Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini kali tak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali… (”Senja di Pelabuhan Kecil”, 1946)
Garis-garis kecantikan tertinggal di wajah Sri Ajati. Pipinya, yang meski sudah berkerut, masih menyisakan rona jelita masa muda, dengan ukiran senyum ramah dan rambut putihnya yang berombak tergelung. Pada siang akhir Juli 2007 di kompleks perumahan di Kebayoran Baru, Jakarta, Alwi Shahab, wartawan senior Republika, bertemu dengan perempuan yang pernah dipuja Chairil Anwar itu.
”Ibu Sri masih terlihat rupawan meski sudah menginjak kepala sembilan,” kata Alwi, 80 tahun, kepada Tempo di rumahnya di kompleks Bale Kambang Asri, Kramat Jati, Jakarta Timur, akhir Juli lalu. Pertemuannya dengan Sri tertuang dalam sebuah artikel berjudul ”Bertemu Pujaan Chairil Anwar” di koran Republika edisi 3 Agustus 2007.
Sri Ajati adalah perempuan yang mendapatkan persembahan petikan sajak di atas dari Charil Anwar. Dalam bukunya, Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), kritikus sastra Hans Bague Jassin menilai sajak tersebut sebagai suatu kerawanan hati, kesedihan mendalam yang tak pernah terucapkan. ”Memang Chairil tak pernah bilang cinta kepada saya,” kata Sri kepada Alwi.
Menurut Jassin, Chairil tahu bahwa Sri kala itu sudah punya tunangan seorang calon dokter, Soeparsono. Setelah menikah, keduanya pindah ke Serang, lalu ke Magelang, saat Soeparsono diangkat sebagai Kepala Rumah Sakit Tentara Dokter Soedjono. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikaruniai empat anak dan enam cucu. Mayor Jenderal TNI Soeparsono wafat pada 1994. Sedangkan Sri meninggal pada 30 Desember 2009.
Ihwal Sri, Jassin menulis: tubuhnya tinggi semampai, kulitnya hitam manis, rambutnya berombak, kerling matanya sejuk dan tajam. ”Kiranya tak ada pemuda yang tak jatuh hati padanya,” tulis Jassin.
Jassin benar. Sri adalah gadis yang penuh daya pikat. Pesonanya pun mampu menggerakkan kuas pelukis Basoeki Abdullah untuk membuat potretnya pada 1945. Oleh Basoeki, Sri dilukis separuh badan dari sisi kiri. Rambutnya disasak menyerupai sanggul. Matanya mengerling tajam. Lukisan itu kini tersimpan di Museum Basoeki Abdullah di Cilandak, Jakarta Selatan.
Sayang, saat ditemui, kata Alwi, mata itu sudah tak mampu melihat dengan jelas lantaran penyakit glaukoma. Meski begitu, kekaguman Alwi tak pupus. Malah ia kian terpukau oleh ingatannya yang masih amat baik untuk menceritakan perkenalannya dengan Chairil.
Sri pertama kali bertemu dengan Chairil pada 1942. Perempuan kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 19 Desember 1919, itu tadinya sedang mengambil kuliah jurusan filologi di Faculteit der Oosterse Letteren en Wijsbergeerte (kini Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia). Ketika Jepang masuk ke Indonesia, semua sekolah ditutup dan ia terpaksa menganggur.
Kemudian Sri diminta Utoyo Ramelan—kemudian menjadi kepala perwakilan Indonesia di Singapura—untuk bekerja di Hoso Kyoku, radio Jepang cikal-bakal Radio Republik Indonesia. Di tempat inilah dia sering bertemu dengan seniman muda era itu, termasuk Chairil Anwar.
”Saya tahu Chairil membuat sajak untuk saya dari Mimiek, putri angkat Sutan Sjahrir,” ujar Alwi seperti dituturkan Sri. Namun Sri menolak disebut masa mudanya berwajah jelita dan menyebabkan penyair bermata merah karena kurang tidur itu jatuh cinta kepadanya.
Pada 1947, Sri pernah bermain teater dalam lakon Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin. Pada medio 1960, rumahnya di kompleks ABRI Magelang pun sempat menjadi markas seniman Magelang dan Yogyakarta. Salah satunya Genthong Hariono. Ia dramawan yang naskah dramanya, Ciut Pas Sesak Pas, menang dalam sayembara naskah drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1996. ”Ibu Sri tak canggung berada di antara kami. Mungkin karena pernah berkecimpung di dunia seni,” ujarnya saat ditemui di rumahnya di Bantul, Yogyakarta.
Hanya, Genthong bercerita, Sri kerap menghindar saat ditanya perihal Chairil. ”Beliau mungkin menjaga sikap dengan tak mengumbar cerita panjang tentang penyair yang pernah membuatkannya dua sajak itu,” tuturnya.
Selain menggubah ”Senja di Pelabuhan Kecil”, Chairil membuat sajak ”Hampa” untuk Sri pada 1943. Menurut Hasan Aspahani, penyair sekaligus wartawan Batam Pos penulis buku biografi Chairil Anwar, ”Hampa” amat melankolis.
”Penyairnya berhasil memasukkan suasana surealistik,” ucapnya. ”Tampaknya memang tak mudah bagi Chairil untuk menganggap Sri sebagai perempuan yang biasa saja.”
Ada beberapa gadis lain yang diabadikan Chairil ke dalam sejumlah sajak. Menurut Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar, mereka disebut dalam sajak dengan tiga cara. Pertama, disebutkan dalam baris-baris sajak, seperti nama Ida Nasution. Kedua, dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasjid, dan Tuti). Ketiga, sebagai persembahan sajak. ”Seperti yang dilakukan Chairil kepada Sri dan Karinah Moordjono,” tulis Pamusuk.
Puisi persembahan kepada Karinah Moordjono berjudul ”Kenangan”. Sajak tersebut berbunyi: … Halus rapuh ini jalinan kenang/ Hancur hilang belum dipegang/ Terhentak/ Kembali di itu-itu saja/ Jiwa bertanya: Dari buah/ Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?/ Menyelubung nyesak penyesalan pernah/ menyia-nyia/. Sajak ini digubah pada 19 April 1943.
”Jalinan 'kenangan' yang terjadi antara Chairil dan Karinah tentu hanya mereka berdua yang tahu,” tulis Pamusuk. Dua kali pria kelahiran Padang Matinggi, Sumatera Utara, 19 September 1951, ini menulis tentang Chairil. Yang pertama saat menyunting buku kumpulan puisi Chairil berjudul Aku Binatang Jalang; Koleksi Sajak 1942-1949 (1986) dan Mengenal Chairil Anwar. Namun Pamusuk menolak diwawancarai lebih lanjut.
Jassin pernah menulis sedikit tentang Karinah Moordjono, putri seorang dokter di Medan, pada 1930-an. ”Chairil mengenalnya ketika masih tinggal di Medan, sebelum pindah ke Jakarta pada 1941,” katanya dalam sebuah tulisan tangan yang belum diterbitkan dan tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Cikini.
Tak ada keterangan lebih lanjut mengenai Karinah, meski dialah perempuan pertama yang mendapat persembahan sajak dari Chairil. Sajak ”Kenangan” dibuat saat penyair kita ini berumur 21 tahun. Artinya, hubungan dengan Karinah ia jalin sebelum mencapai bilangan itu.
”Bentuk cinta yang terlambat untuk cinta monyet, tapi terlalu cepat untuk sebuah hubungan yang serius,” Hasan berpendapat. ”Sekecil apa pun hubungan itu, yang pasti Chairil, dalam sajaknya, merasa telah menyia-nyiakan sesuatu yang berharga.”
Jika benar Chairil mengenalnya saat di Medan, apakah Karinah adalah istri Chairil sebelum Hapsah yang dimaksud Sjamsulridwan, teman kecil Chairil, dalam Mimbar Indonesia edisi Maret-April 1968? Sjamsu menulis, ”Ketika itu dia (Chairil) telah bercerai dengan istrinya yang kedua, Hapsah.” Tulisannya itu berjudul ”Chairil Anwar dan Masa Kanak-kanak”.
Evawani Alissa, putri tunggal Chairil dan Hapsah, mengatakan tidak pernah mendengar nama Karinah Moordjono. ”Ibu saya tak pernah menyebut nama itu,” katanya. Begitu pula Nini Toeraiza Toeloes, 78 tahun, adik tiri Chairil.
Ida
Menembus sudah caya/Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut/Pecah pencar sekarang… (”Ajakan”, Februari 1943)
Sementara Karinah perempuan pertama yang dibuatkan sajak persembahan, Ida ialah perempuan pertama yang disebut Chairil di dalam baris sajaknya. Nama Ida banyak disebut dalam sajak dan prosanya.
Ida juga disebut dalam ”Bercerai” (7 Juni 1943), ”Merdeka” (14 Juli 1943), dan ”Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948). Chairil bahkan menyebut nama Ida berkali-kali dalam pidato yang dibuat pada 1943 untuk dibacakan di muka Angkatan Baru Pusat Kebudayaan pada 7 Juli 1943.
Pidato ini kemudian diterbitkan dua kali. Pertama dalam majalah Zenith edisi Februari 1951. Kedua dalam Pulanglah Dia Si Anak Hilang; Kumpulan Terjemahan dan Esai Chairil Anwar (2003).
Hasan berpendapat, Ida adalah kekasih sebentar, kawan segagasan, cinta yang menggairahkan dan menggelisahkan. Ida kerap disebut sepanjang 1943. Pada tahun itu, Chairil berumur 21 tahun, sedangkan Ida 19 tahun. ”Bersama Ida, Chairil seakan-akan menjadi lelaki 17 tahun kembali, menikmati kepolosan sepasang anak remaja,” ujarnya.
Apakah cinta Chairil kepada Ida berbalas? Sepertinya tidak. Kepada Jassin, Ida menyebut Chairil sebagai ”binatang jalang” yang sesungguhnya. ”Apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak karuan itu?” ujar perempuan yang pernah mengenyam pendidikan di Faculteit der Oosterse Letteren en Wijsbergeerte itu.
Sutan Takdir Alisjahbana dan Jassin memuji Ida sebagai esais yang cemerlang dan penerjemah yang berbakat. Dia pernah menerjemahkan Les Conquerent karangan Andre Gide menjadi Sang Pemenang dan dimuat dalam Opbouw-Pembangoenan. Bukan kebetulan jika Chairil menerjemahkan karya Gide yang lain, Le Retour de l'Enfant Prodigue, menjadi Pulanglah Dia Si Anak Hilang, yang dimuat dalam Poedjangga Baroe edisi September 1948. Dia sempat menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het Inzicht, sebelum bersama Chairil mengelola ”Gelanggang”, ruang kebudayaan dan sastra dalam majalah mingguan Siasat.
Semasa kuliah, Ida bersama kawan-kawan mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November 1947. Nahas, hidupnya berakhir tragis. Dia dilaporkan hilang pada 23 Maret 1948. Koran De Locomotief edisi 3 April 1948 menulis, ”Ida hilang saat perjalanan menuju Buitenzorg (Bogor) bersama teman-teman kuliahnya.” Koran berbahasa Belanda, Nieusger, mencurigai Ida diculik oleh anggota intelijen Belanda.
Sajak ”Lagu Siul” yang ditulis pada 1945 mulanya ditujukan untuk Ida. Dalam naskah tulisan tangannya, Chairil menulis nama Ida dalam subjudul. Namun nama itu dihilangkan saat diterbitkan pertama kali dalam Opbouw-Pembangoenan edisi 10 Desember 1945. Begitu pula saat muncul dalam buku antologi Deru Campur Debu (1957).
Meski Ida adalah cinta yang menggairahkan, perempuan yang paling membuat Chairil patah hati adalah Sumirat. Bukan karena cintanya ditolak, melainkan dipaksa kandas oleh ayah Sumirat, Raden Mas Djojoseputro—pensiunan tentara Belanda.
”Cril adalah seorang yang aneh sejak pertemuan pertama kami di Cilincing,” Sumirat bercerita, yang dituliskan kembali oleh Purnawan Tjondronagoro dalam artikel berjudul ”Cril, Penyair yang Kukagumi; Sebagaimana yang Dikisahkan Mbakyu Sumirat” dalam Intisari edisi Juni 1971. Cril adalah panggilan mesra Sumirat kepada Chairil. Sebaliknya, Cril memanggil kekasihnya ini dengan sebutan Mirat.
Berbeda dengan Ida, yang memandang Chairil sebagai orang urakan, Mirat malah melihat Cril sebagai orang yang rambutnya selalu tersisir rapi. Pakaiannya selalu tersetrika. Meski tidak mandi, keringat Chairil tidak berbau.
Cilincing yang dimaksudkan Mirat adalah pantai tempat piknik populer masa itu. Alih-alih bersenang-senang seperti kebanyakan orang yang datang, Cril malah tenggelam dalam buku-buku tebalnya sembari bersandar di pohon. ”Sikap masa bodohnya terhadap keramaian membuatku tertarik,” ujar Mirat. Begitulah awal mula pertemuan keduanya pada 1943.
Beberapa waktu setelah peristiwa Cilincing, penyair bermata merah itu dicokok tentara Jepang lantaran dituduh mencuri seprai milik perempuan indo. Ia ditahan semalam, lalu disidang esok harinya. Ternyata hakim yang memimpin sidang adalah kakak kandung Mirat. Maka diringankanlah hukuman Cril, juga ditebuskannya uang denda yang harus dibayar.
Singkatnya, Sumirat dan Chairil akhirnya bertemu, menjalin kasih, membangun dunia mereka sendiri. Cril dengan dunia sastranya, sementara Mirat di dunia seni lukisnya di bawah asuhan Affandi dan Sudjojono.
Hubungan ini ternyata mencemaskan keluarga Mirat. Perempuan yang digambarkan Purnawan sebagai sosok yang keras hati tapi berwajah lembut ini pun dipanggil pulang ke Paron, desa kecil tempat lahir Mirat di perbatasan Solo dan Madiun.
Chairil sempat menyusul kekasihnya ke Paron (kini masuk Kabupaten Ngawi, Jawa Timur) dan melamarnya. Tapi orang tua Mirat menolak secara halus pinangan tersebut. ”Anak cari kerja dulu yang baik dan tetap, nanti kita bicarakan lagi,” demikian sambutan orang tua kekasih Chairil.
Jangankan punya pekerjaan, saat datang ke Paron, ia hanya membawa dua setel pakaian dengan sebuah koper berisi buku. Malah, untuk pulang, Chairil disangoni oleh ayah Sumirat setelah menginap selama dua minggu. Mereka pun berpisah.
Bersandar pada tari warna pelangi/kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati/harum rambutmu mengalun bergelut senda… (”Sajak Putih”, 18 Februari 1944)
Sajak ini dikirimkan Chairil kepada Sumirat melalui kartu pos ke Paron. Meski cinta mereka kandas, Chairil tampaknya belum bisa melupakan Mirat. Itu tergambar dalam dua sajak yang ditulis pada 1949 atau enam tahun berselang setelah perpisahan mereka. Pertama, ”Mirat Muda, Chairil Muda”. Kedua, ”Yang Terampas dan Yang Putus”.
Uniknya, dalam naskah tulisan tangan ”Yang Terampas dan Yang Putus”, Chairil menulis nama Mirat di bagian bawah. Tapi nama itu hilang saat Pustaka Rakjat menerbitkan puisi tersebut dalam antologi Kerikil Tadjam dan Jang Terampas dan Jang Putus (1949).
Ada nama Gadis Rasjid dan Tuti Artic dalam daftar sajak Chairil Anwar. Dua sajak kepada mereka bukan sajak cinta, melainkan bentuk hormat Chairil kepada para sahabat perempuannya. Misalnya potongan sajak ”Buat Gadis Rasid” yang dibuat pada 1948:
Antara/daun-daun hijau/padang lapang dan terang/anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian…/
Meski penampilannya kumal, Chairil adalah magnet buat para perempuan, termasuk Gadis. ”Chairil adalah lelaki dengan rambut acak-acakan yang senantiasa dirapikan dengan sisiran jari tangannya, bermata merah karena begadang terus, dan banyak menarik perhatian para perempuan,” ujar Gadis, seperti dikutip Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sebuah Obituari.
Gadis sendirilah yang minta dibuatkan sajak oleh Chairil, yang kemudian dimuat dalam Siasat edisi 2 Januari 1949. Ajip menyebut sajak itu ditulis setelah Chairil berkenalan dengan Gadis, yang saat itu menjadi wartawan surat kabar Pedoman.
Pada 1950-an, Gadis berhenti dari Pedoman setelah menikah dengan Henk Rondonuwu. Lalu ia berturut-turut bekerja di kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jakarta; menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Publisistik dan Akademi Penerangan; asisten peneliti di Brookings Institute, Amerika Serikat; dan wartawan lepas untuk berbagai media luar negeri. Ia meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil: 28 April 1988.
Sedangkan Tuti, menurut Asrul Sani dalam pengantarnya di buku kumpulan puisi Chairil Anwar Derai-derai Cemara, ialah perempuan indo. Chairil mengenalnya di sebuah toko es krim bernama Toko Artic di Jalan Kramat Raya, yang juga jadi tempat berkumpul pelajar sekolah Belanda, baik MULO, HBS, maupun AMS. Nama Tuti muncul menjadi judul sajak ”Tuti Artic”, yang dibuat pada 1947.
Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama… (”Cerita Buat Dien Tamaela”, 1946)
Dia adalah Leonardine Hendriette Tamaela, putri pasangan dokter Lodwijk Tamaela dan Mien Jacomina Pattiradjawane, yang namanya dijadikan judul sajak di atas. I.O. Nanulaitta, dalam Johannes Latuharhary; Hasil Karya dan Pengabdiannya (1982), menyebut sajak tersebut merupakan kenang-kenangan persahabatan dari Chairil untuk Dien.
”Sajak yang menyebut berkali-kali Pattiradjawane, ibu Dien yang tidak menyukai Chairil,” tulisnya.
Adalah Des Alwi, putra angkat Sutan Sjahrir, yang mempertemukan keduanya tatkala Chairil masih menumpang di rumah Sjahrir di Jalan Dambrink (kini Jalan Latuharhary 19) pada 1942. Kebetulan rumah keluarga Dien tak jauh dari kediaman Bung Kecil itu. Lantas ketiganya jadi sahabat baik. Tapi saat itu Chairil belum jadi penyair terkenal.
Putri Maluku yang lahir di Palembang pada 27 Desember 1923 ini sudah menjadi yatim sejak berumur 15 tahun. Ayahnya, yang juga seorang tokoh penggerak organisasi Jong Ambon, meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Mojokerto, Jawa Timur, pada 1938. Dien sempat belajar di MULO Batavia sampai kelas II, kemudian pindah ke sekolah guru taman kanak-kanak. Namun, saat Jepang datang dan semua sekolah ditutup, Dien ikut bekerja di kantor Jepang sebagai tenaga administrasi sampai 1945.
Sebagai seorang Maluku yang tinggal di Batavia, ia harus menghadapi kecurigaan suku lain. Musababnya, orang Maluku banyak yang direkrut menjadi tentara KNIL. Bahkan pernah ada pembantaian terhadap mereka lantaran syak wasangka buta. Karena itu, Dien mencoba meyakinkan orang-orang Maluku agar turut berjuang membela Tanah Air. ”Dien kerap tampil bermain piano di RRI, mengiringi anak-anak muda Ambon menyanyikan lagu yang mengobarkan semangat nasionalisme,” ujarnya.
Mungkinkah Chairil jatuh cinta kepada Dien? Tampaknya tidak. Dalam Friends and Exiles: A Memoir of The Nutmeg Isles and The Indonesian Nationalist Movement, Des Alwi menyebut Chairil dan Dien sudah seperti kakak-adik.
Saking akrabnya, Des Alwi dan Chairil bahkan pernah menunggui Dien setelah operasi usus buntu di Yogyakarta. ”Lalu kami meminta izin ke dokter untuk mengajaknya jalan-jalan, tapi dokter bilang, 'Nanti tunggu dulu sampai dia kentut',” tulis Des Alwi.
Dien meninggal pada usia 25 tahun karena tuberkulosis, 8 Agustus 1948. Jasadnya sempat dimakamkan di Petamburan, Tanah Abang, tapi 10 tahun kemudian dipindahkan ke Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir. Kerangkanya ditempatkan bersama ayah dan ibunya. Setahun kemudian, Chairil menyusul Dien.
Sebelum meninggal pada 28 April 1949, Chairil sempat menulis sebuah fragmen yang tampaknya belum jadi berbunyi, ”H, Aku berada di kamarku sendiri. Terasa sendiri/ dengan buku-bukuku lagi ketika sebelum kawin dengan kau….”
H adalah Hapsah Wiraredja, mantan istrinya. Dalam buku Nasjah Djamin, Hari-hari Akhir Si Penyair, Chairil meluapkan kerinduannya kepada Hapsah setelah mereka berpisah. "Kalau aku nanti terima honorarium dari buku-buku, aku akan kawin lagi sama biniku! Aku sayang bini.... Dia akan kurebut kembali.”
Peranglah yang dulu mempertemukan Chairil dan Hapsah, perempuan kelahiran Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1922, lewat perkenalan singkat di sebuah sawah di Karawang. Selang tiga bulan, keduanya menikah pada 6 Agustus 1946. Menurut Jassin, Chairil memanggil Hapsah dengan sebutan ”Gajah”. Ya, dari foto pernikahan mereka terlihat perbedaan yang mencolok di antara keduanya: Hapsah yang gemuk dan Chairil yang kurus kering.
Namun bukan Chairil namanya kalau sering di rumah. Dia adalah pengembara, serupa dengan Ahasveros, metafora untuk pengelana seperti disebut Chairil dalam sajak ”Tak Sepadan”. Dan itulah yang membuat rumah tangganya retak. Hapsah kerap meributkan Chairil yang tak punya pekerjaan tetap. Sembilan bulan kemudian, 17 Juni 1947, Evawani Alissa lahir. Kelahiran Evawani pun tak bisa memperbaiki suasana rumah tangga mereka. Keduanya bercerai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo