Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bara sepertinya tak mau menjauh dari PT Bumi Resources. Sejak diakuisisi oleh PT Bakrie Capital Indonesia sebelas tahun lalu, perusahaan ini kerap jadi gunjingan banyak orang. Kali ini pelaku pasar heboh gara-gara tarik-ulur diperdagangkannya kembali ”saham sejuta umat” ini memicu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berniat mundur, Rabu dua pekan lalu.
Padahal, jauh sebelum dicaplok Bakrie, saham bersandi BUMI cuma dipandang sebelah mata. Berdiri sejak 1973, Bumi Modern—nama awal perusahaan ini—kinerjanya pas-pasan. Aset yang bisa dibanggakan dari perusahaan yang dulu bergerak di bidang perhotelan ini hanyalah Hotel Bumi Tashkent di Uzbekistan.
Bakrie masuk Bumi setelah mencaplok 58,51 persen saham yang dipegang Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912. Di tengah lemasnya ekonomi saat itu, Bumi pun bersalin rupa menjadi perusahaan minyak, gas alam, dan pertambangan. Pada 2000 Bumi resmi meninggalkan bisnis hotel dan namanya menjadi Bumi Resources.
Sejak itu, ditukangi para jagoan rekayasa keuangan Grup Bakrie, Bumi banyak memainkan aksi korporasi yang rumit. Diawali dengan pembelian saham Gallo Oil Ltd., pemilik konsesi ladang minyak di Yaman, senilai Rp 9,3 triliun. Aksi ini banyak mengundang curiga. Maklum, kantong Bumi tipis alias tongpes. Asetnya cuma Rp 300 miliar. Selain terus merugi—akumulasi tekor sampai akhir 1998 mencapai Rp 128 miliar—price earning ratio juga minus 110 kali.
Banyak kalangan menyebut transaksi ini bak semut hendak memakan gajah. Rupanya, ini cuma taktik memindahkan duit dari kantong kiri ke kantong kanan. Mulanya dengan menerbitkan saham baru Bumi untuk membiayai pembelian Gallo. Saham ini diborong Minarak Labuan dan Long Haul Holding Ltd., yang bermarkas di New Jersey, Amerika Serikat. Keduanya sekaligus menggantikan posisi publik dan Bakrie sebagai pemilik Bumi.
Long Haul dan Minarak nyatanya pemilik Gallo. Minarak ujung-ujungnya juga masih kepanjangan Bakrie. Lewat akuisisi internal jungkir-balik ini, 85 persen saham Bumi berpindah tangan ke Long Haul, sisanya oleh publik (hampir 8 persen), Minarak Labuan (5 persen), dan Bakrie Capital Indonesia (2 persen). Dari dilegonya 17,92 persen saham sumur Gallo plus dilepasnya 45 persen saham pengelolaan hotel di Tashkent, Bakrie menjala duit Rp 2,032 triliun.
Tambahan duit itu, kata seorang kolega Bakrie, digunakan untuk membayar pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang diterima Bank Nusa Nasional milik keluarga itu. Aburizal Bakrie—ketika itu masih menjadi pengendali Grup Bakrie—meminta Nirwan Bakrie segera melunasinya karena Bantuan Likuiditas ramai dipersoalkan. Akal-akalan kelompok Bakrie itu ditepis Nirwan. ”Apa yang kami lakukan semuanya terbuka,” kata Nirwan, yang dikutip media massa saat itu.
Kejutan berikutnya datang saat Bumi membeli PT Arutmin Indonesia, tambang batu bara di Kalimantan Selatan, pada akhir 2001, seharga US$ 185 juta. Kucuran dana pembelian datang dari Bank Mandiri US$ 103 juta, plus US$ 47 juta dari Rifan Financindo Asset Management milik Gabungan Koperasi Batik Indonesia. Berkat aksi ini, aset Bumi yang semula hanya ratusan miliar membengkak menjadi Rp 3 triliun.
Yang bikin ramai, Jamsostek disinyalir ada di balik pembelian Arutmin. Jamsostek menempatkan dana Rp 450 miliar di Bumi untuk akuisisi tersebut. Caranya, dengan membeli medium term notes yang diterbitkan Arutmin dalam jangka waktu 3 tahun, bunga 21,5 persen (net), dan jaminan 125 persen nilai pinjaman. Sinyalemen itu dibantah Jamsostek dan Bumi. ”Silakan bongkar seluruh dokumen,” kata Direktur Utama Bumi Ari Saptari Hudaya ketika itu (Tempo, 17 Desember 2001).
Geger terbesar yang sulit dilupakan tentu saja saat Bumi berhasil ”menyalip di tikungan” dengan mengakuisisi saham PT Kaltim Prima Coal, pada saat pemerintah bernegosiasi dengan pemegang saham Kaltim Prima, PT Rio Tinto Ltd., dan BP International Ltd. Tanpa disangka, kedua raksasa tambang dunia itu malah menjual Kaltim kepada Bumi. Harganya cuma US$ 500 juta—bandingkan dengan nilai yang pernah ditaksir pemerintah: US$ 822 juta.
Sejak itu, Bumi Resources meluncur bak roket: tampil menjadi perusahaan tambang terbesar di Indonesia dalam waktu kurang dari tiga tahun. Peruntungan Bumi kian lengkap karena belum genap setahun KPC dibeli pada Oktober 2003, harga batu bara di pasar dunia melonjak. Puncaknya menyentuh US$ 172,10 per ton pada Juni lalu.
Didorong harga batu bara yang hot, pada tutup buku 2007, laba bersih Bumi mencapai US$ 789 juta. Bandingkan dengan lima tahun lalu ketika Bumi masih rugi US$ 4,5 juta. Bumi mulai mencetak laba pada 2004 dengan perolehan US$ 119 juta. Total produksinya sekarang 62 juta metrik ton per tahun. Norico Gaman, Kepala Riset BNI Securities, memprediksi penjualan Bumi tahun ini bisa mencapai lebih dari US$ 3 miliar, naik dari tahun lalu US$ 2,2 miliar.
Tidak terlalu mengherankan jika sejak awal 2007, pergerakan harga sahamnya fantastis, bahkan sempat menyentuh Rp 8.550 pada 12 Juni lalu. Nilai kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 165 triliun atau seperlima total nilai kapitalisasi pasar Bursa Efek Indonesia.
Persoalan muncul ketika ada rumor Grup Bakrie kesulitan membayar utang berjaminan saham (repurchase agreement/Repo) senilai US$ 1,12 miliar yang berujung pada penghentian perdagangan saham Bumi pada 7 Oktober. Ketika disuspensi, harga saham Bumi tinggal Rp 2.175. Setelah melewati perdebatan panjang, perdagangan saham Bumi dibuka kembali pada Kamis dua pekan lalu.
Sejak itu, harga saham Bumi terus merosot. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, harganya tinggal Rp 1.129 dengan kapitalisasi saham sekitar Rp 21,9 triliun. Ambrolnya saham Bumi itu agaknya terkait dengan masih belum jelasnya penyelesaian Repo dan transaksi penjualan 35 persen saham Bumi senilai US$ 1,3 miliar kepada Northstar Pacific.
Masalah utang ini membuat Bakrie sulit untuk tidak melepas Bumi. Padahal, ”Bumi memasok setengah dari total pendapatan Grup Bakrie,” kata Norico Gaman. Pengamat pasar modal Goei Siauw Hong menambahkan, bila Bakrie kehilangan Bumi, imperium bisnis yang dibangun Haji Achmad Bakrie sejak 1942 itu akan kehilangan aset terbesarnya. ”Arus kas Bakrie pasti terpukul,” ujarnya. Buntutnya, kemampuan membayar utang menurun.
Yang menjadi soal, kata seorang analis, yang berkepentingan dengan saham Bumi tidak hanya keluarga Bakrie. Sumber Tempo itu membisikkan, tak sedikit pejabat dan politikus yang memiliki saham Bumi. Seorang analis menambahkan, banyak partai yang mengandalkan pasar modal sebagai sarana untuk meraup uang, salah satunya dengan menguasai saham Bumi. Ketika harga sahamnya rontok, otomatis dana yang sudah terpupuk sebelumnya juga amblas.
Bumi sendiri juga berkepentingan untuk mencegah kejatuhan harga saham lebih dalam. Itu sebabnya, dalam keterbukaan informasi pada Bursa Efek Indonesia, Kamis pekan lalu, Bumi hendak membeli kembali 3,298 miliar saham atau 17 persen dari total saham yang ditempatkan dan disetor penuh, di harga Rp 2.500 per lembar. Pembelian dimulai sejak Jumat pekan lalu hingga tiga bulan ke depan. ”Dananya dari pinjaman dan kas internal,” kata Direktur Bumi Eddie J. Soebari.
Namun Goei melihat harga saham Bumi tidak akan rebound dalam waktu dekat. Apalagi minat jual investor masih antre. ”Sentimen ke grup ini jelek,” katanya. Ditambah lagi, banyak investor yang ragu akan kredibilitas Grup Bakrie. ”Bakrie dulu selalu bilang tidak ada Repo. Kalau hal yang prinsip begitu saja tidak terbuka, apa bisa dipercaya?” Itu sebabnya, Goei menyarankan peraturan di pasar modal harus ditegakkan.
Sejak dikendalikan Bakrie, jejak yang mengiringi langkah Bumi seperti meninggalkan bara panas. Dan melihat gelagatnya, polemik di seputar Bumi belum akan reda hingga beberapa hari ke depan. ”Sulit menyelesaikan Repo dalam sisa waktu dua minggu ke depan sebelum uji tuntas Northstar selesai,” kata Goei. Bara Bumi masih akan terus menyala.
Yandhrie Arvian, R.R. Ariyani, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo