Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eep Saefulloh Fatah
Dalam rentang waktu Juni-Agustus 2008, dalam rangkaian seminar yang diadakan sejumlah institusi bisnis dan keuangan secara sambung-menyambung, saya diminta membuat prediksi hasil Pemilihan Umum 2009 dan implikasi-implikasi politiknya. Dan sebuah pertanyaan hampir selalu mengemuka, ”Seberapa besar peluang Aburizal Bakrie untuk bisa menjadi calon presiden atau wakil presiden?”
Saya sempat menduga bahwa para penanya di sejumlah kota itu adalah pemain bursa saham yang sedang menaksir nasib saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) milik Bakrie. Mungkin, bagi mereka, suram-cemerlang nasib sang saham akan ikut ditentukan oleh masa depan politik Bakrie. Saham BUMI sendiri ternyata terguncang krisis keuangan global, terpelanting lebih cepat daripada datangnya Pemilu Presiden 2009.
Tapi jangan-jangan di balik pertanyaan itu sesungguhnya tersembunyi kebingungan untuk memposisikan Bakrie, sang saudagar, dalam konteks perkembangan politik Indonesia mutakhir. Sebagai saudagar, ia dipandang sebagai ”pemenang”: berhasil membangun kembali dan memperbesar imperium bisnisnya setelah nyaris lebur tersapu krisis ekonomi 1997. Lalu ”pemenang” atau ”pecundang”-kah ia dalam arena politik?
Ada baiknya kita bicara tentang ”Bakrie” bukan sebagai ”seorang saudagar”, melainkan sebagai potret dari ”institusi kesaudagaran” dalam centang-perenang satu dasawarsa demokratisasi sebagai zaman kesempatan.
Demokratisasi membidani lahirnya para pengambil kesempatan. Dalam konteks ini, ”kemenangan ekonomi” Bakrie tumbuh di atas lahan politik yang subur. Demokratisasi Indonesia berbaik hati kepada siapa saja, termasuk para saudagar, untuk menjadi bagian dari—meminjam Joel Hellman—”para pemenang pertama” yang merebut kemenangan lalu ikut menentukan arah demokratisasi berikutnya.
Proses demokratisasi melahirkan para aktor pengendali baru yang tumbuh bersama dan di dalam struktur yang mereka bentuk sendiri. Keterlibatan para saudagar dalam dunia politik adalah bagian dari proses ini, sekaligus membuktikan kesigapan mereka merespons keadaan.
Selayaknya para tukang besi, banyak saudagar sadar benar bahwa besi hanya bisa dibentuk selagi panas. Maka, ketika Indonesia sedang panas-panasnya pada tahun-tahun awal reformasi, mereka pun sigap ikut membentuk sang besi panas itu. Walhasil, arus masuk kalangan saudagar ke dalam arena politik terjadi secara mengesankan. Sekadar contoh, menurut pendataan Indonesia Corruption Watch, 39,8 persen dari 550 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2004 ternyata berlatar belakang sebagai pengusaha.
Keterlibatan Bakrie dalam pemerintahan, selain melanjutkan keterlibatan politiknya secara lebih terbatas dalam era sebelumnya, dapat dipahami sebagai bagian dari arus itu. Politik kemudian menjadi lahan subur pembesaran imperium bisnisnya antara lain karena demokrasi kita belum berhasil membangun tembok etika dan hukum yang memisahkan para pejabat publik dari dunia bisnis yang bisa membikinnya berperilaku antipublik.
Demokratisasi Indonesia membolehkan hampir apa saja, termasuk membiarkan konflik kepentingan terjadi antara mandat pejabat publik untuk mengelola kebijakan publik dan hasrat sang pejabat untuk menangguk keuntungan bisnis-ekonomi dari kebijakan itu bagi diri serta kelompoknya. Padahal cerita demokratisasi di sejumlah tempat membuktikan betapa penting dan gentingnya tembok etika dan hukum semacam itu untuk memelihara prinsip keterwakilan, mandat, dan akuntabilitas jabatan-jabatan publik.
Di Afrika Selatan, misalnya, sejak 1998 berlaku etika bagi anggota lembaga eksekutif, yang antara lain mengatur larangan bagi anggota kabinet, deputi menteri, dan anggota konsulat daerah atau provinsi untuk berpenghasilan dari jabatan atau pekerjaan lain. Etika ini juga melarang para pejabat itu menggunakan jabatan dan informasi yang dipercayakan kepadanya untuk keuntungan memperkaya diri.
Di Brasil, sejak 2000 berlaku kode etik yang melarang pejabat pemerintah berinvestasi dalam aset yang nilainya bisa dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, terutama yang berhubungan langsung dengan jabatan yang dipegangnya dalam pemerintahan.
Pembatasan serupa tak hanya berkembang di negara-negara demokrasi baru semacam Afrika Selatan dan Brasil, tapi juga lazim diberlakukan di negara demokrasi lama ataupun negara nondemokrasi yang berusaha menegakkan tata kelola pemerintahan yang efektif. Di Inggris, sekadar misal, Aturan Kementerian yang dikeluarkan oleh Tony Blair pada Juli 2005 mengharuskan menteri keluar dari jabatan yang dipegangnya pada perusahaan publik atau swasta dan dari institusi apa pun yang menghasilkan gaji atau honor, kecuali jika perusahaan yang dipimpinnya adalah perusahaan keluarga. Tapi, menurut aturan ini, pengecualian terakhir ini pun tak berlaku jika dalam perjalanannya timbul konflik kepentingan.
Di Singapura, sejak 1954 berlaku kode etik bahwa setiap menteri tak boleh terlibat secara formal atau menjadi penasihat perusahaan komersial, tidak boleh memegang jabatan, baik dibayar maupun tidak, dalam perusahaan publik atau swasta. Pengecualian diberikan jika sang menteri mendapat izin—yang harus diumumkan di surat kabar—dari perdana menteri dan untuk kepentingan negara. Kode etik ini juga mengatur menteri hanya boleh terlibat usaha di bidang kemanusiaan.
Kita di Indonesia tak memandang penting aturan-aturan serupa itu. Sekalipun niat pengaturan ke arah sana sudah disemai bibit-bibitnya, seperti dalam Undang-Undang Kementerian Negara (2008), antara niat dan praktek masih jauh panggang dari api. Dalam prakteknya, aturan yang mengharamkan konflik kepentingan para pejabat publik tak pernah ditegakkan dengan seksama.
Maka kemenangan ekonomi pejabat publik berlatar saudagar sesungguhnya mewartakan salah satu kelalaian demokrasi memfasilitasi terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik. Di satu sisi, demokrasi telah mengembangkan kebebasan, kompetisi, dan partisipasi secara luar biasa. Di sisi lain, upaya yang layak untuk menegakkan prinsip keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat sungguh masih kurang.
Dalam konteks itulah, cerita tentang ”kemenangan ekonomi” Bakrie bisa kita letakkan. Namun kemenangan ekonomi ini berbatas amat tipis dengan ”kekalahan politik”-nya. Fakta ini tergarisbawahi tegas di Sidoarjo.
Luapan lumpur Lapindo menjadi monumen ”kemenangan ekonomi” Bakrie. Pemerintah menetapkan luapan lumpur Sidoarjo sebagai bencana alam. Terbebaslah Lapindo dari sebagian terbesar kewajiban finansial untuk mempertanggungjawabkan kasus ini. Negara dengan murah hati mengambil alih kewajiban itu.
Pada saat yang sama, kelompok Bakrie, yang membebaskan lahan yang terkena genangan, berpotensi memiliki aset tanah mahaluas dan bernilai ekonomis tinggi beberapa dekade ke depan. Maka korban Lapindo sudah jatuh tertimpa tangga, sedangkan kelompok usaha ini sudah bangun disediakan kursi pula.
Tapi buatlah survei atau sensus. Tanyalah masyarakat Sidoarjo, siapa kandidat presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Banyak yang berani bertaruh, nama Aburizal Bakrie tak akan ada di dalamnya.
Itulah potret perniagaan politik Bakrie. Di satu sisi, kemenangan ekonomi Bakrie membuatnya menjadi salah satu tokoh politik dengan sokongan finansial paling meyakinkan. Namun, di sisi lain, kemenangan ekonomi itu justru menjauhkannya dari sokongan politik (partai-partai) serta dukungan publik.
Sebagai sebuah ”transaksi” (transaction), perniagaan politik Bakrie—barter di antara kemenangan ekonomi dan kekalahan politik—itu boleh jadi layak belaka. Tapi, sebagai sebuah ”pertukaran” (exchange), menurut saya, ia sungguh tak layak.
Maka jawaban generik saya untuk pertanyaan di awal kolom ini: ”Dalam kaitan dengan Pemilu Presiden 2009, Bakrie membantu kita membuktikan bahwa punya sokongan finansial besar saja sangat boleh jadi tak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai calon presiden atau wakil presiden.”
Kabar baik atau burukkah itu? Selanjutnya terserah Anda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo