Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perayaan Natal yang unik di Palasari dan Tuka, Bali.
Nuansa akulturasi yang kental.
JAM sudah menunjukkan pukul 18.15 Waktu Indonesia Tengah. Beberapa warga terlihat berkumpul di depan pintu gerbang rumah mereka di Banjar Palasari, Desa Ekasari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, 23 Desember 2023, dua hari menjelang Hari Natal. Mereka mulai nanceb atau memasang penjor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski belum semuanya, warga Banjar Palasari memasang penjor serempak maksimal sehari sebelum Hari Natal. Seorang warga, Nyoman Wangi, 60 tahun, mengatakan penjor itu dibuat oleh anaknya. “Tadi baru mulai. Janur dan perlengkapan lain beli,” ujarnya. Perempuan yang bekerja sebagai penjahit ini juga menyiapkan sarana lain untuk merayakan Natal, seperti jajanan Bali, masakan olahan daging babi, dan canang sari. Nyoman Wangi membuat 30 canang sari untuk dibawa ke permakaman. “Canang kami letakkan di atas makam. Sebagai persembahan dan penghormatan bagi yang sudah meninggal,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun daging babi ia olah menjadi masakan seperti sayur ares, tum (olahan daging yang dikukus), dan babi kecap. Perempuan berkacamata ini menerangkan, dua hari sebelum Natal dinamai penyajan, sementara sehari sebelum Natal disebut penampahan. Untuk menyediakan jajanan Bali, Nyoman Wangi membeli kue bantal, bolu, hingga karamel. Seusai perayaan Natal dan ziarah ke makam di dekat gereja, makanan itu akan disuguhkan kepada keluarga dan handai tolan yang berkunjung. “Mirip Galungan. Itu sudah menjadi tradisi dan budaya di sini,” tuturnya.
Warga membuat hiasan untuk perayaan Natal di depan Gereja Hati Kudus Yesus Palasari, Kabupaten Jembrana, Bali, 24 Desember. Foto: I Gede Darsana Putra
Hari sudah tampak temaram. Nyoman Wangi dibantu oleh anaknya Fransiskus Made Yopi, 35 tahun, mulai mendirikan penjor di depan rumah. Beberapa anggota keluarga mereka ikut membantu. “Habis membuat penjor sekitar Rp 100 ribu,” kata Yopi. Pembuatan penjor, dia menuturkan, hanya membutuhkan waktu dua jam. Proses ini cepat karena penjor dibuat sederhana dengan tinggi 6 meter. Terdapat hiasan yang disebut bakang-bakang pada punggung penjor, sampaian sebagai gantungan, dan dekorasi dari janur di bagian bawah. “Bahan penjor ini tidak pakai bambu, tapi besi yang dibuat menyerupai bambu melengkung,” ujarnya.
Yopi mengatakan hampir semua warga Banjar Palasari membuat penjor dengan biaya murah. Hanya beberapa keluarga yang membuat penjor dengan biaya hingga ratusan ribu rupiah. “Termasuk ada warga yang khusus mencari tukang penjor,” ucapnya. Selain pada saat Natal, warga membuat penjor pada Hari Paskah dan Pentakosta.
Sepuluh menit setelah Nyoman Wangi, tetangganya di seberang jalan bernama Kadek Trias Adi Purnawan, 29 tahun, mendirikan penjor dibantu keluarganya. Dia memerlukan waktu lebih lama untuk membuat penjor karena menggunakan bambu dan mencarinya sendiri. “Ini seharian, karena mulai dari mencari bambu di kebun,” katanya. Hiasan penjor Kadek Trias tidak jauh berbeda dengan penjor Nyoman Wangi, hanya lebih panjang dan berbahan bambu. “Sehari sebelum Natal, semua penjor sudah terpasang,” tuturnya.
Warga Katolik Palasari, Yohanes Wayan Sukantra, menyebutkan pastor setempat menganjurkan umat Katolik di sana mempertahankan tradisi Bali. Salah satu imam Paroki Hati Kudus Yesus Palasari yang ditemui Tempo, Romo Benediktus Deni Mary, menjelaskan, dalam kepercayaan Gereja Katolik, dikenal istilah inkulturasi.
“Mereka lahir sebagai orang Bali dan berbahasa Bali. Cuma, ekspresi iman mereka sebagai orang Bali yang beragama Katolik, bukan Katolik yang Bali,” ujarnya. Karena itu, menurut Romo Deni, simbol yang erat dengan Hindu di Bali akhirnya digunakan oleh warga Palasari yang memiliki keyakinan Katolik. Misalnya penggunaan penjor, gebogan, dan canang sari. “Meski sempat terjadi perdebatan karena ada yang mempertanyakan. Tapi akhirnya hilang begitu saja,” ucapnya.
Umat Katolik melaksanakan prosesi misa malam Natal di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Palasari, Jembrana, Bali, 24 Desember. Foto: I Gede Darsana Putra
Romo Deni bercerita, pernah timbul persoalan terkait dengan inkulturasi budaya Bali pada awal 2000. Ada pihak yang menggugat nama Sekolah Menengah Atas Katolik Swastiastu Denpasar dan yayasan yang menaunginya, Yayasan Swastiastu. Kata "swastiastu" dianggap milik atau mewakili keyakinan Hindu di Bali dan tidak tepat jika digunakan oleh pihak Katolik. Akhirnya nama Yayasan Swastiastu diubah menjadi Yayasan Insan Mandiri dan SMAK Swastiastu menjadi SMAK Santo Yoseph Denpasar. “Saya sempat ketemu dengan beberapa tokoh Kristen waktu itu dan akhirnya kami mengambil jalan sederhananya saja, ubah nama.”
•••
MASUKNYA agama Kristen ke Bali pada awal abad ke-20 sesungguhnya tidak berjalan mulus. Ada sejumlah ketegangan antara pemeluk Hindu dan umat Kristen. Salah satunya disebutkan dalam buku Serat Salib dalam Lintas Bali yang ditulis Nyoman Wijaya.
Menurut buku itu, pada awal penyebaran Kristen di wilayah Abianbase, Kabupaten Badung, yang bersebelahan dengan Banjar Tuka, Desa Dalung, Kecamatan Kuta Utara, sempat terjadi ketegangan dengan pemeluk Hindu. Seorang pengabar Injil bernama Tsang To Hang yang berasal dari Christian Missionary Alliance mengharuskan warga yang memeluk Kristen membongkar sanggah atau tempat suci mereka. Masyarakat Bali kurang bersimpati dengan hal tersebut.
Umat Katolik melaksanakan prosesi misa malam Natal di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Palasari, Jembrana, Bali, 24 Desember. Foto: I Gede Darsana Putra
Berdasarkan catatan di Paroki Tritunggal Mahakudus di Tuka, pendeta Kristen Protestan bernama Tsang To Hang (ada juga yang menyebutnya sebagai Tsang Kam Foek), yang lebih terkenal sebagai Pendeta Chang atau Tuan Chang, datang ke Bali pada Januari 1930 untuk melayani orang-orang Kristen keturunan Cina.
Sumber lain, buku Membedah Kasus Konversi Agama di Bali yang ditulis Ni Kadek Surpi Aryadharma, menjelaskan bahwa umat Kristen yang telah dibaptis pada 1931 mendapat ejekan hingga terjadi perusakan gereja pada masa awal penyebaran Kristen. Seiring dengan waktu, umat Kristen, khususnya tempat yang sempat dikunjungi oleh Tsang To Hang, mengubah pola peribadatan dengan memasukkan unsur adat Bali, seperti seni tari, seni tabuh, ukiran, dan penjor. Begitu juga penggunaan pakaian adat Bali. Penambahan unsur budaya Bali ini bertujuan menciptakan keharmonisan dengan masyarakat Bali yang masih berkeyakinan Hindu di sekitar umat Kristen.
•••
BERDASARKAN catatan Paroki Hati Kudus Yesus Palasari, awalnya lokasi Banjar Palasari terletak satu kilometer arah selatan dari yang sekarang dan dipisahkan oleh Sungai Sangiang Gede. Warga setempat, Yohanes Wayan Sukantra, menyebutkan, ketika orang tuanya menempati kawasan hutan di sebelah selatan, kondisinya tidak begitu bagus. “Lokasinya tidak luas dan secara geografis agak miring sehingga tidak cocok untuk permukiman,” katanya.
Umat Katolik melaksanakan prosesi misa malam Natal di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Palasari, Jembrana, Bali, 24 Desember. Foto: I Gede Darsana Putra
Pria 80 tahun itu mengatakan akhirnya warga memutuskan pindah setelah menggelar rapat dengan seorang misionaris asal Belanda, Romo Simon Buis, SVD, yang sekaligus menjadi gembala umat Palasari. Orang-orang yang menempati kawasan hutan di daerah yang kini bernama Palasari ini bermula dari 18 keluarga yang pindah dari Banjar Tuka dan satu keluarga asal Beringkit, Desa Mengwitani, Kabupaten Badung, yang dipimpin oleh Romo Simon.
Keluarga yang merantau dari Tuka dan Beringkit ke Palasari ini disebut sebagai sekaa pelekutus. Mereka berangkat pada 15 September 1940. “Menurut cerita orang tua saya, Romo Simon Buis mencarikan izin ke Raja Singaraja hingga bisa menempati lokasi yang sekarang,” tutur Sukantra.
Setelah beberapa lama, jumlah warga Katolik yang datang ke Palasari mulai bertambah. Sukantra menyebutkan di antaranya ada enam keluarga dari Desa Gumbrih, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, yang datang pada gelombang kedua. Bertambahnya umat Katolik di Palasari juga menjadi alasan untuk pindah ke lokasi di utara Sungai Sangiang Gede. Sukantra bercerita, kala itu kepindahan dari Palasari membutuhkan waktu lama. Warga sampai membawa rumah lumbung mereka. "Digotong bersama. Jaraknya sampai 1 kilometer, memutar, karena tidak bisa menyeberangi sungai,” ujarnya.
Selain harus membabat hutan lagi, mereka mesti meratakan lokasi yang baru ini karena terdapat beberapa bukit. Sukantra ingat, saat itu warga bergotong-royong untuk meratakan bukit. Salah satunya menjadi lokasi Gereja Hati Kudus Yesus Palasari. “Waktu itu saya masih kecil dan melihat bagaimana warga menggali bukit dan memindahkan batu. Jumlahnya sampai 50-an orang,” ucapnya.
Warga Banjar Palasari, Kadek Trias Adi Purnawan, membuat Penjor menjelang perayaan Natal, 22 Desember 2023. Foto: I Gede Darsana Putra
Pembangunan Gereja Palasari dimulai pada 1956 oleh pastor paroki saat itu, Romo Bernardus Blanken, SVD, dan Bruder Ignatius, SVD, dengan melibatkan tukang dari Mengwi, Badung, selama dua tahun. Gereja Hati Kudus Yesus Palasari memiliki konsep yang unik dengan memadukan unsur budaya Bali dan arsitektur gotik ala Eropa. Kondisi saat itu masih sangat sederhana, belum dipasangi plafon dan belum diberi sentuhan akhir. “Perancangnya Romo Bernardus Blanken, SVD. Pelaksananya tukang dari Mengwi, kalau tidak salah namanya I Gusti Tugur,” ujar Sukantra.
Warga sepuh Katolik Palasari lain, Yakobus I Made Yakub, mengatakan penataan Banjar Palasari yang sekarang merupakan ide Romo Simon Buis, SVD. Yakub ingat, saat gereja itu dibangun, ia sudah berusia remaja dan ikut menggali bukit serta memindahkan batu. “Pastor Simon ingin posisinya di tengah permukiman. Gereja dikelilingi rumah warga. Ada sekolah dan rumah sakit,” katanya.
Warga membuat penjor menjelang perayaan Natal di Banjar Palasari, Desa Ekasari, Jembrana, Bali, 22 Desember 2023. Foto: I Gede Darsana Putra
Pria 85 tahun itu mengatakan, untuk membabat hutan, diperlukan waktu beberapa tahun. Saat itu telah ada tiga gelombang umat Katolik yang tiba. Seusai pembangunan, Gereja Hati Kudus Yesus Palasari beberapa kali direnovasi. Renovasi pertama dilakukan pada 1976 di bagian depan karena terkena musibah gempa bumi. Renovasi kedua digelar pada 1992-1994. Adapun dalam renovasi ketiga konstruksi kayu pada bangunan meru, kusen, daun pintu, dan jendela diganti serta dipasangi plafon. Dibangun juga candi bentar dan tembok keliling serta ada perbaikan tangga loteng depan dan pertamanan.
•••
TIDAK berbeda dengan di Palasari, umat Katolik di Banjar Tuka juga memasang penjor menjelang perayaan Natal. Tapi suasana di Tuka agak berbeda karena umat Katolik berbaur di tengah warga agama lain. Seorang warga Banjar Tuka, I Made Pinus Sudiarsa, 70 tahun, mengatakan keluarganya juga membuat penjor dan memasak daging babi. Umat Katolik di Tuka pun menggunakan istilah penampahan untuk menyebut satu hari menjelang Natal, yakni waktu untuk memotong babi.
“Sama olahannya dengan Galungan. Ada lawar, urutan (seperti sosis) atau tum,” ujarnya. Selain keberadaan penjor dan masakan olahan daging babi, ciri yang kentara adalah umat Katolik Tuka keturunan Bali datang ke gereja untuk merayakan Natal dengan pakaian adat Bali. “Kami tetap menggunakan pakaian adat,” ucap Sudiarsa.
Warga Banjar Palasari, Kabupaten Jembrana, Bali memasang penjor untuk perayaan Natal, 22 Desember 2023. Foto: I Gede Darsana Putra
Saat ini terdapat sekitar 400 warga Paroki Tritunggal Mahakudus di Tuka. Jumlah itu terbagi dalam 11 sektor atau lingkungan. Di Tuka, Natal dirayakan selama dua hari. Perayaan sehari setelah Hari Natal disebut Manis Natal. Dalam agama Hindu di Bali dikenal juga istilah Manis Galungan sehari setelah Hari Galungan. “Saat Manis Natal kami ke Gereja,” tuturnya.
Pastor Paroki Tritunggal Mahakudus, Romo Paskalis Nyoman Widastra, SVD, menyebutkan inkulturasi terjadi di semua gereja Katolik. Di Tuka, saat gereja Katolik pertama di Bali itu diresmikan pada 14 Februari 1937, budaya Bali turut dimunculkan. “Bangunan gerejanya berisi ornamen Bali dan menggunakan penjor,” ujarnya. Selain itu, teks liturgi Gereja Tritunggal Mahakudus awalnya menggunakan bahasa Bali. Tapi, seiring dengan perkembangan literasi masyarakat, saat ini bahasa Bali digunakan hanya pada misa Minggu pertama di awal bulan. “Bagi yang tidak bisa bahasa Bali, disediakan misa dalam bahasa Indonesia,” katanya.
Romo Widastra lahir di Palasari pada 13 April 1966. Ia bertugas di Paroki Tritunggal Mahakudus sejak tahun 2000. “Karena berasal dari Tuka, orang Palasari menganggap tempat ini Bethlehem of Bali,” ujarnya. Ketua adat atau pemaksan di Banjar Palasari, Yohanes I Made Dwiwanto, tidak memungkiri adanya anggapan oleh warganya bahwa Tuka adalah Betlehem dan Palasari menjadi tanah perjanjian karena terjadinya migrasi dari Tuka ke Palasari. “Saat ini di Palasari jumlah warga Katolik mencapai 1.200 orang,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Betlehem di Bali"