Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kertas-kertas cokelat yang tampak tua itu terdiri atas tiga jilid. Tebalnya masing-masing belasan halaman dan diberi sampul dengan label bertulisan ”Chairil Anwar”. Sebagian halaman di tiga buklet tipis yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin itu berisi puisi atau seperti puisi yang belum selesai dan semacam aforisme.
Inilah sebagian kecil dari manuskrip berharga yang dulu dititipkan Chairil kepada Jassin. Hasan Aspahani, penyair yang belakangan intens meneliti Chairil Anwar, menyatakan bahwa tulisan-tulisan di buklet itu belum dipublikasi. Oyon Sofyan, pustakawan di pusat data itu yang dekat dengan Jassin, membenarkan bahwa sebagian corat-coret Chairil tersebut belum pernah diterbitkan.
Tapi tak semua halaman di tiga buklet itu berisi puisi. Beberapa halaman kosong. Sebagian lainnya berisi potongan kalimat yang sukar terbaca atau tak jelas maknanya.
Ada halaman, misalnya, yang cuma berisi sebaris kalimat, entah catatan entah sepotong puisi yang belum jadi, seperti ”Malam itu kurasa diriku terlutjut”. Ada pula halaman yang berisi semacam judul: ”Batu Nisan Francois Villon”, yang mungkin merujuk pada Francois Villon, penyair Prancis abad ke-15 yang tak jelas makamnya.
Di salah satu halaman, ada sebuah puisi berbahasa Belanda yang di pojok kanan atas bertulisan ”J.C. Bloem”. Apakah nama ini merujuk pada Jakobus Cornelis Bloem, penyair Belanda pada awal abad ke-20? Penelusuran di Internet menunjukkan tak ada puisi Bloem semacam ini. Ada pula puisi berbahasa Belanda yang tanpa judul dan tanpa keterangan apa pun.
Hasan memastikan bahwa sang pujangga itu, ”Tidak pernah menulis dalam bahasa Belanda.” Artinya, dua puisi itu bukan puisi Chairil. ”Saya kira itu salinan sebelum dia terjemahkan,” ujar Hasan.
Ada pula puisi berbahasa Indonesia tanpa judul yang di bagian bawahnya tercantum ”W.H. Auden: Sonnet”. Hasan memperkirakan ini adalah puisi terjemahan yang belum selesai atas karya Auden, penyair Inggris terkenal pada awal abad ke-20. ”Chairil banyak menggarap Auden pada hari-hari akhirnya,” kata Hasan.
Terjemahan yang tak selesai itu dimuat oleh Jassin di buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). ”Tiga baris lagi belum diterdjemahkan,” tulis Jassin mengenai puisi itu. Di buku tersebut, Jassin juga melampirkan puisi ”Sonnet” dalam bahasa Belanda yang terdiri atas tiga bait.
Ada pula puisi berjudul ”Hari Tua”. Puisi itu juga dimuat Jassin dalam bukunya tersebut. Namun, menurut Jassin, ”Tidak djelas oleh penjair mana.”
Coretan-coretan tangan Chairil itu ditulis dengan pena atau pensil. Beberapa kata dicoret dan diganti dengan kata lain. Hal ini menunjukkan jejak proses kreatif Chairil.
Manuskrip dan arsip tentang Chairil Anwar termasuk yang paling banyak dalam koleksi pusat data tersebut. Selain Charil, ”Yang banyak dokumentasinya antara lain Rendra dan N.H. Dini,” kata Kepala Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Ariany Isnamurti, pekan lalu. Sayangnya, karena keterbatasan anggaran, dokumen dan arsip itu belum banyak yang disimpan dalam bentuk digital.
Di sini kami menampilkan sebagian besar coretan dan puisi Chairil dalam bahasa Indonesia dari tiga buklet itu. Kami menampilkan apa adanya, termasuk ejaan yang dipakai Chairil.
Kami juga menyertakan beberapa tulisan Chairil lain yang belum terbit sebagai kumpulan puisi, meski sudah diulas Jassin, misalnya dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Contohnya adalah ”Fragmen Buat H”. Jassin, yang memakai judul ”Fragmen” untuk puisi itu, menyebutnya sebagai terjemahan dari karya Conrad Aiken, ”Preludes to Attitude”.
Kepada Jassin
Tapi jang boleh kita harapkan ialah
bahwa ia satu waktu akan sampai djuga
ke dunia tenang
(Di bawah tulisan ini ada catatan sebagai berikut: ”Kutipan dari karangan HB Jassin: 'Chairil Anwar Penjair Revolusioner Indonesia' dalam Panja Raja Th II No.16, 1/7. 'Dalam sadjak jang tak djadi rupanja Chairil Anwar mau mendjawab utjapan ini.'”)
Malam itu kurasa diriku terlutjut
Hari Tua
Tetaplah padaku, Djuita, sebab api makin mati
andjingku dan aku sudah tua, ketuaan bakal mengelana
Lelaki bernapsu teruna bikin menghilang pantjaran air terbang
sangat kaku bakal mentjinta
untuk madju, terlalu beku untuk bertjinta
Kuambil buku dan dekatkan diri pada dia
Bolak balik lembaran kuning lama; dari menit ke menit
djam berdetik kena kalbuku; sebuah kawat kering
Bergerak
aku tak kuasa lajari lautanmu, aku tak kuasa edari
Ladangmu, djuga pegununganmu, djuga lembahmu
Tidak bakal lagi, djuga tidak pertarungan nun disana
Dimana perwira muda kumpulkan lagi barisan jang
petjah
Hanja tinggal tenang sedangkan pikiranku mengenangkan
keindahan njala api dari keindahan
(Di bagian atas dan bawah puisi ini ada sejumlah catatan yang kabur)
Biar malam kini lalu
tjinta tapi mimpi masih ganggu
jang bawa kita bersama sekamar
Tidak ada jang diberi gampang sadja. Kadang2 mesti kita tjari
Gedong2 besar berdesak-desakan dalam metari
di belakangnja terdjalin djerudji
djauh tersembunji gubuk dan teratak kedji
Tidak apapun bisa menentukan nasib kita:
hanja tubuh berpasti; sibesar dan si ketjil rata2
mentjoba bertambah naik, deretan rumah sakit sadja
memperingatkan bahwa kita semua berderadjat
sama
Siapapun, djuga polisi, tetap menjajangi anak-anak:
mereka tjeritakan tentang masa sebelum para perwira
mengenal sepi serta kehabisan langkah
(di bawah sajak ini tertulis: "W. H. Anden: Sonnet”)
Pertarungan kesusastraan Indonesia untuk berdiri sendiri dalam kedudukan dan makna
Mari Tjintaku
Demi Allah, kita djedjakkan kaki dibumi pedat,
Bertjerita tentang radja2 jang mati dibunuh rakjat;
Papar-djemur kalbu, terangkan djalan darah kita
Hitung dengan teliti kekalahan, hitung dengan
teliti kemenangan. Aku sudah saksikan
Sendja keketjewaan dan putus asa jang bikin tuhan djuga turut
tersedu
membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi, dalam kuburnja.
Sekali kugenggam Waktu, Keluasan ditangan lain
Tapi kutjampurbaurkan hingga hilang tudju.
Aku bisa nikmatkan perempuan luar batasnja, tjium
matanja, kutjup rambutnja, isap dadanja djadi
gersang
Fragmen Buat H
Tiada lagi jang akan diperikan? Kuburlah semua ihwal,
Dudukkan diri beristirahat, tahanlah dada jang menjesak
Lihat keluar, hitung-pisah warna jang bermain didjendela
Atau nikmatkan lagi lukisan2 didinding pemberian teman2 kita.
atau kita omongkan Ivy Jang ditinggalkan suaminJa,
djatuhnja pulau Okinawa. Ata.u berdiam sadja
Kita saksikan hari djadi tjerah, djadi mendung,
Mega dikemudikan angin
- Tidak, tidak, tidak sama dengan angin ikutan kita....
... maka tidak ada jang menerima
menggema suara
maka tiap kata jang
mendjelma tahi bintang?
... maka tak ada jang membalas
menggema suara
irama bagi njanji angin
Melupakan dan Mengenang
Kau asing, aku asing,
Dipertemukan oleh djalan jang tidak pernah bersilang
Kau menatap, aku menatap
Kebuntuan rahsia jang kita bawa masing-masing
98
Kau pernah melihat pantai, melihat laut, melihat gunung?
Lupa diri terlambung tinggi ?
Dan djuga
diangkat dari rumah sakit satu kerumah sakit lain
mengungsi dari kota satu kekota lain ? Aku
sekarang djalan dengan 1 Y2 rabu.
Dan
Pernah pertjaja pada kemutlakan soal. .....
Tapi adakah ini kata-kata untuk mengangkat tabir pertemuan
memperlekas datang siang ? Adakah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo