin lembaga itu. Dalam pertemuan tersebut, Zulkarnain berkukuh tak setuju terhadap imunisasi MR. Ia menyampaikan bahwa saat ini pemberian vaksin MR belum dibutuhkan masyarakat. “Anak saya enggak disuntik baik-baik saja. Saya sampai sudah punya cucu juga,” ujarnya.
Zulkarnain meminta peserta pertemuan mempertimbangkan kejadian setelah imunisasi. Ia memaparkan data yang diperolehnya dari Halal Corner, lembaga pemerhati label halal. Halal Corner meminta MUI merevisi fatwa mubah yang telah diputuskan. “Mereka membawa data ada yang meninggal setelah disuntik vaksin ini,” kata Zulkarnain.
Pendiri Halal Corner, Aishah Maharani, membenarkan info tentang pertemuannya dengan Tengku Zulkarnain. Dia berkukuh fatwa mubah mesti diamendemen.
Wakil Sekretaris Jenderal MUI Salahuddin Al-Ayyubi mengatakan, setelah fatwa mubah diputuskan, perdebatan memang masih terjadi di antara pengurus MUI. Meski begitu, hal itu tak mengubah fatwa 20 Agustus. Perubahan fatwa hanya terjadi jika telah ada vaksin MR berlabel halal. “Fatwa mubah ini niatnya baik,” ujar Salahuddin. “Membangun generasi yang sehat adalah tanggung jawab bersama.”
DEVY ERNIS, RAYMUNDUS RIKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo