Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGHIRUP udara bebas tak berarti hidup Vincentius Amin Sutanto langsung menjauh dari lingkungan penjara. Seperti Selasa awal Desember lalu, terpidana kasus pembobolan dana Asian Agri Group senilai US$ 3,1 juta itu menyambangi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang, Jakarta Timur, yang pernah mengurungnya selama enam tahun. "Setiap pekan, jika ada waktu, saya selalu ke Lapas," kata Vincent ketika ditemui di sebuah kantin di halaman depan lembaga pemasyarakatan itu.
Vincent kembali bukan untuk melaporkan keberadaannya setelah mendapat pembebasan bersyarat pada Januari lalu. Di dalam lembaga pemasyarakatan itu, dia masih dipercaya mengelola pabrik roti yang dirintisnya tiga tahun lalu bersama Balai Latihan Kerja Lapas Cipinang. Bisnis di dalam penjara itu mengubah pola pelatihan para tahanan, dari hanya mengajarkan pembuatan roti menjadi kegiatan komersial.
Pria kelahiran Singkawang 50 tahun lalu itu hakulyakin, hanya dengan cara itu, narapidana siap menghadapi tantangan sebenarnya di masyarakat ketika bebas. Para tahanan harus dibiasakan dengan pengelolaan bisnis yang dibuat semirip mungkin dengan dunia usaha dalam kehidupan normal. "Warga binaan harus tahu, setiap usaha harus menghitung segalanya, menjualnya, dan harus untung."
Bermodal Rp 10 juta dari kantongnya, Vincent merintis pabrik roti itu. Dari hanya beranggotakan dua warga binaan untuk membuat adonan dan memanggang di oven sederhana, pabrik roti itu kini mempekerjakan sedikitnya 20 tahanan. Omzet penjualan lewat kemitraan dan pesanan dari masyarakat di luar penjara yang semula hanya Rp 500 ribu per hari melambung menjadi Rp 2 juta per hari.
Setiap bulan pabrik roti itu menyetorkan sekitar Rp 7 juta ke Lapas Cipinang untuk sewa sebagian lahan di Balai Latihan Kerja. Pembayaran itu dihitung sebagai penerimaan negara bukan pajak. Sebagian hasil usaha dipakai untuk mengupah para tahanan yang bekerja. Sisanya dibagi untuk Balai Latihan Kerja dan Vincent. "Duit saya sekarang memang tak sebesar dulu ketika di Asian Agri. Tapi yang terpenting cukup buat keluarga," ujar Vincent.
Ketika masih di Asian Agri, Vincent memang bukan pegawai biasa. Ia salah satu eksekutif penting di sana. Terakhir kali, dia menjabat group financial controller perusahaan perkebunan sawit tersebut. Penghasilan Vincent tergolong besar, sekitar Rp 1 miliar per tahun. Tugasnya mengelola lalu lintas keuangan perusahaan, termasuk perencanaan pajak Asian Agri.
Hidupnya berubah pada November 2006, ketika kejahatannya membobol duit perusahaan bersama kawan lamanya, Hendri Susilo, dan adiknya, Agustinus Ferry Sutanto, terendus manajemen. Vincent pun menjadi buron Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ia lari ke Singapura berbekal paspor palsu.
Dari negeri pulau itulah Vincent membuat keputusan penting untuk membongkar kejahatan pajak Asian Agri, salah satu korporasi terbesar di Indonesia.
TIGA kali Vincent memuji nama Yesus. Dia tak membayangkan masih bisa hidup seperti sekarang jika mengingat apa yang dilaluinya selama delapan tahun terakhir. Masih terekam jelas di kepalanya, betapa dia ketakutan luar biasa ketika kabur ke Singapura pada akhir November 2006.
Vincent kian merasa terancam ketika seorang detektif swasta di Negeri Singa sempat mengontaknya, mengaku disewa Asian Agri untuk memburunya. Saking takutnya, ia bahkan sempat mau bunuh diri dengan melompat dari jendela kamar lantai enam sebuah hotel di Geylang Road. Ia juga dua kali berpindah hotel.
Niatnya bunuh diri bukan tanpa pertimbangan. Vincent berpikir, kesedihan istri dan ketiga putranya di Medan, yang ditinggalkannya tanpa pesan, akan lebih cepat pulih kalau ia mati—ketimbang harus terbebani melihat suami dan ayah mereka dipenjara dalam waktu yang cukup lama.
Vincent sudah putus asa. Upayanya memperoleh pengampunan kepada petinggi Asian Agri tak digubris. Tiba-tiba ia mendengar dari sopirnya di Medan bahwa anak sulungnya yang kala itu masih berusia sepuluh tahun dijemput di sekolah oleh utusan perusahaan dan dimintai keterangan. Seketika ketakutannya berubah menjadi amarah.
Meskipun ragu karena ia tak membawa selembar pun dokumen yang bisa dijadikan bukti, Vincent bertekad membongkar kejahatan pajak perusahaannya. Ia meminta sopirnya mencari kardus berisi dokumen perusahaan di kamarnya di Medan dan mengirimkannya ke Singapura.
Dia sebenarnya sadar, si sopir tak akan mudah memindahkan dokumen itu karena ada kabar rumahnya di Kompleks Tasbih, Medan—yang juga perumahan Asian Agri—telah digeledah dan dijaga ketat pegawai perusahaan. "Entah bagaimana, sopir saya bisa mengirimnya kepada saya," kata Vincent.
Paket itu diterima Vincent dengan menumpang alamat sebuah warung Internet di ujung Orchard Road, Singapura. Di situ Vincent langsung mengubah berbagai dokumen, seperti bukti transfer dan laporan keuangan perusahaan, ke dalam bentuk softcopy. Dia menyewa paket penyimpanan dokumen di situs Filesanywhere.com.
"Ibarat anjing, kalau terus dipojokkan, akhirnya akan menggigit juga," ujar Vincent. Pada mulanya dia khawatir. Selama ini, kata Vincent, perusahaan selalu mengirim sinyal kuat agar dia tidak macam-macam terhadap perusahaan. Namun ia tak punya pilihan lain. "Saya nothing to lose saja."
Yang membuatnya berani adalah keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia percaya pada reputasi lembaga antirasuah ini. Ia sempat goyah ketika KPK menilai kasusnya bukan perkara korupsi dan kemudian menyerahkannya ke Direktorat Jenderal Pajak.
Di Jakarta, Ferry, yang ketika itu belum tertangkap, diminta Vincent menghubungi Tempo. Kelak, dari sini Vincent bisa berkomunikasi via Yahoo Messenger dan akhirnya bertemu dengan wartawan Tempo Metta Dharmasaputra di Singapura. Metta kemudian menuliskan "Pertemuan Singapura" itu dalam laporan utama majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007.
Keputusan Vincent menggigit balik Asian Agri membuat hidupnya berubah cepat. Vincent memutuskan pulang ke Jakarta dan memilih menjadi peniup peluit (whistleblower). Ia memberikan data dan membantu aparat Direktorat Jenderal Pajak membongkar modus-modus kejahatan pajak Asian Agri. Hasilnya, menjelang akhir 2007, tim pajak berkeyakinan kekurangan bayar pajak Asian Agri selama 2002-2005 mencapai Rp 1,4 triliun.
Namun yang dihadapinya pertama kali justru perkara pencucian uang, bukan kejahatan pajak Asian Agri. Di pengadilan Jakarta Selatan, Vincent divonis sebelas tahun. Sejak ia menyerahkan diri pada 14 Desember 2006, pemeriksaan dan persidangan Vincent hanya memakan waktu delapan bulan. Upaya hukum Vincent sampai peninjauan kembali kandas.
Kondisinya kontras dengan pengusutan kasus kejahatan pajak Asian Agri. Berkas penyidikannya mondar-mandir antara Kantor Pajak dan Kejaksaan Agung selama hampir tiga tahun karena dianggap belum lengkap. Baru pada Agustus 2010, berkas manipulasi surat pemberitahuan pajak 14 anak perusahaan Asian Agri dengan tersangka Suwir Laut, Manajer Pajak Asian Agri, dinyatakan komplet.
Nasib Suwir Laut juga lebih baik daripada bekas koleganya, Vincent. Di pengadilan Jakarta Pusat, ia diputus bebas. Hakim menyatakan dakwaan jaksa prematur dan perkara ini bukan pidana, melainkan administratif. Suwir juga dibebaskan di sidang banding di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Ternyata majelis hakim kasasi yang dipimpin Djoko Sarwoko pada 18 Desember 2012 membalik putusan itu. Suwir divonis dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun. Yang mengejutkan, 14 anak perusahaan Asian Agri juga dinyatakan bersalah dan harus membayar denda Rp 2,5 triliun. "Saya lega. Putusan itu membuktikan saya tidak bohong," kata Vincent.
Sebelum vonis kasasi itu, nasib Vincent juga berbalik. Berkat perannya sebagai justice collaborator dengan membantu membongkar kasus Asian Agri, Vincent mendapat pembebasan bersyarat pada Januari lalu, empat tahun lebih cepat dari vonis.
Jalan Berliku Kasus Asian Agri
PEKAN lalu kas negara semestinya bertambah Rp 2,5 triliun. Duit sepanjang 2,5 kilometer—jika pecahan Rp 100 ribu dijajarkan—itu seharusnya disetor oleh 14 anak perusahaan Asian Agri. Mahkamah Agung, dalam putusan kasasi pada 18 Desember 2012, menetapkan denda kepada kelompok usaha milik Sukanto Tanoto itu dalam kasus penggelapan pajak. Tapi, sampai pekan ini, Asian Agri tak kunjung membayarnya.
General Manager Asian Agri Freddy Widjaja mengatakan perusahaannya menilai putusan itu bermasalah karena mengaitkan 14 anak usaha Asian Agri dengan hukuman terhadap mantan Manajer Pajak Asian Agri Suwir Laut. "Asian Agri dalam perkara ini bukan pihak, Asian Agri tidak pernah didakwa, Asian Agri tidak pernah disidangkan, dan Asian Agri tidak pernah diberi kesempatan membela diri dalam sidang."
Dalam putusannya, Mahkamah Agung memvonis Suwir Laut dua tahun dengan masa percobaan tiga tahun, dan menghukum 14 anak usaha Asian Agri secara tanggung renteng membayar denda pajak Rp 2,5 triliun. Semestinya denda itu dibayar pada 18 Desember 2013. Namun, menurut Kejaksaan Agung, karena salinan putusan Mahkamah Agung telat diterima Asian Agri, pembayarannya diundurkan sampai akhir Februari atau awal Maret 2014.
Pendapat Freddy dimentahkan Djoko Sarwoko. Ketua majelis hakim kasasi kasus Asian Agri yang kini pensiun itu mengatakan denda Asian Agri tak dapat dialihkan kepada Suwir. Pajak yang kurang bayar adalah pajak badan. "Korporasinya yang harus menanggung," ujarnya pada awal Desember lalu. Itu sebabnya dia berharap Kejaksaan Agung segera mengeksekusi putusan tersebut.
Belakangan, masalah baru muncul ke permukaan. Tersiar kabar dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa Asian Agri telah menjaminkan 14 perusahaannya ke Credit Suisse Bank cabang London, Inggris. Informasi ini bisa menyulitkan upaya Kejaksaan Agung menyita aset Asian Agri.
Tak mau dianggap kecolongan, Jaksa Agung Basrief Arief mengaku telah memerintahkan anak buahnya terbang ke London untuk berbicara dengan manajemen bank yang berpusat di Zurich, Swiss, itu. "Minggu depan sudah ada yang berangkat," kata Basrief pertengahan Desember lalu.
Upaya pengejaran aset Asian Agri telah dilakukan sejak Kejaksaan menerima salinan putusan, Februari lalu. Selain berkoordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional dan PPATK, para pengacara negara memanfaatkan jaringan informal pemulihan aset, Camden Assets Recovery Interagency Network, yang berpusat di Belanda, dan meminta bantuan Asset Recovery Inter-Agency Network for Asia-Pacific.
Hasilnya, Kejaksaan telah mengantongi daftar aset Asian Agri di luar negeri. Tapi petugas tak memblokir beberapa rekening, yang masih dipakai untuk menggaji karyawan. Target lalu dialihkan ke aset gedung dan bangunan milik Asian Agri, baik di dalam maupun luar negeri, yang sejak Juni lalu telah dibekukan. Menurut Basrief, nilainya cukup untuk melunasi denda Asian Agri. "Di atas Rp 5 triliun."
Upaya itu juga tak akan mudah. Dua belas dari 14 anak perusahaan Asian Agri sudah mengajukan permohonan banding ke pengadilan pajak. "Banyak hal bisa terjadi. Masyarakat harus mengawal persidangannya," kata Direktur Jenderal Pajak Ahmad Fuad Rahmany.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo