Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Memutus Rantai Campak dan Rubela

Campak dan rubela menyebabkan banyak komplikasi pada tubuh. Bisa dicegah dengan imunisasi.

22 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang anak menggunakan kacamata tebal, di Pekanbaru, Riau. -ANTARA/FB Anggoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amiryanto tak pernah menyangka demam yang merundung istrinya saat hamil muda, 12 tahun lalu, akan membuat anaknya tuli berat. Syaheil, sang buah hati, kini mesti menggunakan alat bantu dengar. “Padahal waktu itu saya sempat tanya ke dokter apakah sakitnya itu berpengaruh pada janin. Katanya tidak,” ucap Amiryanto, 43 tahun, Kamis pekan lalu.

Nyatanya, pengaruh virus yang menyebabkan demam dan sedikit ruam kala itu terbawa sampai sekarang. Syaheil tidak hanya tuli, penglihatannya juga kabur sehingga ia mesti mengenakan kacamata sedari bocah. Jantung Syaheil pun bocor. Beruntung kebocoran itu akhirnya tertutup. Dokter mendiagnosisnya menderita sindrom rubela bawaan. “Karena kondisinya ini, ia kami sekolahkan di sekolah luar biasa khusus untuk penyandang tunarungu,” ujar Amiryanto, warga Pondok Aren, Tangerang Selatan.

Bersama Syaheil, ada Nadhif yang menderita kelainan bawaan serupa. Karena rubela pula, Nadhif terlahir dengan jantung bocor, mata kiri katarak, telinga tuli berat, serta masalah pada otak yang menyebabkan keterlambatan perkembangan motorik. Sejak lahir, warga Cipete, Jakarta Selatan, itu bolak-balik masuk rumah sakit. “Sekarang anaknya sudah kelas V, satu sekolah dengan Syaheil,” kata Yunellia Bhakti, mama Nadhif.

Rubela adalah penyakit yang sering menginfeksi anak dan orang dewasa muda. Pada mereka, virus tersebut menyebabkan demam, ruam kulit, mual, mata merah, dan pembengkakan kelenjar getah bening pada belakang telinga. Efeknya lebih ringan ketimbang campak. Namun, jika penyakit ini menjangkiti ibu hamil, ceritanya akan lain.

Ketika masuk ke tubuh, penyakit yang juga dikenal dengan nama campak Jerman ini akan melahap makanan sel-sel janin. Sel yang tak mendapat makanan itu akhirnya akan mati. Sedangkan rubela akan berpindah mencari sel lain yang masih hidup.

Padahal sel-sel inilah yang antara lain akan membentuk mata, jantung, telinga, dan otak. Karena sebagian selnya mati akibat rubela, organ yang terbentuk tak akan sempurna. Dalam banyak kasus, kerusakan ini menyebabkan keguguran, kematian janin, dan bayi lahir meninggal.

Kalaupun terlahir, ia akan menderita kelainan. “Kalau mau lihat dampak rubela, di sekolah luar biasa itu hampir 90 persen rubela. Yang tuli, yang buta,” tutur guru besar ilmu kesehatan anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Sri Rezeki Hadinegoro.

Masalahnya, tak ada obat yang bisa mematikan virus tersebut ketika sudah telanjur masuk ke tubuh. Satu-satunya cara adalah mencegah penularannya lewat vaksin. Pemberian vaksin untuk rubela ini biasanya digabung dengan vaksin lain, misalnya campak, alias vaksin measles-rubella (MR).

Dampak kedua penyakit ini tak main-main. Gejala campak mirip rubela, tapi tak disertai dengan pembengkakan kelenjar di bagian belakang leher. Penyakit ini juga menyebabkan flu dan pilek.

Yang membuat waswas adalah komplikasi yang ditimbulkannya. Campak bisa menyebabkan radang paru-paru—penyebab nomor satu kematian anak di bawah lima tahun. “Sebagian kematian akibat radang paru-paru itu disebabkan oleh campak,” ucap dokter spesialis anak, Hartono Gunardi. Campak juga menyebabkan radang otak, yang bisa berujung pada kematian.

Komplikasi lain penyakit ini adalah diare berkepanjangan. Virus campak yang masuk ke tubuh bisa menyerang usus dan kemudian menyebabkan kebocoran protein. Padahal protein dipakai untuk membangun tubuh, seperti menambah berat dan tinggi badan. Kalau protein bocor, anak jadi kurus-kerempeng. Jika kondisi itu berlangsung terus-menerus, ujung-ujungnya anak menderita stunting atau gizi buruk berkepanjangan.

Penyakit ini sangat menular. Menurut Hartono, satu anak yang menderita campak bisa menulari 20 anak lain. “Yang 20 itu akan menulari lagi dan lagi,” ujarnya.

Cara efektif menghentikan penyebaran campak dan rubela adalah vaksinasi. Vaksin yang terbuat dari virus yang sudah dilemahkan akan membuat tubuh menciptakan antibodi. Dengan begitu, ketika campak dan rubela menyerang, tubuh sudah terlatih dan bisa melibas penyakit tersebut. “Suntikan pertama akan memberikan kekebalan 85 persen, diulang sekali lagi agar memberikan perlindungan penuh,” ucap Hartono.

Selain melindungi diri sendiri, mereka yang divaksin akan melindungi orang-orang di sekitarnya. Virus yang menyerang akan dilawan oleh vaksin di dalam badan. Mereka yang divaksin tak akan membawa virus tersebut sehingga tak menulari yang lain. Maka, makin banyak orang yang divaksin, makin tinggi kekebalan komunitas. “Kalau cakupan imunisasinya bisa 95 persen, 5 persen sisanya bisa dilindungi dengan kekebalan kelompok,” tutur Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek.

Baik Amiryanto maupun Yunellia berharap tidak ada lagi anak yang menderita sindrom rubela bawaan. Mereka paham betul bagaimana jatuh-bangunnya membesarkan anak dengan kondisi khusus seperti Syaheil dan Nadhif. “Ini bukan hoaks, rubela itu betul-betul ada,” kata Amir-yanto.

NUR ALFIYAH

Dalam Kepungan Campak dan Rubela

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia adalah satu di antara sepuluh negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia. Kementerian Kesehatan mencatat ada 8.964 kasus campak dan 5.737 kasus rubela yang dilaporkan pada 2014-Juli 2018. Lebih dari tiga perempatnya adalah kasus dengan penderita anak di bawah 15 tahun. Adapun data dari 12 rumah sakit menunjukkan setidaknya ada 1.660 kasus sindrom rubela bawaan selama lima tahun terakhir.

Dampak Campak   

» 1 dari 20 pasien menderita pneumonia (radang paru)

»1 dari 10 ribu pasien menderita komplikasi radang otak

» 1 dari 10 pasien menderita infeksi telinga yang berujung tuli

» 1 dari 10 pasien menderita diare

» Beban ekonomi campak tanpa komplikasi per orang Rp 2,7 juta

» Beban ekonomi campak dengan komplikasi Rp 13 juta, di luar biaya hidup selama perawatan

 

Efek Rubela

» Masalah penglihatan

» Tuli

» Kelainan jantung

» Mikrosefali

» Autisme

» Diabetes melitus

» Biaya minimal penanganan sindrom rubela bawaan Rp 395 juta per orang untuk penanaman koklea di telinga, operasi jantung, dan operasi mata. Itu belum termasuk beban ekonomi untuk perawatan kecacatan seumur hidup. Analisis Profesor Soewarta Kosen menyebutkan kerugian makro akibat sindrom rubela mencapai Rp 1,09 triliun.

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus