Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=verdana size=1>Bagir Manan:</font><br />Lebih Baik Saya Menjadi Korban

17 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH tahun menjadi Ketua Mahkamah Agung meninggalkan berbagai kesan terhadap Bagir Manan. Pada 2000, guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, ini terpilih menjadi hakim agung lewat proses panjang di Dewan Perwakilan Rakyat. Setahun kemudian ia diangkat sebagai Ketua Mahkamah Agung.

Pada 2006, Bagir kembali dipilih oleh 44 hakim agung—dari 48 hakim agung saat itu—untuk mengetuai Mahkamah Agung. Ia memperpanjang masa pensiunnya pada 2005, dengan menerbitkan keputusan sebagai Ketua Mahkamah. Dalihnya, keputusan itu berdasarkan kesepakatan para hakim agung lain. Dan saat itu Mahkamah kekurangan hakim agung.

Masa jabatannya dia tuntaskan awal Oktober lalu, sesuai dengan masa pensiun hakim agung, pada usia 67 tahun. Ketika itu, Dewan Perwakilan Rakyat tengah membahas revisi Undang-Undang Mahkamah Agung, yang ramai mendapat sorotan publik. Salah satu pasal revisi adalah menaikkan usia hakim agung menjadi 70 tahun. Banyak kalangan menilai perpanjangan usia pensiun itu usul dari Mahkamah Agung. ”Kami jadi sasaran kemarahan. Ini tidak fair. Usia pensiun 70 tahun itu usul pemerintah,” ujar Bagir.

Berbagai peristiwa penting terjadi dalam masa kepemimpinannya. Misalnya gagalnya pembekuan Partai Golkar dan parlemen oleh Presiden Abdurrahman Wahid, yang dekritnya dibatalkan Mahkamah Agung—kejadian ini membuka jalan bagi Sidang Istimewa MPR. Ada pula penembakan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita dalam perkara Tommy Soeharto, hingga kasus suap Rp 5 miliar dalam perkara kasasi korupsi kehutanan dengan terdakwa pengusaha Probosutedjo. Hingga menjelang pensiun, mantan Direktur Jenderal Perundang-undangan Departemen Kehakiman ini berseteru dengan Badan Pemeriksa Keuangan dalam soal biaya perkara.

Semula banyak harapan ditumpukan kepada Bagir untuk mereformasi Mahkamah Agung. Bagaimana kondisi sekarang? ”Kami tahu kami tidak dicintai, meskipun telah berusaha berbuat sebaik-baiknya dalam pekerjaan kami,” ujarnya.

Pada akhir Oktober lalu, dosen hukum tata negara Universitas Padjadjaran yang kini berencana kembali mengajar itu menerima Nugroho Dewanto, Arif A. Kuswardono, dan Agung Sedayu dari Tempo di ruang kerjanya di Mahkamah Agung. ”Ruangan ini saya pinjam sebentar,” katanya. ”Saya tak berhak lagi berkantor di sini.”

Dalam upaya pemberantasan korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlihat lebih angker ketimbang pengadilan biasa. Semua terdakwa pasti masuk sel.…

Berapa jumlah perkara korupsi yang masuk ke pengadilan biasa? Dari 2007 sampai 2008, hampir 300 perkara korupsi dari kejaksaan. Ada sekitar 60 perkara yang putusannya bebas, tapi 240 yang lain terdakwanya dihukum. Jadi, tidak adil jika menganggap seolah-olah yang dari kejaksaan serba bebas. Coba lihat juga uang yang dapat diperoleh. Selama dua tahun ini uang denda sekitar Rp 31 miliar, dan uang pengganti Rp 650 miliar, ditambah US$ 22 juta. Berapa uang yang masuk dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi?

Bukankah itu karena Pengadilan Korupsi hanya menerima perkara dari Komisi Pemberantasan Korupsi?

Pengadilan Korupsi itu dibentuk untuk perkara besar. Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk menangani perkara Rp 1 miliar ke atas—koruptor raksasa yang tidak terjangkau kejaksaan. Tapi, nyatanya, Komisi juga menangani kasus kecil. Itu sesuatu yang mesti dipecahkan secara konseptual. Apalagi mereka mengerjakan tugas lain, seperti pengosongan rumah dinas.

Mengapa calon hakim agung yang diajukan Mahkamah Agung sering gagal di Komisi Yudisial?

Saya baru dapat cerita, dari 40 calon yang kita ajukan, hanya enam yang menurut Komisi bisa lolos. Ini memprihatinkan. Kita mesti berhenti melihat persoalan dari permukaan. Kita tidak memecahkan masalah dasarnya.

Apa masalah dasar dalam pencalonan hakim agung?

Saya tidak bisa bicara banyak, karena tidak tahu ukuran yang dipakai Komisi Yudisial dan yang dipakai oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau kami tahu apa ukuran mereka, mana yang dianggap pokok dan mana yang tidak, barangkali kami bisa menyiapkan orangnya. Misalnya, sepakat membangun pengetahuan hakim agung di soal hukum. Tapi, kalau pertanyaannya ke mana-mana, susah. Misalnya, ada seorang hakim karier 30 tahun, ditanya tentang filsafat hukum: apa itu positivisme, apa itu sosiologi hukum? Tentu berat, karena itu bukan pekerjaannya sehari-hari. Jadi, semua ukurannya harus jelas.

Itu sebabnya Mahkamah Agung mengajukan kembali calon hakim agung yang pernah ditolak Dewan?

Ada beberapa calon yang menurut kami sangat baik tapi roboh di jalan. Kami tidak tahu ukurannya, dan selama ini memang tidak ada ukuran yang jelas. Masalah kepentingan politik mungkin saja ada, karena Dewan adalah lembaga politik.

Ada kesan Mahkamah Agung kurang menyukai hakim nonkarier….

Jangan lupa, saya sendiri nonkarier. Kita bicara tentang konsep dasar. Di mana saja di seluruh dunia, pegawai karier itu harus diberi peluang sampai ke atas. Sedangkan nonkarier adalah sesuatu yang diadakan jika diperlukan. Karena itu kualifikasinya harus berbeda, tidak bisa disamakan. Hakim agung itu posisi yang tinggi. Mestinya mereka tidak melamar, tetapi dicari. Jadi, Komisi Yudisiallah yang mencari. Kalau melamar, seolah-olah mencari pekerjaan, sehingga kurang layak.

Bagaimana kinerja para hakim agung nonkarier?

Kinerja mereka bagus, tidak kalah dengan hakim agung karier. Sistem di sini kan dicampur. Artinya, dalam satu majelis ada yang karier maupun nonkarier, tidak kami pisah-pisah. Mereka bekerja baik, sehingga dalam tiga tahun terakhir ini kami bisa memutus seribu perkara lebih per bulan. Dalam sehari lebih dari 30. Sekitar empat tahun yang lalu paling 400 hingga 500 perkara per bulan.

Apa memang ada target penyelesaian perkara setiap bulan di Mahkamah?

Tidak. Kami hanya berharap bisa menurunkan perkara yang masuk. Ada 20 ribu lebih perkara lama, ditambah 10 ribu lebih perkara baru setiap tahun. Kami berusaha menurunkan dengan memperbanyak sidang, dan sebagainya. Pada Agustus-September lalu, perkara yang sedang diperiksa ada 8.000, termasuk perkara baru. Kami mencoba memacu dengan menetapkan, mulai 2009 perkara di MA tidak boleh lebih dari dua tahun sudah harus kembali ke pengadilan negeri asal. Selain meningkatkan produktivitas para hakim, secara internal juga dibuat beberapa aturan. Misalnya, pedoman putusan perkara pidana, sehingga orang yang mengerjakannya punya standar dan bisa mengerjakan lebih cepat. Kita juga meminta—meskipun tidak ada respons—harus ada pembatasan perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Saya pernah mengadili perkara selisih batas tanah bersebelahan 17 sentimeter. Ada juga sengketa tanah pekuburan di Sumatera Barat. Kalau ada pembatasan, mestinya itu tidak terjadi.

Bagaimana persisnya usul Mahkamah tentang cara membatasi perkara yang masuk?

Kita pisahkan, ada perkara yang maksimum sampai di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Kami ingin mengembangkan pengadilan untuk perkara kecil, yaitu perkara yang nilainya kecil, cukup di pengadilan negeri saja dengan acara biasa yang 2-3 jam selesai. Karena Mahkamah bukan pembentuk undang-undang, jadi kami omongkan saja. Ini juga berkali-kali diusulkan ke DPR. Tapi sampai sekarang, baik secara akademis maupun kebijakan, tidak ada respons. Di Denmark ada sebuah badan independen di luar pengadilan yang menyeleksi mana perkara yang bisa terus dan mana yang tidak. Dalam undang-undang memang disebutkan hakim agung boleh sampai 60 orang. Tapi, saya katakan, jika suatu ketika mediasi arbitrase berkembang, dan kita mempunyai sistem pembatasan perkara yang masuk ke Mahkamah, maka 25 hakim agung sudah cukup.

Di masa Anda, Badan Pemeriksa Keuangan ingin mengaudit biaya perkara di Mahkamah Agung, tapi Anda menolak. Mengapa?

Biaya perkara itu secara hukum ditetapkan oleh hakim. Pihak pemohon harus membayar dulu, tapi dalam putusan hakim nanti diperinci untuk membayar apa saja. Uang biaya perkara itu masuk ke rekening Mahkamah Agung. Selama ini uang itu tidak termasuk kategori pendapatan negara, kecuali yang secara spesifik ditentukan, misalnya biaya meterai. Saya katakan ke BPK, mereka tidak bisa memeriksa itu karena bukan uang negara. Contohnya begini, andai kata tidak terjadi perkara, uang itu harus kembali ke pemohon. Begitu juga kalau ada kelebihan, mereka berhak mengambilnya. Sedangkan yang masuk pungutan negara tetap kami setor. Cuma BPK bilang, ”Lho, kok kecil amat, cuma Rp 3.000 satu perkara?” Saya katakan, memang begitu aturannya. Kalau pemerintah ingin Rp 50 ribu satu perkara, buat aturan baru. Tapi Badan Pemeriksa Keuangan kemudian melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

Mengapa rekeningnya atas nama Bagir Manan?

Ketika saya masuk ke Mahkamah Agung, (almarhum) Pak Gunanto (Ketua Muda Bidang Pengawasan) melakukan penertiban. Pak Gun mengatakan, untuk sementara uang di rekening Ketua Mahkamah Agung saja. Waktu itu tentu harus atas nama saya: Bagir Manan. Tapi tentu bukan rekening pribadi. Dan pengeluarannya berdasarkan permintaan perkara. Saya sendiri tidak pernah melihat rekeningnya. Akhirnya, pada awal 2006, uang itu dipindahkan. Sejak itu saya sudah tidak tahu sama sekali. Tahun lalu, sesuai dengan undang-undang, urusan biaya perkara dipindahkan ke bagian kepaniteraan. Jumlah uang sekitar Rp 9 miliar. Saya masih menunggu ketentuan soal biaya itu masuk uang negara atau bukan. Jika nanti dimasukkan pendapatan negara bukan pajak, saya tidak keberatan diperiksa. Sekarang ini hukumnya selesaikan dulu.

Anda pernah dituduh menerima suap dari bekas hakim yang menjadi pengacara Probosutedjo. Apa sebenarnya yang terjadi?

Perkara Probosutedjo itu memang saya ketua majelis kasasinya. Saya sudah membuat pendapat hukum waktu itu, Probosutedjo bersalah. Lalu perkara itu saya teruskan ke dua hakim anggota majelis yang lain. Waktu itu saya sedang sakit betul. Saya bolak-balik ke luar negeri untuk dioperasi. Hari itu (29 September 2005) selesai zuhur saya pulang. Di jalan saya diberi tahu ada penangkapan di kantor. Besoknya saya baca, ternyata itu menyangkut perkara yang saya tangani.

Apakah Anda pernah bertemu Probosutedjo sebelumnya?

Saya belum pernah ketemu Probosutedjo. Memang, Hartini atau siapa saya lupa namanya (”Harini….,” kata Tempo), dia bekas hakim tinggi di Yogya, saya tidak kenal. Ia datang—dalam bahasanya—mau pamitan pensiun. Sebetulnya ia sudah pensiun lama, tapi saya kan tidak tahu? Selama ini, jika ada hakim datang, pasti saya terima. Ketika saya persilakan masuk, dia membawa seorang hakim perempuan dari Yogya. Hakim itu kami pindahkan ke Lampung, tapi ia minta dibatalkan karena suaminya keberatan. Saya sulit meninjau kembali mutasi hakim, kecuali sangat mendesak. Saya tidak bersedia memindahkan. Perempuan itu keluar, tinggal Harini. Dia kemudian mengatakan bahwa dia masih kerabat Probosutedjo. Saya bukan orang yang gampang tertarik. Meski dikatakan ia keluarga siapa pun, saya tidak peduli. Dia mengatakan, ”Pak Probosutedjo itu ada perkara.” Saya sendiri tidak care kalau perkara itu ada di tangan saya, karena ada ratusan perkara saya periksa. ”Ya, lihat saja nanti.” Itu jawaban kalau saya tidak mau. Saya tidak ada bayangan mereka akan menyuap. Setelah itu tidak ada lagi kontak sama sekali. Nah, setelah penangkapan itu, saya disebut membawa uang. Bagaimana bisa? Seluruh uang suap ada di tangan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Tersangka yang ditangkap, Pono dan kawan-kawan, mengatakan sebagian uang akan dikirim ke kakak Anda di Lampung?

Kakak saya itu orang desa. Tidak ada yang tahu kakak saya kecuali pernah pergi dengan saya mengunjunginya ke desa. Apalagi yang namanya Pono, sampai detik ini saya tidak tahu Pono itu yang mana. Bagaimana ia bisa mengatakan bertemu dengan kakak saya, dan sebagainya? Kakak saya itu petani, lurah, dan pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta pengurus masjid. Tidak ada dalam pikirannya mencari-cari uang. Dan kami punya prinsip, saudara tidak pernah saling intervensi. Apalagi berkaitan dengan perkara. Jadi, itu fitnah luar biasa bagi kami. Saya sayangkan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak mau membuat klarifikasi, padahal mereka yang membuat urusan. Mereka yang masuk ke sini—ruangan kerja saya—dan tidak ketemu apa-apa di ruangan ini. Tapi itu bagi saya ada hikmahnya, orang mulai sadar bahwa perlakuan itu tidak wajar.

Apa itu juga alasannya sehingga Anda tidak bersedia datang ketika dipanggil sebagai saksi di Komisi Pemberantasan Korupsi.…

Saya sudah pasti tidak datang. Mereka datang ke sini, saya berikan keterangan yang mereka perlukan. Saya katakan bahwa saya tidak tahu tentang Pono, uangnya saya juga tidak tahu. Mereka (petugas Komisi) ngotot mengambil pendapat hukum yang merupakan rahasia negara, lalu saya persilakan ambil. Tapi saya katakan, tolong, itu untuk kepentingan penyelidikan. Tapi besoknya semua surat kabar memuatnya. Itu jelas pelanggaran. Langsung saya bubarkan majelisnya, saya bentuk majelis baru. Saat itu dipaksakan agar saya juga datang ke pengadilan. Itu sebuah skenario yang sangat tidak layak. Saya tidak pernah tahu perkaranya, kok saya dijadikan saksi? Hukum mana yang menjadikan orang yang tidak tahu apa-apa menjadi saksi? Tidak ada di seluruh dunia ini. Jadi, saya tolak. Sebagai Ketua Mahkamah Agung, jika saya membiarkan itu, berarti saya membiarkan seluruh hukum acara tindak pidana korupsi berantakan dengan nafsu-nafsu seperti itu. Lebih baik saya menjadi korban daripada saya merusak sistem.

Bagaimana Anda dulu menolak pembubaran DPR dari Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001?

Gus Dur waktu itu mengeluarkan ketetapan yang disebut dekrit, untuk membekukan Dewan Perwakilan Rakyat dan Partai Golkar, dan akan mengadakan pemilu dalam satu tahun. Malam itu Dewan minta fatwa kepada Mahkamah Agung. Undang-Undang Dasar tidak membenarkan Presiden membubarkan Dewan. Saya katakan, perbuatan Gus Dur itu melanggar hukum dan proses peradilan, karena saat itu sedang ada gugatan tentang pembubaran Partai Golkar. Itu campur tangan terhadap proses peradilan, dan tidak punya landasan hukum. Maka Dewan tidak jadi beku.

Prof Dr Bagir Manan, SH, MCL

Tempat dan tanggal lahir

  • Lampung, 6 Oktober 1941

Pendidikan

  • Sarjana Hukum Universitas Padjadjaran, 1967
  • Master of Comparative Law, Southern Methodist University Law School Dallas, Texas, Amerika Serikat, 1981
  • Doktor Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, 1990

Karier

  • Anggota DPRD Kota Madya Bandung, 1968-1971
  • Staf Ahli Menteri Kehakiman, 1974-1976
  • Direktur Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1990-1995
  • Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen Kehakiman, 1995-1998
  • Ketua Mahkamah Agung, 2001-2008

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus