MASIH pukul 6.30 pagi ketika tembak-menembak itu berlangsung. Di hutan kawasan perbukitan Provinsi Sorsogen, 240 mil tenggara Manila, lebih dari 50 anggota New People's Army (NPA, pemberontak komunis Filipina) saat itu tengah menyiapkan sarapan. Sebelumnya mereka melakukan senam dan latihan fisik selama setengah jam. Makanan yang dimasak: nasi dan kubis yang disayur dengan santan. Di kamp darurat itu, mereka - para gerilyawan - di sana sini sibuk sendiri. Ada yang tengah membersihkan senapan, ada yang mencuci di tepi sungai tak jauh dari situ, dan ada juga yang bergerombol menyanyi. Ketika suara berondongan mendadak merobek suasana pagi, mereka dengan sigap meloncat dan langsung siaga. Tanpa panik, masing-masing segera menyambar senapan, membereskan perkemahan, menggaet perbekalan. Tembakan-tembakan beruntun - dalam irama stakato, bersambung-sambung. Pasukan Marinir dan Angkatan Darat, musuh mereka, makin mendekat. Dan para gerilyawan yang bertugas di luar perkemahan mulai membalas dengan M-16 mereka. Menu pagi itu bukan lagi nasi dan sayur kubis, tapi mesiu. Ketika pasukan pemerintah sudah sekitar 150 yar, peluru berdesing-desing, menyambar pokok-pokok kelapa dan pepohonan lain. Para pemberontak tiarap, merengkuh tanah di balik pohon-pohon palma dan mulai memanfaatkan peluncur granat M-79, merobek rimbunan perlindungan pasukan pemerintah di arah hadapan, sambil sekaligus berpencar membentuk dua kelompok - dan menghilang ke hutan. Pasukan pemerintah mengejar. Dua hari sebelum itu, seorang perwira NPA mengakui bahwa pasukan pemerintah umumnya terlatih sebagai jagoan tempur yang gesit, terutama Marinir dan kesatuan pengintai Angkatan Darat. "Tetapi," katanya, "di kawasan hutan sini mereka asing - dibanding kami. Mereka sering geragapan." Pernyataan perwira itulah yang diuji, sejak pagi itu sampai siangnya - ketika selama sekitar enam jam mereka kucing-kucingan di tengah rimba. Benar: mereka lolos, melewati rute yang berbelit-belit, melingkar-lingkar, memintas terap-terap hutan, menyeberang sungai dan ngarai. Malah akhirnya justru anggota pengintai pihak gerilyawan, dengan peralatan radio mereka, yang memantau gerakan pasukan pemerintah. Mereka lepas, tanpa menyisakan jejak. "Di pihak NPA, yang saya ikuti," tutur Wartawan Steve Lohr di The New York Times Magazine awal November lalu, "tidak ada korban atau kerugian apa pun." * * * Adegan tembak-menembak dan main petak umpet di Luzon Tenggara itu hanya satu bagian kecil dari buah pertikaian yang makin menegang antara pemberontak komunis dan pemerintahan Marcos orang kuat Asia Tenggara yang bertahan di kursi kepresidenan selama dua dasawarsa ini. Tak kurang dari dua tahun sebelumnya, NPA tidak begitu digubris. Begitu juga para pengamat asing menganggap perlawanan pemberontak tak ada bedanya dengan keributan-keributan kecil, di berbagai wilayah negeri itu, di bawah bendera dan ideologi masing-masing. Pemberontakan mini model begini - memang sudah kelaziman berabad-abad di negeri dengan 7.000-an pulau ini. Namun, suara semacam itu dalam dua tahun belakangan ini sudah berbalik. Pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan kewaspadaan ketika kemudian pemberontakan dari sayap yang komunis tumbuh pesat, seiring dengan dukungan politis dan ekonomi yang mereka dapatkan dalam dua tahun terakhir ini. Gerombolan ini, sedihnya, telah menjadi alternatif di luar pemerintahan Marcos. Pembunuhan tokoh oposisi Benigno Aquino Jr., Agustus 1983, telah menggangsir kredibilitas Marcos dan militer Filipina yang dianggap terlibat. Sejak itu ekonomi negeri makin terpelintir, hukum dan ketertiban makin tidak berdaya, dan penyalahgunaan kekuasaan militer menjadi-jadi. Washington, para pemimpin dunia, dan pihak oposisi dalam negeri mendesak Marcos untuk melonggarkan cengkeramannya terhadap situasi politik dan ekonomi. Imbauan ini digencarkan lagi akhir oktober lalu, dengan tindakan Presiden Reagan mengirimkan senator dari Nevada, Paul Laxalt, untuk menemui Marcos di Manila. Para pejabat resmi Amerika Serikat mengungkapkan, Laxalt membawa pesan yang berisi kecemasan Reagan atas perkembangan keadaan Filipina dan mendesak Marcos melakukan perubahan langkah. Marcos, 68 tahun, dengan congkaknya seperti tidak menanggapi seruan itu. Ia tetap merentangkan kekuasaannya, termasuk membuat undang-undang apa saja menurut maunya. Sementara itu, pihak oposisi, yang bertikai di dalam tubuhnya sendiri, tidak bisa menandinginya. Kecemasan dan keraguan pun meluas: apakah para politisi oposisi itu sungguh berniat mengubah keadaan ataukah sekadar, seperti kata sekelompok wirausahawan domestik, "Menunggu kesempatan naik memegang kekuasaan." Hari-hari ini jangan kaget jika para penasihat hukum, dokter, dan kelompok pemimpin perusahaan menyatakan dukungannya kepada NPA - semata-mata hanya karena kelompok ini dianggap sebagai satu-satunya alternatif tadi. Kekerasan, yang bisa berupa pembunuhan kepada pejabat pemerintah atau orang-orang yang dianggap musuh, telah menjadi pilihan gerombolan ini. Dan, aneh, kelakuan begitu toh mendapat dukungan juga dari para Filipino yang relatif makmur. "Tindakan kekerasan tentu bertentangan dengan nurani saya," kata seorang pengusaha berusia 42 tahun. "Namun, cara begitu, dalam situasi saat ini, menjadi lebih cocok untuk mencapai kondisi yang lebih baik." Dalam waktu setengah tahun pertama yang lalu, kematian rata-rata yang dikaitkan dengan kegiatan kaum pemberontak per hari tercatat 14 orang -termasuk di dalamnya tentara pemerintah, gerilyawan, pejabat, dan penduduk sipil tak berdosa yang tewas akibat peluru nyasar. Dalam penyerbuan ke barak tentara pemerintah untuk merampas amunisi dan persenjataan, gerombolan itu sudah tidak lagi bergerak dalam kelompok-kelompok kecil, tetapi dengan satu pasukan setingkat batalyon atau kesatuan. * * * Kekuatan NPA susah diukur. Menurut pemerintah, jumlahnya kini 10 sampai 12 ribu - berarti dua kali lipat dibanding perkiraan tahun lalu . Sementara itu, pihak NPA sendiri mengaku memiliki kekuatan pasukan bersenjata sebanyak 20 ribu. "Bahwa NPA nanti akan mendapat kemenangan, itu bukan persoalan rumit," kata seorang pengamat Barat yang ahli di bidang militer. Menurut Wartawan Lohr, "Mereka tidak akan menggulingkan pemerintah saat ini juga. Namun, seandainya arah perkembangan tetap begini, dalam waktu 3-5 tahun mendatang komunis sudah tidak akan bisa diatasi lagi." Pertumbuhan pemberontakan NPA bahkan telah mengusik AS untuk makin serius mengatur kebijaksanaan luar negerinya di kawasan Asia Tenggara - kondisi yang tak bisa dielakkan sejak 1970-an. "Filipina memiliki kemungkinan menjadi semacam Vietnam," kata Stephen J. Solarz, Ketua Dewan Subkomite Urusan Asia dan Pasifik. Ia menjelaskan, "Vietnam dalam pengertian ini tidak berarti banyaknya pasukan Amerika yang harus dilibatkan, tetapi suatu kenyataan hilangnya sebuah negara ke tangan komunis." Lebih-lebih anggota reguler NPA yang bersenjata hanya merupakan jumlah kecil dari suatu gabungan gerakan kiri yang bersifat lebih meluas, di bawah nama National Democratic Front. Sebagai organisasi payung, NDF menaungi berbagai komunitas kelompok buruh, kalangan gereja, dan organisasi terselubung lain. NDF mengaku memiliki jumlah anggota satu juta dan memperoleh dukungan 10 juta warga negara - dari 54 juta penduduk. Adalah juga NDF yang menjadi penganjur gerakan anti kebijaksanaan luar negeri AS. Termasuk menuntut penggusuran basis militer AS di Filipina (Clark Air Base dan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Subic) dan pengusiran berbagai perusahaan swasta AS. Kedua pangkalan militer itu pegangan AS dalam gerakan militernya di Asia Tenggara. Memprihatinkan, tentu, jika diingat bahwa Soviet makin gencar mengembangkan pangkalannya di Teluk Cam Ranh, milik AS di masa Perang Vietnam. Gerakan revolusioner kiri ini tumbuh menjadi fenomena yang khas Filipina dalam arti memiliki watak lokal - sebuah gerakan penyempalan nasional yang banyak persamaannya dengan gerakan sejenis Sandinista di Nikaragua dan gerakan-gerakan lain di Dunia Ketiga. Ideologinya mereka dapatkan dari Marx, Lenin, dan Mao, tapi para pemimpinnya mengaku tidak tunduk di bawah pengaruh adidaya mana pun. Setidak-tidaknya, para pejabat Kementerian Luar Negeri AS sendiri menyatakan, tidak ada bukti mereka mendapat dukungan materi dari negeri asing - kecuali (dugaan kuat) sokongan keuangan dari golongan-golongan kiri Eropa yang bersimpati. Sumber dana paling besar, masih kata para pejabat itu, adalah kelompok-kelompok di negeri-negeri Blok Timur, Skandinavia, dan Jerman Barat. Di samping memang, tidak mustahil terdapat juga jalur tak langsung dengan Soviet. Tetapi golongan revolusioner Filipina tampaknya memang kecut hati terhadap sokongan langsung negeri Gorbachev itu. Para pemimpin NPA sudah memperkirakan, membina hubungan dengan Moskow sama saja dengan mengundang tentara AS masuk. Dukungan RRC pun tidak mereka harapkan, kata para pejabat Kementerian Luar Negeri AS, sebab Cina pada dasarnya malah masih cinta kepada pemerintahan Marcos - dan masih mendukung pangkalan militer AS di Filipina sebagai pengimbang gerakan Soviet di kawasan ini. Hari-hari belakangan ini NPA telah berkembang meliputi hampir 73 provinsi. Para pengamat Barat memperkirakan, organisasi itu telah secara efektif menguasai 20% dari semua pedesaan (barrio) Filipina. Pemerintahan Marcos jelas menyatakan perkiraan itu dibesar-besarkan. Sebaliknya, para warga barrio, para pedagang, dan manajer hacienda, di kawasan yang dipegang NPA, justru menuturkan bahwa jumlah yang diperkirakan itu kurang besar. Kata mereka, pemerintahan di bawah bayangan komunis, bernama Dewan Revolusioner Barrio, telah menguasai 50% dari seluruh barrio kota. Anggota berbagai kelompok revolusioner kebanyakan anak-anak muda, 19 atau 20 tahunan. Berdasarkan wawancara dengan lebih dari dua lusin satuan gerilya di kawasan Luzon Tenggara, bisa disimpulkan bahwa kebanyakan mereka anak-anak petani penyewa yang melarat. Sebagian besarnya tidak pernah menamatkan sekolah menengah. Jika tidak bergabung dalam NPA, mereka akan menjalani nasib seperti orangtua mereka, merayap memperpanjang kemiskinan dari sisa-sisa hasil perkebunan kelapa. Mereka memang kelas bawah dalam sistem pertanian yang terdiri dari dua golongan: para haciender dan para petani gurem. Para haciender, tuan tanah, lebih sering hidup di Manila, sementara lahan mereka diawasi para mandor. Tanah-tanah ini dikerjakan oleh para petani gurem, dengan hasil sebagian besarnya menjadi hak si tuan. Adapun para buruh hidup di gubuk-gubuk berlantai tanah, terdiri dari dua kamar, tidak ada listrik, paling-paling bola lampu telanjang yang dihubungkan dengan aki. * * * Para gerilyawan memiliki panggilan khas. Di depan setiap nama, di antara mereka, lebih dulu akan disebut ka, penggalan dari kasama (bahasa Tagalog), yang artinya kamerad atau kawan seperjuangan. Maka, adalah Ka Nestor, 28 tahun, yang telah bergabung sebagai anggota pasukan gerilya sejak tujuh tahun lalu. Ka Nestor mengaku, ketika pertama ikut bergerilya dulu, ia belum paham betul tujuan sebenarnya. "Saya hanya tahu bahwa peperangan ini untuk kebaikan rakyat." Lalu ada Ka Andy, 19 tahun. Dengan menyandang bekas luka yang konon akibat sambaran tujuh butir peluru di tubuhnya, anak muda ini sudah menjadi veteran gerilya, tanpa harus pensiun. Ka Andy sekarang tidak lagi bergerak di hutan, tapi di kota, tergabung dalam Pasukan Burung Pipit, satuan khusus NPA dengan spesialisasi membunuh para pejabat lokal dan perwira militer. "Saya sudah tidak lagi berdoa," kata Ka Andy kalimat yang rajin disuarakan para NPA-wan yang, sebagian besarnya, seperti 85% warga Filipina, tumbuh dalam lingkungan Katolik Roma. "Saya tidak percaya lagi kepada Tuhan. NPA sudah menjadi keluarga saya dan agama saya." Bagi para anggotanya dan terhadap warga masyarakat yang di kuasainya, NPA memasang merk sebagai "polisi sosial". Bertugas sebagai pengatur "kedamaian dan ketenteraman, pengelola urusan peradilan serampangan", pengumpul "pajak", dan pengatur land reform sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Sehubungan dengan yang terakhir itu, NPA menggariskan ketentuan bagi hasil: selama ini dua pertiga menjadi hak tuan tanah dan sepertiganya hak petani gurem. NPA mengubahnya menjadi sebaliknya. Ada banyak tanda bahwa organisasi ini segera menanggalkan citranya sebagai Robin Hood begitu suatu daerah mereka kuasai. Lantas jadilah mereka gerombolan yang memeras dan memaksa warga desa mendukung gerakan mereka. Namun benar: banyak dari mereka yang kemudian menjalankan kewajiban-kewajiban yang mestinya dikerjakan pegawai pemerintah. Mabuk, di kalangan mereka, diharamkan. Hubungan lelaki-perempuan juga ada aturan mainnya - termasuk imbauan untuk tidak menikah dengan orang luar gerakan. Kumpul kebo dianggap pelanggaran hukum. Seperti laiknya para serdadu, anggota NPA juga sering mengalami saat-saat menganggur yang panjang. Itu mereka isi dengan bermain voli, bercanda, atau menggaruk-garuk gitar dan menyanyi. Ini biasanya berlangsung dalam kelompok-kelompok kecil, empat atau lima orang - kecuali voli, tentunya. Ada juga satu dua orang yang asyik menyendiri. Suasananya bisa membuat orang betah. Ka Totoy, gadis 21 tahun, mengatakan alasannya bergabung dengan NPA, "Karena prinsip-prinsipnya, disiplinnya, dan kekerabatannya." Demi alasan keamanan, gerakan ini sedikit menyamarkan struktur komando-nya, tingkat nasional ataupun regional. Contohnya berkenaan dengan kasus Rodolfo Salasdan Rafael Baylosis, dua bekas aktivis kampus Universitas Filipina, Manila, yang tersohor itu. Keduanya oleh pihak pemerintah dikenal sebagai ketua dan sekretaris jenderal partai yang memayungi NPA. Tetapi para gerilyawan mengenal mereka hanya sebagai anggota senior atau perwira tinggi NPA - hanya itu. Lalu mengenai Ka Oggie, lelaki 36 tahun, bertubuh ramping dengan kumis tipis dan pelupuk mata menebal. Ia pun dikenal cuma sebagai anggota senior kawasan Bicol. Ternyata, ia termasuk pemimpin tingkat nasional. Bekas aktivis gerakan anti pemerintah di Manila, Oggie bergabung dalam gerakan ini dan masuk hutan awal 1970 - tepat 15 bulan setelah 11 anggota pecahan gerakan revolusioner Hukbalahap, yang berorientasi ke Soviet, membentuk Partai Komunis Filipina (26 Desember 1968). Pada dasarnya, anak-anak muda radikal itu tetap berteguh pada ikrar mereka untuk, "Menegakkan kembali kekuatan Partai dengan garis yang sesuai dengan pemikiran Marx, Lenin, dan Mao." Lantas, untuk tetap dalam garis Mendiang Mao, "Kekuatan tumbuh dari laras bedil dan Partai mengontrol senapan," mereka pada 29 Maret 1969 meresmikan berdirinya NPA itu - sebagai kekuatan militer Partai. * * * Malam itu, Ka Oggie duduk di lantai sebuah gubuk sembari menyedot asap rokoknya. Di bawah cahaya lampu teplok, ia bicara mengenai NPA. Katanya, dalam dasawarsa pertama, NPA banyak mengalami kesalahan dan kegagalan. Semangat ideologi kelompok tidak tercermin dalam pertarungan dengan lawan. "Kami tidak tahu apa pun tentang cara berperang," katanya. "Akibatnya, kami harus merelakan banyak korban lebih dulu sebelum akhirnya mendapatkan pelajaran." Juga, pada 1970-an, gerakan land reform dilaksanakan secara radikal dan sembrono, yang tentu saja dianggap tidak benar oleh para pemimpin mereka sekarang. "Waktu itu bagian petani adalah 90 persen, tuan tanah 10 persen," kata Oggie. "Dan kalau tuan tanah tidak akur, diadakan penyitaan. Tapi yang begitu itu justru mengurangi dukungan kelompok kelas menengah, dari para tuan tanah dan pedagang kecil. Kami kemudian memang harus menyadari bahwa kami membutuhkan dukungan anggota masyarakat kelas menengah itu." Dalam perkembangannya, NPA bersikap lebih luwes. Bahkan teori revolusioner komunisme mereka terapkan dengan menyesuaikannya pada kondisi Filipina. Dan ini, lagi-lagi, meluaskan dukungan. Juga dalam gerakan militer, mereka menerapkan teori-teori Mao tidak begitu saja, tetapi dengan variasi di sana-sini. Ada cetak biru perang gerilya yang disah kan pada 1974, Specific Characteristic of Our People's War namanya. Dirancang oleh Amado Guerrero - bisa jadi nama samaran Jose Maria Sison, pendiri dan ketua pertama Partai Komunis Filipina. "Di negeri yang kecil dan terpenggal-penggal seperti Filipina ini, tentu akan konyol jika kita bergerak dengan kepemimpinan terpusat," tulis Guerrero di situ. Sebagai gantinya, NPA mesti menggalang rentetan berbagai garis depan penggempur yang didesentralisir. Front-front, di kota-kota atau dusun yang berdekatan, saling merentangkan jaringannya, dengan hubungan ke organ-organ partai, unit-unit kecil NPA, juga organisasi-organisasi sosial pendukung gerakan. Saat ini pihak pemberontak mengakui telah membangun 60 front semacam itu, tersebar di seluruh negeri. Kata Ka Oggie, berkhotbah, "Kami mengerjakan segala hal yang mestinya menjadi tanggung jawab para abdi pemerintah tingkat bawah. Pokoknya, membantu rakyat memperoleh kebutuhan dasar mereka, yang mestinya mereka dapatkan dari pemerintah serta memberikan 'keadilan' bagi mereka. Yang kami lakukan hanyalah menuangkan air ke gelas kosong." Begitulah pemerintah Filipina, paling tidak menurut mereka. Para pejabat pemerintah sudah tentu melecehkan pernyataan seperti itu -menganggapnya sebagai tindakan meromantisir diri. NPA, menurut Presiden Marcos, telah mengotakatik masalah keadilan sambil melupakan kenyataan perubahan hidup di Filipina. "Para anggotanya," katanya lagi dengan gemas, "adalah pelaku tindak kriminal, bandit-bandit lokal, dan anak-anak muda yang bosan hidup dan mencari petualangan." Gerakan pemberontakan ini, menurut Marcos memiliki kebijaksanaan luar negeri yang terus berubah. Saat ini garis mereka lebih merupakan adonan nasionalisme, Marxisme dan oportunisme. Di sebaliknya, menurut pihak komunis dan anggota-anggota NDF, keberatan mereka terhadap bercokolnya pangkalan militer AS di negeri ini melulu soal nasionalisme. Mereka tidak menghendaki pangkalan militer asing mana pun, kata mereka. Sementara itu, Ang Bayan - terbitan gelap Partai Komunis Filipina - edisi Juni 1985 membuat deklarasi begini, "Adalah tugas dan kewajiban rakyat Filipina menggalang hubungan baik dengan rakyat segala negeri di dunia. Musuh utama kita, seperti juga musuh pokok warga dunia, adalah imperialisme Amerika Serikat." Persis sama, di mana-mana. Tapi pihak pemberontak, seperti kata Ka Oggie, memang mengharapkan dukungan pemerintahan-pemerintahan asing - "yang bertindak sebagai kawan revolusi kami." Tentu ia tidak menyebutkan negara-negara mana saja yang begitu. Hanya, "Jelas sangat sulit mendapatkan kemenangan tanpa dukungan asing," katanya berterus terang. Dukungan yang diharapkan NPA dari luar, tambah Ka Oggie, bisa berupa pengiriman senjata, termasuk artileri. Sejauh ini persenjataan mereka terutama masih berupa senapan berat, meski M-16 sudah mereka pegang. Mereka juga memiliki karabiner, beberapa senapan mesin dan pelontar granat. Pada sebagian besar senjata itu terpampang: Property of US Government atau US Army. Maklum, barang-barang itu mereka dapatkan dari hasil menyergap tentara pemerintah atau, sekali waktu, membeli dari para perwira pemerintah yang korup. Dalam rangka memudahkan pengiriman sokongan dari luar negeri, kata Ka Oggie, pihak gerilyawan harus lebih banyak lagi menguasai kawasan pantai untuk mempermudah pendaratan kapal pengangkut. Menurut perkiraannya, "Dalam dua tahun mendatang," NPA akan mampu merebut banyak kawasan pesisir itu. * * * Setelah merasa menyelesaikan tugas di kawasan yang dikuasai gerilyawan, Wartawan Steve Lohr, penulis laporan ini, pergi ke salah satu basis tentara pemerintah. Tepatnya ke garis terdepan pasukan penangkal gerilyawan di seputar Davao, sebuah kota pelabuhan di Mindanao. Komandannya adalah Kolonel Rodolfo Biazon, lelaki jangkung semampai dengan rambut kelabu dan usia 50 tahun. Perwira Marinir ini memikul beban yang tidak enteng: Di Davao ini NPA sangat gencar membina organisasi, mengumpulkan sumbangan "pajak", dan melikuidasi (secara selektif) para polisi dan pegawai. Sampai-sampai Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile menilai Davao telah menjadi "laboratorium NPA" untuk berbagai eksperimen mereka. Militer Filipina, sejak Undang-Undang Darurat 1972, sudah remuk reputasinya - sebagai golongan yang korup, sewenang-wenang, dan sering memanfaatkan atau diperalat untuk memanfaatkan kekuasan. Biazon, sebaliknya, telah berhasil membina citra dirinya sebagai pemimpin militer yang tidak termasuk golongan itu: ia prajurit profesional. Lulus dari Akademi Militer Filipina yang mirip-mirip West Point, Biazon dikenal cerdas, cakap berbicara, dan disegani kelompok penduduk maupun pengkritik pemerintah. Di bawah komandonya Marinir Filipina terpuji sebagai kesatuan yang memegang teguh disiplinnya yang terampil dan memiliki perlengkapan komplet. Tugas Biazon di kawasan perbukitan Davao adalah menyapu bersih unit-unit gerilyawan. Tapi orang sering melihat dia sedang ngobrol dengan penduduk setempat, dengan sekelompok pelajar dan mahasiswa, dengan kelompok oposisi, kalangan wiraswasta lokal, dan dengan siapa saja yang bersedia ia ajak omong. "Militerisme NPA sering ditanggapi secara tidak pas," katanya. "Padahal, bahaya NPA bukan dari situ, tetapi dari penyebaran ajaran-ajaran mereka yang mereka sebut program edukasi. Sisi inilah yang saya tekankan, untuk ditangkal. Pertarungan utama menghadapi mereka sebenarnya di bidang ini." Ia diam sejenak, lantas melanjutkan, "Sebab, menghadapi mereka tidak harus dengan kontak fisik. Yang penting, bagaimana mengubah pendapat rakyat. Rakyat harus diyakinkan bahwa keluhan mereka akibat sikap pemerintah tidak perlu diperpanjang lagi - supaya mereka sadar bahwa yang harus dilawan justru komunisme." Biazon bertindak seolah seorang pengabar Injil dengan kitab konstitusi. "Saya mengajarkan apa itu demokrasi yang sebenarnya. Saya sama sekali tidak mempromosikan pemerintah." Maka, kadang-kadang ia bersuara seperti wakil golongan oposisi. "Jika oposisi dihilangkan," katanya, "yang lahir kediktatoran. Oposisi adalah satu alternatif untuk mengubah keadaan negeri secara damai. Kita memerlukan mereka." Bersama dengan itu, kepada kelompok oposisi ia memberi peringatan tentang bahaya penyusupan komunisme. Dan inilah kabar baik: tahun lalu, lebih dari 20 barrio di Davao, yang pernah dirasuki komunis berbalik memihak pemerintah. Namun, dalam banyak kasus, jika kesatuan Marinir berhasil mengontrol suatu wilayah, itu memang berarti adanya kekuasaan baru yang bagi rakyat sama saja dengan NPA. Rakyat sering bersikap netral saja. "Jika Marinir memegang kendali keadaan, mereka mendukung. Pada saat NPA berhasil menguasai mereka, mereka juga bekerja sama," kata Prospero Nograles, ahli hukum pembela hak-hak asasi di Davao. * * * Faktor lain yang ikut menggerogoti citra tentara pemerintah adalah disiplin mereka yang kendur. Memang, ada satuan Marinir di bawah Biazon, tetapi jumlah pasukan andalan ini hanya sepertiga dari keseluruhan serdadu penguasa di Davao itu. Yang reguler, yang tidak berdisiplin itu, jumlahnya 4.500 personil. Plus pasukan Biazon, jumlah seluruhnya masih lebih kecil dibanding para militer pihak gerilya lokal yang berkekuatan 7.000 personil. Lebih menyedihkan lagi, pasukan reguler yang bukan marinir itu kecil gajinya, dan berperang dengan peralatan kurang canggih. Satuan ini memang masuk tentara kelas bawah - tak lebih dari anak-anak muda tukang tembak yang sering pula menjadi tenaga sewaan, terlibat pencurian, pemerasan atau yang sejenis. Citra Biazon dan satuannya itu sering dirusakkan oleh pasukan kelas hura-hura tersebut. Tragis. Sementara itu, para pengikut NPA memperjuangkan gerakannya tidak sebagai pembawa bendera komunis yang hendak mengambil alih kekuasaan, tapi sebagai gerakan revolusi yang nasionalistis. Tema nasionalisme model itu memang laku keras di seluruh kawasan Filipina, negeri yang berabad-abad berada di bawah ketiak kolonialisme Spanyol, kemudian Amerika Serikat (1898 sampai 1946), diselaselai oleh Jepang selama Perang Dunia II. Dalam banyak kesempatan, ketika melancarkan kampanye gerakan, anggota NPA sebisa-bisanya mengerem permasalahan komunisme - meskipun tak bisa memungkiri diri mereka sebagai bagian dari National Democratic Front. Ideologis, NDF dan Partai Komunis Filipina susah pula dibedakan, lebih-lebih kedua-duanya setuju perlunya mengangkat senjata. Dalam pada itu, para Filipino golongan menengah, yang menyokong gerakan mereka yang tidak percaya kepada omongan pemerintah, sesungguhnya tidak tahu-menahu atau tidak menyadari komunisme mereka itu - seperti juga tak punya kekhawatiran bahwa perusahaan dan modal mereka bakal direbut jika revolusi berhasil kelak. Seorang ahli hukum berusia 38 tahun, yang memiliki tanah di Luzon Selatan, bilang, "Tak mungkin rasanya negeri ini akan jadi komunis - bahkan jika kaum revolusioner nanti meraih kemenangan. Dukungan saya kepada gerakan mereka adalah karena: toh demokrasi sudah ditumbangkan di negeri ini." Keyakinan seperti itu boleh benar. Bahkan seorang yang sudah karatan menjadi anggota Partai - Ka Cesar namanya - mengaku, komunisme yang dibawa-bawa itu sebenarnya hanya "bagian dari semangat pragmatis", bukan sebagai keyakinan utama. Kata lelaki 35 tahun yang menjadi tokoh senior Partai untuk kawasan Bicol ini: "Kami memang memerlukan ideologi untuk mendorong lahirnya sebuah perubahan radikal di negeri kami. Dan kami melihat, Marxisme, Leninisme, dan Maoisme, telah secara efektif menjadi api dan memenangkan gerakan-gerakan revolusioner di tempat-tempat lain." Tapi, buru-buru ia menambahkan, "Itu tidak berarti ideologi itu akan mencetak keyakinan kami di sini. Kami tetap terbuka untuk ideologi apa saja, sepanjang bisa menopang gerakan kami meraih kemenangan." Tidak semua orang percaya pada kecap semacam itu. Misalnya golongan moderat yang, meskipun sebal terhadap Marcos, sangat mengharapkan perubahan secara lebih sopan. Salah satu dari yang begini adalah Jaime V. Ongpin, gemblengan Harvard yang kemudian menjadi direktur sebuah korporasi di Manila. Orang yang gigih melancarkan serangannya kepada Presiden itu berpendapat, pertumbuhan NPA hanya merupakan gejala kecil dari kondisi nasional yang sakit - rezim yang otoriter, penyalahgunaan kekuasaan militer, favoritisme, dan korupsi. Ia percaya bahwa pemberontakan komunis akan luntur sendirinya jika Filipina sudah tidak dikangkangi Marcos lagi, dan demokrasi serta kehidupan ekonomi dan militer disehatkan lagi. "Kebangkitan NPA hanyalah sebuah aba-aba bukan lahirnya sebuah kekuatan baru untuk mengambil alih kekuasaan," katanya. "Jangan khawatir: masih ada waktu. Sembilan puluh persen gerilyawan bukan orang-orang yang sepenuh hati bertekad mati di garis komunisme. Mereka hanya kelompok orang yang bereaksi terhadap kemiskinan dan penyelewengan militer. Di masa Marcos mencengkeram sekarang ini, mereka tidak memiliki kemungkinan lain kecuali bergabung ke NPA. Sebab, Filipino bukan Bolsyevik. Orang-orang NPA itu tidak mau menuntut banyak kecuali sekadar ingin hidup prasaja dan sanggup menyekolahkan anak-anak mereka." Barangkali orang semacam Ongpin tidak menghendaki komunisme di Filipina. Namun, seperti kelompok moderat lain, ia juga menolak adanya pangkalan militer AS di negerinya. Garis nasionalismenya jelas: pangkalan itu pada kenyataannya tidak banyak menguntungkan Filipina. Lalu, kalau toh nanti komunis bisa menang di sini, tetapkah Anda tinggal di Filipina, Ongpin? Jawabnya: "Ya, karena inilah tanah air saya. Saya Filipino. Peduli amat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini