INI sisa-sisa tuyul yang diseminarkan di Semarang dulu. Di Desa Pandanarum, Kecamatan Sutojayan, Blitar, Ja-Tim, seorang pria bernama Bunadi, 31, awal November lalu mendadak sakit - dan meracau. Dalam setiap igauan, dia selalu menyebut nama Pak Sigit - bekas majikannya. Dia mengharap Pak Sigit mau datang menjenguk. Permintaan itu dikabulkan, tentu saja. Tapi, lama-kelamaan, Pak Sigit merasa tak enak. Lho? Muncul gunjingan, seolah dialah penyebab sakitnya Bunadi. Terlebih setelah Bunadi mengigau: ia baru bisa sembuh bila semua sapi miliknya diberikan kepada Pak Sigit, katanya. Orang-orang lantas saja menuding: Pak Sigit punya tuyul. Lihatlah: begitu keempat ekor sapi dibawa ke rumah Pak Sigit, Bunadi kontan sembuh. Dan kembali sakit, ketika Pak Sigit ternyata menolak sapi-sapi itu. Tentu harus ditolak, karena, seperti dituturkan Mamik, 32, putri Pak Sigit, hewan-hewan itu bukan milik mereka. Lagian, keluarga itu merasa difitnah dibilang memelihara tuyul - sampai Pak Sigit ikut-ikut jatuh sakit. Sapi Bunadi kemudian dibawa ke Balai Desa, dan dipelihara di sana. Namun, sekarang ganti Sayid, kepala desa, yang pusing. Untuk membeli rumput bagi keempat ekor sapi itu diperlukan biaya Rp 2.000 per hari. Belum lagi mengurusnya. Repot. Sayid berusaha mengembalikan keempat sapi itu kepada - lagi-lagi - pemiliknya, keluarga Bunadi. Tapi selalu ditolak. Sampai pekan lalu, Pak Sigit masih tetap sakit. Sampai-sampai Mamik gregetan. "Kalau ada tetangga yang bisa membuktikan kami punya tuyul, akan kami beri hadiah. Sungguh!" serunya, berang campur sedih meski tak dilaporkan apa penyakit Bapak itu. Adapun Bunadi, jelas. Menurut dokter, ia sakit maag. Bila panasnya meninggi, dia mengigau yang bukan-bukan. Jadi, tuyul = maag.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini