Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Profil Gereja Tritunggal Mahakudus, Tuka, Desa Dalung.
Hiasan adat Bali-nya sangat kuat.
KETIKA memasuki area Gereja Tritunggal Mahakudus di Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, pandangan pengunjung akan langsung mengarah ke sebuah angkul-angkul atau pintu masuk rumah khas Bali. Ada tiga angkul-angkul, yang tertinggi di bagian tengah, sekitar 4 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain menjadi pintu masuk rumah, angkul-angkul seperti ini digunakan di pura. Pada bagian puncak angkul-angkul di Gereja Tritunggal Mahakudus terdapat ornamen ukiran Bali, juga salib. Angkul-angkul utama dibuat dengan bata merah. Bentuk hiasan sepenuhnya menggunakan motif ukiran Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angkul-angkul utama juga menggunakan pintu kayu dengan ukiran khas Bali. Warna dasar merah ditambahi tinta emas sebagai pemanis. Sedangkan angkul-angkul di kanan dan kiri hanya menggunakan pintu dari jeruji besi.
Pada bagian tengah angkul-angkul terdapat dua ukiran sosok bersayap dengan posisi bersimpuh. Ornamen ukiran ini sekilas mengingatkan pada sosok malaikat. Tembok pembatas gereja juga menggunakan ornamen Bali yang dibuat dari batu padas. Tembok ini mengelilingi gereja hingga jalan raya.
Tapi, saat Misa Natal 25 Desember 2023 digelar, pintu angkul-angkul utama di bagian tengah tidak terbuka. Umat Katolik lalu-lalang melewati pintu di kanan dan kiri. Adanya tambahan hiasan dua penjor pada bagian depan angkul-angkul dengan tinggi sekitar 6 meter serta tiga tamiang (hiasan khas Bali yang terbuat dari janur) membuat nuansa adat Bali sangat kental di Gereja Tritunggal Mahakudus.
Umat Katolik berfoto selfie di depan altar Gereja Tritunggal Mahakudus, Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, usai mengikuti Misa Natal. Tempo/Made Argawa.
Pastor Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka, Romo Paskalis Nyoman Widastra, SVD, menyebutkan hiasan adat Bali memang sangat menonjol di gereja tersebut. “Nuansa adat Bali menjadi hiasan di gereja untuk mewarnai kegiatan. Bukan hanya saat hari raya, tapi juga ketika ulang tahun Paroki,” ujarnya.
Tidak hanya di bagian luar, sentuhan ornamen Bali juga sangat terasa di dalam Gereja Tritunggal Mahakudus. Hampir semua bagian altar menggunakan gaya ukiran Bali. Selain itu, terdapat sebuah relief di atas altar yang diukir pada batu padas. Relief ini menceritakan kisah Perjamuan Terakhir Yesus. Dalam ukiran ini, Yesus berada di tengah dan dibuat mengenakan udeng (hiasan kepala khas Bali) dengan sinar di belakang kepalanya.
Ukiran di Gereja Tritunggal Mahakudus dibuat oleh pemahat bernama I Gusti Ketut Sandya asal Banjar Balun, Denpasar, yang beragama Hindu. Dia juga membuat salib Yesus berukuran besar. Salib ini diletakkan di dalam altar dan tampak dari luar. Romo Widastra menyebutkan sejak awal gereja ini dibangun menggunakan ornamen khas Bali. Begitu pula pengenaan pakaian adat Bali oleh umat Katolik di sini. “Para misionaris, seperti Pastor Simon Buis dan Pastor J. Kersten, tertarik pada budaya,” ucapnya.
Romo Widastra mengungkapkan, Pastor J. Kersten menyusun kamus bahasa Bali dan membuat liturgi dalam bahasa Bali yang digunakan pada awal masuknya Katolik ke Bali. Pada 14 Februari 1937, Gereja Tritunggal Mahakudus di Tuka menjadi gereja Katolik pertama di Bali setelah diresmikan oleh Monsinyur Abraham dari Michigan, Amerika Serikat, yang berkunjung ke Bali saat dalam perjalanan dari Filipina. Awalnya gereja ini berukuran kecil, 10 x 7,5 meter, dengan lantai tanah. Gereja ini lantas dipugar dan diperindah oleh Pastor Van Iersel.
Setelah gereja itu berdiri, Paroki Tritunggal Mahakudus Tuka pun berkembang dan saat ini mencakup 11 sektor atau lingkungan. Lingkungan itu antara lain Benediktus yang didirikan pada 11 Juli 1980 dan mencakup Banjar Tuka bagian utara serta Maria Immaculata yang terbentuk pada 8 Desember 1982 dan meliputi Banjar Tuka bagian tengah.
Lingkungan lain adalah Yohanes yang didirikan pada 27 Desember 1983, Yosep yang terbentuk pada Desember 1984, Petrus dan Paulus, Dominikus, Maria Ratu, Stefanus yang berdiri pada 13 Oktober 1994, Maria Fatima, Maria Asumpta yang terbangun pada 14 Agustus 1957, serta Antonius yang berdiri pada 13 Juni 2000. “Total jumlah keluarga mencapai 130,” kata Kepala Lingkungan Banjar Tuka, Arnoldus I Nyoman Adi Suryanata.
Ia menyebutkan, untuk menjadi warga Paroki Tritunggal Mahakudus, umat Katolik di Tuka harus bergabung dengan salah satu lingkungan tersebut. “Ada yang pendatang. Yang penting harus terdaftar dulu sebagai warga di Banjar Tuka,” ujar Suryanata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan Yesus pun Menggunakan Udeng"