Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ganjalan Bernama Lumpur Lapindo

Minarak Lapindo Jaya meminta pemerintah menangani sementara lumpur karena kesulitan likuiditas. Banyak pembayaran tertunggak.

17 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat itu ditujukan kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Djoko Kirmanto pada 23 Oktober lalu. Dalam surat yang ditandatangani Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Bambang Mahargyanto itu, anak perusahaan Grup Bakrie ini meminta Badan Penanggulangan untuk sementara waktu menangani lumpur Lapindo. Tak hanya soal dampak sosialnya, tapi juga pengaliran lumpurnya.

Minarak punya alasan, krisis global telah berdampak langsung pada induk perusahaan. Pada akhirnya, soal itu mengakibatkan Minarak kesulitan likuiditas untuk membayar ganti rugi. Singkat kata, Minarak meminta pemerintah menalangi dulu biaya penanggulangan lumpur Lapindo. Tapi, pada 3 November lalu, Minarak mengirim surat pencabutan atas surat terdahulu. ”Dana talangan akan memakan proses cukup lama sehingga semakin memperlambat pembayaran,” ujar Direktur Operasional Bambang Prasetyo Widodo.

Kendati sudah ditarik, persoalan ini sampai juga ke Istana. Senin pekan lalu, Presiden memanggil Djoko. Menurut Djoko, Presiden tetap meminta Lapindo menanggulangi dampak lumpur. Pembayaran ganti rugi tetap harus berjalan sesuai dengan jadwal. Menteri Pekerjaan Umum ini mengatakan Minarak masih memiliki cukup dana ganti rugi korban lumpur. ”Penanggulangan lumpurnya juga masih kerja terus meski agak menurun,” ujar Djoko kepada Rieka Rahadiana dari Tempo.

Deputi Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan, yang juga Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, menambahkan, permintaan dana talangan itu tidak sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2008. Peraturan itu menyebutkan Lapindo bertanggung jawab mengganti tanah dan bangunan yang terkena lumpur. Biaya penanggulangan semburan lumpur, termasuk pengalirannya ke Sungai Porong, juga dibebankan kepada Lapindo.

Memang, kata Bachtiar, pemerintah bisa memahami kesulitan keuangan yang dihadapi Lapindo. Krisis global sudah tentu mempengaruhi kinerja banyak perusahaan, termasuk Lapindo. Itu sebabnya, pemerintah memberikan tenggang waktu dua minggu sejak surat permohonan itu dilayangkan. ”Mereka harus konsolidasi keuangan lebih dulu,” katanya kepada Tempo.

Sayangnya, kenyataan di lapangan memang masih jauh dari yang diminta pemerintah. Di Jakarta, 150-an warga Renokenongo, Sidoarjo, berdemo di Jalan Diponegoro menuntut kejelasan ganti rugi lumpur Lapindo. Mereka menginap di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. ”Kami akan tetap di sini sampai ada jawaban dari pemerintah,” kata Hari Suwandi, 44 tahun, sambil menikmati asap rokok di pelataran gedung.

Kantor Yayasan LBH itu kini tak ubahnya sebuah hotel. Di aula gedung yang baru saja selesai dibangun itu, mereka setiap malam melepas lelah. Tidur selonjoran di atas lembaran-lembaran tikar serta karpet. Beberapa lainnya asyik menikmati pijatan sambil bertelanjang dada. Mereka harus mengendurkan urat setelah seharian berdemonstrasi di sekitar Salemba, Jakarta, Jumat sore pekan lalu.

Di Sidoarjo, puluhan warga memilih tidur dalam tenda di atas tanggul Renokenongo sepanjang pekan kemarin. Warga korban lumpur yang menginap di Pasar Baru Renokenongo juga ramai-ramai menanam pohon pisang di atas tanggul. Mereka berniat menghalangi pembuatan tanggul sebelum mendapat ganti rugi.

Pitanto, 46 tahun, warga Desa Renokenongo, mengatakan sudah menandatangani surat penerimaan ganti rugi dua bulan lalu. Lapindo berjanji akan membayar dua minggu setelah dia tanda tangan. Namun uang muka 20 persen tahap pertama itu ternyata tidak kunjung diterimanya hingga kini. ”Lapindo beralasan mereka terkena dampak krisis global, walau kami ndak tahu artinya,” kata Pitanto.

Situasi itu juga berbeda dengan yang dinyatakan para petinggi Minarak. Vice President Minarak Andi Darusalam beberapa waktu lalu mengatakan Lapindo mempersiapkan dana Rp 3,2 triliun untuk ganti rugi. Adapun biaya penanggulangan serta penutupan semburan mencapai Rp 3,04 triliun. Pembayaran ganti rugi akan dilunasi secara bertahap hingga November 2009. Dalam rekapitulasi realisasi 11 November lalu, Minarak telah mengeluarkan dana sekitar Rp 1,8 triliun untuk ganti rugi.

Bambang Prasetyo juga mengatakan Lapindo tetap pada komitmennya untuk membayar ganti rugi hingga tuntas. Perusahaan ini sudah meneruskan transaksi lagi pada 10 November lalu. Menurut dia, Lapindo sudah menemukan solusi sehingga tetap bisa membayar ganti rugi kepada masyarakat. ”Solusinya antara lain dengan mengangsur pembayaran,” kata Bambang.

Hingga 11 November lalu, Lapindo sudah melunasi ganti rugi 20 persen tahap pertama yang jumlahnya 12.061 berkas senilai Rp 656 miliar. Tahap kedua baru 733 berkas senilai Rp 56 miliar. Lapindo juga sudah membayar sisa 80 persen untuk 4.249 berkas senilai Rp 1,04 triliun. Bambang mengatakan, masih ada tanggungan ratusan berkas susulan yang belum terbayar.

Dalam peraturan presiden, Lapindo ditetapkan harus membayar ganti rugi dengan membeli tanah dan bangunan secara bertahap. Tahap pertama dibayarkan 20 persen dan sisanya, yang 80 persen, dibayar paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah habis selama dua tahun. Setiap keluarga dijatah Rp 5 juta untuk menyewa rumah dan Rp 500 ribu untuk pindahan. Di luar itu, masih ada Rp 300 ribu untuk jatah hidup selama tiga bulan untuk setiap orang.

Repotnya, banyak keluarga yang sudah habis masa kontrak rumahnya, tapi uang ganti ruginya belum dibayar seluruhnya. Sapiri, misalnya. Warga Kedungbendo ini telah habis masa kontrak rumahnya September lalu. Artinya, uang ganti rugi 80 persen seharusnya dibayar pada Agustus lalu. ”Tapi sampai sekarang belum. Kekurangan untuk yang 20 persen saja belum dibayar,” katanya.

Ketua Paguyuban Renokenongo Sunarto mengatakan, masih ada 465 berkas senilai Rp 37 miliar yang belum dibayar Lapindo untuk 20 persen tahap pertama. Mereka pun menduduki tanggul Renokenongo dan meminta kejelasan pembayaran. Adapun di Jakarta, Hari dan warga lainnya akan menunggu agar bisa bertemu dengan Presiden yang sedang berkunjung ke Amerika sampai akhir November ini.

Yandi M.R., Dini Mawuntyas (Sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus