Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ruam-Ruam yang Mencekam

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Vaksin campak dan rubela di Puskesmas Darussalam, Banda Aceh, Rabu pekan lalu. -ANTARA/Ampelsa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mustaqowini bergeming ketika petugas dari sekolah anaknya menyodorkan surat izin imunisasi measles-rubella yang mesti ditekennya pada akhir Agustus lalu. Alih-alih memarafnya, ia mengembalikan formulir itu ke petugas tanpa coretan apa pun. “Saya tahu serum vaksin itu mengandung babi,” katanya, Rabu pekan lalu.

Perempuan 35 tahun asal Kampar, Riau, itu berkukuh tak akan membolehkan kedua anaknya divaksin meski pemerintah dan Majelis Ulama Indonesia di Riau sudah mengizinkan imunisasi measles-rubella (MR) yang sempat ditunda karena belum berlabel halal. Padahal dinas kesehatan setempat sudah mendeteksi 50 kasus campak di kabupaten itu per Juni lalu.

Mustaqowini sebenarnya paham campak bisa ditangkal dengan imunisasi MR. Tapi ia malah menyalahkan pemerintah yang tak menjelaskan kehalalan vaksin MR.

Penolakan lebih keras terjadi di sejumlah daerah. Deputi II Bidang Kajian dan Pengelolaan Program Prioritas Kantor Staf Presiden, Yanuar Nugroho, menerima laporan bahwa enam petugas kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat Popayato Induk, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, diancam ketika hendak melakukan vaksinasi. “Orang tua membawa parang, mengunci rumah, dan mengancam akan memotong petugas imunisasi,” kata Yanuar.

Petugas imunisasi di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) Selalak Selatan, Banjarmasin, mengalami intimidasi serupa. Menurut cerita Yanuar, seorang pria sembari menenteng senjata tajam mendatangi Posyandu dan mengatakan vaksin MR haram karena mengandung enzim babi. Pria tak dikenal itu juga memaksa petugas membuang semua stok vaksin dan membuat petugas itu lari terbirit-birit.

Masifnya penolakan terhadap vaksin MR menyebabkan Kementerian Kesehatan gagal mencapai target imunisasi MR tahap kedua yang diadakan di 28 provinsi di luar Pulau Jawa. Tahap pertama dilaksanakan tahun lalu di enam provinsi di Jawa. Yanuar mengatakan tingkat keberhasilan vaksinasi MR hingga awal September 2018 baru 42,98 persen dari 32 juta anak. Padahal target pemerintah hingga 95 persen. “Kejadian luar biasa campak bisa terjadi lagi,” ujar Yanuar.

Angka capaian itu dibuka Yanuar dalam rapat dengan Kementerian Kesehatan dua pekan lalu. Vaksinasi di Aceh, misalnya, hanya mencapai 4,94 persen, di Riau kurang dari 20 persen, dan di daerah lain masih di bawah 30 persen. Padahal, dengan keberhasilan imunisasi hingga 85 persen saja, kasus campak yang muncul bisa mencapai 82 ribu dengan seribu kematian. “Kementerian sempat kaget karena data mereka berbeda dengan data yang kami punya,” kata Yanuar.

Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat sedikitnya 699 kasus measles atau campak dan rubella, yang dikenal awam sebagai campak Jerman, telah terjadi di Indonesia sampai September 2018. Bila menyerang anak-anak, campak bisa menyebabkan kematian. Adapun gejala rubela lebih ringan daripada campak tapi sama-sama ditandai munculnya ruam merah. Tapi, bila rubela menyerang perempuan hamil, bayinya kelak bisa mengalami cacat permanen.

Sejumlah pemerintah daerah sudah menetapkan status kejadian luar biasa campak dan rubela di wilayahnya. Salah satunya Kalimantan Selatan. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan Muhammad Muslim mendata ada 275 kasus campak dan rubela sejak awal 2018. Dinas menemukan penderita terbanyak ada di Kota Banjarbaru, sekitar 30 kilometer sisi tenggara Banjarmasin, dengan 71 kasus.

Sebagian besar kasus terjadi di pondok pesantren, seperti Pondok Pesantren Darul Ilmi dan Pondok Pesantren Al-Falah. Karena itu, Banjarbaru ditetapkan sebagai daerah kejadian luar biasa. “Capaian vaksin MR di Kalimantan Selatan baru sekitar 36 persen,” ujar Muslim, Kamis pekan lalu.

Kejadian campak dan rubela di Kalimantan Selatan menular ke provinsi tetangganya, Kalimantan Tengah. Kepala Dinas Kesehatan Kalimantan Tengah Yayu Indriarty mengatakan daerahnya sudah menetapkan kejadian luar biasa campak di Kabupaten Kapuas, yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Selatan. Hingga bulan ini, ada 68 kasus campak di sana.

Menurut Yayu, banyak warga Kalimantan Tengah yang berladang dan berdagang di Kalimantan Selatan. Para penderita campak diduga terpapar virus ketika mereka singgah di provinsi jiran. “Sejumlah pasien punya hubungan keluarga dan pernah bepergian ke Kalsel,” ujarnya.

Yanuar Nugroho dari Kantor Staf Presiden mengatakan polemik vaksinasi MR dipicu Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi. Salah satu isi fatwa itu menyebutkan hukum penggunaan vaksin dari bahan yang najis adalah haram. Jenis vaksin MR yang dipakai di Indonesia memanfaatkan enzim yang diambil dari pankreas babi, yang dalam Islam diharamkan—meski dalam pembuatan vaksin, produk akhir sudah melewati proses pemurnian.

Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin (kanan) dan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek dalam acara diskusi bertema ”Jalan Panjang Fatwa MUI Vaksin Measles Rubella” di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Selasa pekan lalu.

Fatwa MUI itu dipakai pemerintah daerah untuk menunda imunisasi. Pelaksana tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, dan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi sempat melarang pelaksanaan imunisasi di wilayahnya karena vaksin belum dinyatakan halal oleh MUI. “Jangan ada dulu imunisasi sampai ada pernyataan halal dari Majelis Ulama Indonesia,” ujar Nova.

Ketua MUI Riau Muhammad Nazir mengatakan lembaganya memang sempat menyerukan imunisasi MR haram seperti fatwa MUI pusat. Alasannya, menurut Nazir, Kementerian Kesehatan tak melaporkan komposisi vaksin yang diproduksi di India itu. “Kami tak bisa mengatakan kepada masyarakat vaksin itu halal karena nyatanya ada unsur babi,” ujarnya.

Di daerah, MUI juga menemukan pegawai dinas kesehatan tak terbuka mengumumkan status kehalalan vaksin pada saat sosialisasi. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Salahuddin Al-Ayyubi mengatakan koleganya bahkan beberapa kali menjumpai pegawai pemerintah menyebutkan vaksin MR sudah berlabel halal. “Kawan-kawan di daerah bingung. Belum pernah ada label halal vaksin, tapi dinas kesehatan sudah mengumumkan halal,” tutur Salahuddin.

Mencegah kabar bahwa vaksin MR sudah halal merebak, MUI menyurati Kementerian Kesehatan pada 25 Juli lalu. Menurut Salahuddin, surat itu berisi penegasan bahwa tak ada vaksin MR berlabel halal karena Kementerian Kesehatan dan produsennya belum mengajukan permohonan sertifikasi. “Kalau ada yang menyatakan halal, artinya itu pembohongan publik,” ujarnya.

Kementerian merespons surat MUI tiga hari berselang. Menurut Salahuddin, Menteri Kesehatan Nila Moeloek meminta waktu bertemu. Permintaan Nila itu baru terwujud pada 3 Agustus 2018. Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin sendiri yang menerima rombongan Kementerian Kesehatan di kantor MUI di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, Nila dan Ma’ruf membahas nasib program vaksin MR yang kadung dicap haram. Menurut Salahuddin, MUI memberikan saran kepada pemerintah supaya mengontak produsen vaksin MR di India agar segera mengirimkan komposisi vaksin ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI. Sementara proses itu berjalan, MUI dan Kementerian bersepakat melanjutkan imunisasi, khusus bagi masyarakat yang tak terhalang hukum syariah. “MUI ini sebenarnya helpful, lho,” ujar Sala-huddin.

Kementerian baru bersurat ke Serum Institute of India, produsen vaksin MR, pada 6 Agustus lalu. Pada hari yang sama, Nila juga melayangkan edaran kepada kepala daerah tentang pelaksanaan vaksinasi MR tahap kedua. Menurut Salahuddin, pada tanggal itu pula Kementerian mengirim surat permohonan ke MUI. “Mereka meminta fatwa mubah dan sertifikasi produk halal,” katanya.

Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin menyebutkan Kementerian terlambat meminta fatwa mubah vaksin MR. Dengan adanya fatwa mubah, vaksin yang tadinya diharamkan boleh digunakan karena dalam keadaan darurat dan belum ada penggantinya. Menurut Ma’ruf, Kementerian membiarkan status vaksin MR tak jelas selama dua tahun sejak MUI mengeluarkan fatwa imunisasi pada 2016. “Akhirnya, masyarakat menjadi tidak percaya,” ujar Ma’ruf.

Meski menuding Kementerian lambat, MUI memproses permintaan fatwa mubah. Komisi Fatwa akhirnya bersidang pada 17 Agustus lalu. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am memimpin rapat yang dihadiri sedikitnya 40 ulama anggota Komisi dan perwakilan Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta PT Bio Farma—importir vaksin MR di Indonesia. “Ulama sebenarnya ingin membantu cari solusi, tapi kami harus tahu dulu komposisi bahannya,” kata Hasanuddin A.F., Ketua Komisi Fatwa MUI.

Menurut Hasanuddin, Komisi akhirnya mengizinkan pemakaian vaksin dengan mengeluarkan fatwa mubah pada 20 Agustus lalu. Hanya, MUI tak bisa memberikan sertifikasi halal seperti permintaan Kementerian karena vaksin MR memanfaatkan unsur yang diharamkan dalam proses pembuatannya.

Meski fatwa mubah sudah diketuk, laju imunisasi tetap saja terseok-seok. Data Kementerian Kesehatan mencatat, sejak Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari SII untuk Imunisasi terbit, keberhasilan imunisasi hanya merangkak naik satu persen setiap hari.

Deputi II Kantor Staf Presiden Yanuar Nugroho mengatakan laju imunisasi MR lambat antara lain karena gaung fatwa mubah tak sekuat fatwa haramnya. “Kami akhirnya menempuh jalur-jalur informal agar pesan fatwa mubah itu bisa tersampaikan dengan baik,” ujar Yanuar.

Yanuar menemui Muhammad Dian Nafi, pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Surakarta. Dian menyarankan pemerintah bekerja sama dengan MUI mensosialisasi fatwa mubah di daerah. “Komunikasi Kementerian Kesehatan dan ulama harus lebih sinergis,” kata Dian, yang mengaku ikut menyelipkan bahaya campak dan rubela dalam dakwahnya belakangan ini.

Abdul Ghofarrozin, anggota staf khusus presiden urusan pesantren, juga ditemui Yanuar. Ghofarrozin menganjurkan Komisi Fatwa MUI lebih getol turun ke daerah yang masih menolak vaksin MR. “Saya juga menyarankan pemerintah mendekati mubalig atau penceramah yang punya penggemar,” ujarnya.

Seorang pejabat pemerintah mengatakan sejumlah orang diutus untuk melobi dai kondang, seperti Abdul Somad Batubara dan Dedeh Rosidah alias Mamah Dedeh, agar menyinggung vaksin MR dan fatwa mubah MUI dalam ceramahnya. Abdul Somad membenarkan kabar bahwa ia pernah membantu sosialisasi imunisasi MR. “Sudah dilaksanakan di Dinas Kesehatan Provinsi Riau tiga bulan lalu,” tuturnya dalam pesan pendek yang dikirimkan melalui telepon sahabatnya.

Somad berpendapat, meski fatwa halal dari MUI belum ada, karena keadaan darurat, masyarakat boleh menggunakannya. Dalam video dakwahnya, Somad mengatakan hal serupa. “Pilih babi atau mati?” katanya kepada jemaah. Video ini diambil dari tablig tiga bulan lalu.

Somad memberikan analogi. Apabila orang berada di dalam hutan, tapi tak ada makanan halal dan cuma ada babi, dibolehkan makan babi ketimbang mati kelaparan. “Sampai sekarang, tak ada vaksin halal. Maka, kalau takut mati, silakan vaksin,” ujar mubalig lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, ini.

Pejabat pemerintah yang sama juga mengaku sudah menjalin komunikasi dengan Mamah Dedeh. Mubalig perempuan ini diminta menyampaikan dalil imunisasi pada saat kondisi darurat. “Sudah pernah saya jelaskan di acara off air karena ada jemaah yang bertanya. Kalau hukumnya mubah, imunisasi itu diizinkan,” kata Mamah Dedeh ketika dimintai kon-firmasi.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan pemerintah sudah berupaya keras mensosialisasi dan menyelenggarakan imunisasi MR tahap kedua. Kementerian tak mau Indonesia menjadi salah satu negara dengan kasus campak terbesar di dunia seperti pada 2015. “Targetnya, pada 2020, Indonesia sudah bisa mengeliminasi kasus campak dan rubela,” ujar Nila.

Nila mengakui banyak daerah yang capaian imunisasinya rendah. Ia berharap Kementerian dan MUI bahu-membahu dalam menyukseskan imunisasi MR. “Saya rasa Kementerian dan MUI bisa pergi bersama ke sana untuk memberikan informasi fatwa yang terbaru,” katanya.

RAYMUNDUS RIKANG, DEVY ERNIS (JAKARTA), KARANA W.W. (PALANGKARAYA), ADI WARSIDI (ACEH), RIYAN NOFITRA (PEKANBARU)

Menteri Kesehatan Nila Moeloek:

Imunisasi Sampai Mencapai Target

KEMENTERIAN Kesehatan gagal memenuhi target imunisasi measles-rubella tahap kedua. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek menyatakan ada sejumlah ganjalan yang menyebabkan capaian vaksinasi rendah. Penjelasan Nila berikut ini dirangkum dari berbagai kesempatan tanya-jawab.

Mengapa capaian imunisasi MR tahap kedua di bawah target?

Kami harus memvaksin 70 juta anak secara massal. Tahun lalu sudah separuhnya dilaksanakan di Pulau Jawa. Tahun ini di luar Pulau Jawa yang kondisinya memang tak mudah karena petugas kami harus menghadapi kondisi geografis yang luar biasa. Kami sudah bekerja keras. Sampai di Papua itu, petugas kami yang menjemput bola.

Apakah salah satu faktornya penolakan masyarakat karena fatwa haram imunisasi?

Mungkin. Saya tidak ingin mengatakan faktor itu benar atau tidak, termasuk adanya penolakan oleh masyarakat karena faktor itu.

Apa solusinya?

Kalau bisa, waktunya diperpanjang. Tingkat keberhasilan beberapa daerah sudah cukup tinggi, seperti Papua dan Bali. Khusus di daerah yang masih rendah, Kementerian dan MUI harus pergi ke sana bersama-sama untuk memberikan pengertian kepada masyarakat. Kami lanjutkan imunisasi sampai mencapai target, yakni masyarakat menyadari pentingnya imunisasi.

Bagaimana bila masih banyak yang menolak vaksin?

Tolong disadari bahwa kondisi darurat itu tidak untuk dirinya saja, tapi juga untuk lingkungannya. Tolong ingat peristiwa campak di Asmat. Penyakit ini mudah menular dan sangat mematikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus