Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, mengatakan rendahnya cakupan imunisasi MR gelombang kedua, yang mencakup 28 provinsi di luar Jawa, disebabkan oleh keraguan masyarakat ihwal status halal vaksin. Serum buatan India tersebut belum mendapat sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia. “Ini dipertanyakan di hampir semua daerah,” ujar Anung kepada wartawan Tempo Devy Ernis di kantornya, Rabu pekan lalu.
Kementerian Kesehatan, kata Anung, menggelar pertemuan dengan MUI pada awal Agustus lalu, tiga hari setelah imunisasi mulai bergulir. Perwakilan Bio Farma, sebagai pengimpor vaksin MR, juga hadir. Seusai pertemuan, Kementerian Kesehatan mempersilakan masyarakat menunggu terbitnya fatwa MUI sebelum mengajak anak mereka menjalani imunisasi.
Pada 20 Agustus lalu, MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari Serum Institute of India untuk Imunisasi. Hasilnya, serum tersebut memang menggunakan bahan yang berasal dari babi, tapi ada kondisi keterpaksaan dan belum ada vaksin MR yang benar-benar bebas dari zat yang diharamkan. Maka MUI menyatakan penggunaan vaksin tersebut bersifat mubah atau dibolehkan.
Anung, mantan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, yang menempati pos barunya sejak Februari lalu, optimistis cakupan kekebalan campak-rubela akan meningkat pasca-fatwa MUI dan perpanjangan masa imunisasi. “Meskipun tetap ada yang belum divaksin,” ujarnya dalam wawancara lanjutan dengan wartawan Tempo Angelina Anjar via telepon internasional saat dia sedang dalam perjalanan menuju New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kamis pekan lalu.
Mengapa Kementerian Kesehatan baru mengurus status kehalalan vaksin measles-rubella belakangan?
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 29, disebutkan yang berhak mengajukan permohonan adalah produsen. Tidak ada penjelasan apa pun mengenai pasal itu. Nah, produsennya adalah Serum Institute of India. Artinya, yang harus mengajukan permohonan sertifikasi halal adalah mereka.
Bio Farma selaku importir tidak meminta produsen mengurus sertifikasi halal ke MUI?
Sebelum saya jadi Dirjen (Pencegahan dan Pengendalian Penyakit), Bio Farma sudah menyampaikan hal itu ke India. Tapi India kan tidak mengenal halal-halalan seperti itu. Maka, sampai kemarin, mereka sama sekali tidak mengajukan permohonan. Ya, sertifikatnya tidak bisa terbit.
Status kehalalan merupakan sesuatu yang urgen di Indonesia....
Untuk sertifikasi, Majelis Ulama Indonesia meminta bahan, proses pembuatan, dan manajemen. Semua bahan diperiksa. India tidak mengenal proses itu. Ibaratnya, sebuah warung yang punya masakan enak dimintai resepnya oleh warung sebelah, sehingga Bio Farma tidak bisa memaksa.
Bagaimana penyelesaiannya?
Sampai 30 Juli lalu, saat saya sudah di Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, saya dan Bio Farma menemui MUI untuk mendiskusikan hal ini. Pertemuan itu di kantor MUI (Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat). Bagaimana duduk persoalan sebenarnya? Ternyata, permohonan sertifikasi juga bisa diajukan distributor. Maka langsung diajukan oleh Bio Farma. Pada 3 Agustus lalu, ada silaturahmi Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek dengan MUI di kantor MUI. Kami juga membahas pelaksanaan imunisasi MR dan sertifikasi halal vaksinnya. Mengenai imunisasi, itu mengacu pada Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 tentang Imunisasi (memantangkan penggunaan bahan haram, tapi wajib jika penyakitnya bisa mengakibatkan cacat permanen). Mengenai vaksinnya, kami diminta mengajukan permohonan fatwa. Dari situ, kami diberi tahu proses sertifikasi sudah diajukan Bio Farma.
Pabrik serum di India tidak keberatan bahannya dibedah?
Salah satu hasil pertemuan pada 3 Agustus itu meminta Kementerian Kesehatan menyurati Serum Institute of India agar menyerahkan bahan-bahan yang mereka pakai. Pada 8 Agustus, kami menerima surat bahwa mereka siap menyerahkan bahan proses produksi vaksin itu ke Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI. Bukan ke Kementerian Kesehatan. Maka keluarlah Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penggunaan Vaksin MR Produk dari SII untuk Imunisasi.
Penolakan terhadap vaksin MR terjadi di mana saja?
Sebenarnya bukan menolak, tapi lebih bicara soal apakah vaksin ini sudah dinyatakan halal atau belum. Di fase pertama di Jawa, tahun lalu, persoalan tentang halal-haram ini sudah muncul. Dipertanyakan di hampir semua daerah, meski mereka tidak sampai menolak. Misalnya, di Yogyakarta, ada beberapa sekolah yang enggak mau. Kalau tidak salah, ada 13 madrasah. Di periode sekarang, beberapa MUI daerah menyurati Kementerian Kesehatan dan MUI pusat.
MUI daerah mana?
MUI Jawa Timur, meski wilayahnya tidak masuk cakupan fase kedua ini, menyurati Kementerian Kesehatan dan Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Agustus lalu. Ada juga pertanyaan soal sertifikasi itu dari MUI Riau dan Bangka Belitung.
Termasuk Aceh, yang cakupan imunisasinya paling rendah?
Ya, Aceh rendah. Tapi, sampai sekarang, tidak ada yang menyatakan menolak. Cuma tidak menjalankan. Kan, beda.
Apa upaya Kementerian Kesehatan mengingat masih banyak wilayah di Aceh yang nihil imunisasi campak dan rubela?
Tadinya, kami dijadwalkan bertemu dengan pelaksana tugas Gubernur Aceh, Nova Iriansyah (yang meminta pemerintah kabupaten dan kota di bawahnya menunda imunisasi MR), pada 6 September lalu. Tapi dibatalkan. Beliau ada acara.
Tidak minta penjadwalan ulang?
Dalam kerangka otonomi daerah ini, kuncinya ada di daerah. Semestinya ada yang bertanya kepada Kementerian Dalam Negeri, kalau seperti ini, bagaimana pertanggungjawaban kepala daerah. Ini soal pelayanan masyarakat. Semua logistik dan tenaga kesehatan di Aceh sudah siap. Tapi kalau kepala daerah minta dihentikan?
Adakah penolakan dari MUI Aceh?
Saya tidak mendapat dokumen yang bilang seperti itu.
Dengan angka cakupan imunisasi nasional 49,07 persen, berapa cakupan per daerah?
Meskipun cakupan secara nasional masih di bawah 50 persen, ada beberapa provinsi yang sudah mencapai cakupan imunisasi minimal sebesar 92 persen, seperti Papua Barat, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Lampung. Di beberapa provinsi yang belum mencapai cakupan minimal, ada kota atau kabupaten yang cakupannya sudah bagus, seperti Jayapura, yang angkanya mencapai 100 persen. Artinya, beberapa kabupaten sudah mencapai cakupan minimal meskipun secara provinsi belum. Ini akan memunculkan herd immunity atau kekebalan komunitas. Saya berharap, kalaupun cakupan imunisasi di Aceh Singkil masih 11 persen, ada desa atau kecamatan yang sudah 100 persen.
Berapa perkiraan cakupan di penutupan masa imunisasi?
Kalau situasinya tetap seperti ini, sampai akhir September mungkin sekitar 60 persen. Targetnya 95 persen.
Kementerian Kesehatan akan memperpanjang masa imunisasi untuk mencapai target itu?
Ada dua skenario yang sempat dibicarakan. Pertama, kami ingin memperpanjangnya selama dua pekan, yakni sampai pertengahan Oktober. Dengan tren sekarang, naik satu persen per hari, ada kemungkinan cakupannya bisa 85-90 persen kalau diperpanjang dua pekan. Skenario kedua: memperpanjangnya selama satu bulan, yakni sampai akhir Oktober. Pertimbangannya, titer antibodi (tingkat antibodi yang diproduksi sistem kekebalan tubuh) baru akan meningkat dalam dua pekan. Ini pertimbangan teknis saja.
Akan ada perbedaan sasaran di masa perpanjangan nanti?
Kami memperhitungkan pengalokasian sumber daya. Strategi kami ke unit-unit wilayah kecil. Kami selesaikan dulu di desa-desa sehingga cakupannya 100 persen. Terus dengan cara semacam itu, sehingga menimbulkan kekebalan komunitas.
Apakah cakupan imunisasi melonjak setelah MUI berfatwa?
Mudah-mudahan ada respons positif. Misalnya, hari ini (Rabu pekan lalu) Kiai Haji Ma’ruf Amin, Ketua MUI, ke Aceh. Meski itu bukan untuk mensosialisasi fatwa MUI, mudah-mudahan Pak Gubernur menerima dalam kerangka imunisasi. Bangka Belitung sudah merespons positif. Pada 1 Agustus lalu, tepat saat pencanangan imunisasi MR, Wakil Gubernur Bangka Belitung Abdul Fatah minta penundaan. Namun, setelah ada fatwa, pemerintah daerah mengajak masyarakat melakukan imunisasi
Seberapa besar pengaruh gerakan antivaksin terhadap rendahnya cakupan imunisasi MR?
Gerakan antivaksin tidak hanya bicara vaksin MR. Pada dasarnya, mereka menolak semua jenis vaksin. Keraguan mereka muncul pada vaksin yang belum memperoleh sertifikat halal. Dengan adanya gerakan antivaksin yang cukup masif beberapa tahun belakangan, MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2016 bahwa imunisasi adalah sebuah upaya yang harus dilakukan. Tapi gerakan itu tetap memiliki pengaruh meskipun jumlah mereka sedikit. Jadi, bicara vaksin MR, bukan imunisasinya yang ditolak, melainkan vaksinnya karena belum memiliki sertifikasi halal.
Seandainya ada label halal untuk vaksin MR, bisakah cakupan imunisasi meningkat?
Insya Allah akan meningkat meskipun tetap ada yang belum mau divaksin.
Apa saja potensi ancaman bagi anak yang tidak diimunisasi MR?
Secara personal, mereka tidak mempunyai kekebalan terhadap penyakit yang sebenarnya bisa kita cegah. Kekebalan ini akan berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka karena pada dasarnya kuman masih ada di dalam tubuh dan beredar dari satu orang ke orang lain. Kalau tidak mempunyai kekebalan, mereka akan sangat rawan dan akan mudah tertular. Kalau daya tahan tubuhnya baik, terkena campak, barangkali hanya ruam-ruam. Tapi, kalau daya tahan tubuhnya rendah, terkena campak, bisa terjadi seperti di Asmat tahun lalu. Kematiannya cukup banyak. Kalau kita tidak mau imunisasi, bukan tidak mungkin negara-negara tertentu akan memberikan perlakuan khusus terhadap kita saat sedang melakukan perjalanan. Misalnya kewajiban imunisasi meningitis di Arab Saudi. Itu adalah bentuk kepedulian Arab Saudi untuk melindungi warganya.
Bisakah pemerintah memaksa warga menjalani imunisasi?
“Memaksanya” dengan memberikan pemahaman, bukan aspek legal formal. Jadi dengan pendekatan yang bersifat persuasif secara terus-menerus.
Caranya bagaimana?
Saat ini, Kementerian Kesehatan sedang melaksanakan program Indonesia Sehat dengan pendekatan keluarga. Esensinya adalah kami mengunjungi rumah-rumah tangga dan menanyakan berbagai hal yang masuk 12 indikator kesehatan, yang salah satunya terkait dengan imunisasi. Setelah itu, kami akan menetapkan status keluarga yang bersangkutan: sehat, prasehat, dan sebagainya. Nah, kesempatan itu bisa kami gunakan untuk mendekati rumah-rumah tangga secara personal. Kami juga melakukan pendekatan yang bersifat komunitas. Sebuah komunitas pasti memiliki tokoh-tokoh yang berpengaruh. Kami bersama MUI akan mendekati tokoh-tokoh itu sehingga mereka bisa memberikan pemahaman tentang persoalan halal-haram vaksin.
Kritik dilayangkan kepada Kementerian Kesehatan, yang disebut lemah dalam mensosialisasi imunisasi MR. Tanggapan Anda?
Barangkali memang benar kami kurang cukup strategis mengelola komunikasi. Tapi itu bukan berarti tidak melakukan. Kami sudah berkomunikasi dengan MUI sejak Juni mengenai imunisasi MR fase kedua ini. Penjelasan di level nasional sudah cukup.
Namun justru lembaga lain yang bergerak lewat tokoh agama, seperti Ustad Abdul Somad. Video ceramahnya yang membolehkan vaksin MR yang mengandung babi menjadi viral pada akhir Agustus lalu.
Media sosial menjadi wahana yang sedemikian berpengaruh, baik positif maupun negatif. Kita tidak bisa membendung itu. Tapi, menurut saya, tidak cukup satu tokoh ngomong, lalu capaian naik dari satu persen jadi dua atau tiga persen per hari. Ada hal-hal lain yang mempengaruhi.
Anung Sugihantono
Tempat dan tanggal lahir: Temanggung, Jawa Tengah, 20 Maret 1960
Pendidikan: SMA Negeri 4 Yogyakarta (1977), S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang (1984), S-2 Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2001)
Karier: Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Februari 2018-sekarang), Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan (2016-Juli 2018), Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (2014-2016), Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2011-2014), Pengajar Promosi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro, Semarang (1993-sekarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo