Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dinding mahoni rumah joglo itu, bersandinglah tujuh bingkai sampul majalah dengan empat lukisan realis. Bukan tanpa alasan Agus Condro Prayitno, pemilik rumah, memajang ketujuh sampul majalah tersebut, termasuk Tempo, yang memuat berita utama kasus suap cek pelawat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom pada 2004. Agus, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, membongkar kasus ini lima tahun lalu. "Biar jadi kenangan (untuk) anak saya," kata Agus Condro, 53 tahun.
Dibangun di atas lahan 2.208 meter persegi pada awal 2008, rumah joglo itu terletak di Desa Pasekaran, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di sinilah tempat berkumpul aktivis antikorupsi dari berbagai daerah. Hampir tiap malam, empat bangku panjang diisi para aktivis yang menggelar diskusi. Di belakang rumah ada lapangan futsal. Agus Condro menyewakannya kepada khalayak Rp 45 ribu per jam.
Elia Nuraeni, 47 tahun, istri Agus Condro, pernah dua kali mencoba buka usaha warung makan. Pertama pada Februari 2008, dan hanya bertahan enam bulan. Setelah suaminya bebas dari penjara, Elia kembali membuka kedai itu. Kali ini cuma bertahan tiga bulan. Agus berencana menyewakan rumah joglo untuk resepsi pernikahan dan pertemuan. "Lumayan, bisa buat tambah penghasilan," katanya. Ia menerima gaji pensiunan anggota DPR Rp 3,7 juta per bulan sampai sekarang.
Agus Condro dipecat dari PDI Perjuangan pada September 2008 akibat "nyanyian"-nya sebagai justice collaborator. Pengakuannya menyeret 29 anggota DPR. Sejak dipecat, ia terus berupaya melawan korupsi. Caranya?
Ia antara lain mendampingi secara gigih sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengusut kasus korupsi di daerah. Lalu mengawal kasus dengan intens agar sampai ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi. Agus Condro juga kerap berbicara dalam seminar dan pelatihan antikorupsi. "Dulu narapidana, sekarang narasumber," ujarnya berseloroh.
Sejak 2009, dia menjadi narasumber pembentukan kader antikorupsi di Kementerian Pertanian serta Kementerian Riset dan Teknologi. Belum lama ini ayah tiga anak itu membagi pengalamannya kepada sejumlah pejabat eselon I, yang meliputi deputi hingga wakil menteri di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara. Satu pesan yang tak pernah alpa dia sampaikan: kalau atasan sudah bersih, bawahan akan mencontoh.
Urusan korupsi ternyata membawa Agus ke dunia yang jauh lebih luas daripada masa-masa dia di parlemen. Kini salah satu aktivitasnya adalah menjadi motivator gerakan antikorupsi di berbagai LSM, himpunan mahasiswa, hingga perguruan tinggi. Misalnya, Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. "Saya memprovokasi para pemuda untuk melawan korupsi," kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret itu.
Saat masih menjadi anggota Dewan dan namanya belum mencuat sebagai whistleblower, Agus mengaku telah menyeret sejumlah koruptor di Pemerintah Kabupaten Batang. Melalui Gerakan Tangkap Koruptor (Gertak), LSM yang dibentuknya pada 2005, dia menyeret bekas Bupati Batang Bambang Bintoro karena kasus korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Batang 2004. Anggaran eksekutif Rp 796 juta itu dipakai untuk mendanai premi asuransi 45 anggota DPRD.
Bambang divonis bersalah pada September 2012 dan dihukum satu setengah tahun penjara plus didenda Rp 50 juta subsider dua bulan penjara.
Gertak juga menyeret sejumlah kepala dinas di Batang. Agus pun juga menyokong LSM dari Kabupaten Kendal, yang bertetangga dengan Batang. Mereka mengungkap korupsi APBD Kendal 2003 sehingga mantan bupati Hendy Boedoro divonis lima tahun penjara pada 2007.
Agus menjadikan rumah joglo itu tempat berkumpul pegiat antikorupsi. Bersama keluarganya, Agus Condro menempati rumah lain di Dukuh Kedungrojo, Kelurahan Proyonanggan Selatan, Kecamatan Batang. Rumah ini berjarak sekitar dua kilometer dari rumah joglo.
Ihwal korupsi ternyata membikin Agus gandrung menembang. Dia menciptakan lima lagu tentang korupsi dan buruh. Dua lagunya Ganyang Koruptor dan Buruh Kontrak, sudah ia rekam dalam cakram digital pada 2011. Klip video lagu berdurasi tiga setengah menit itu pun diunggah di YouTube pada 12 April lalu.
Sembari menyeruput kopi gula jawa yang disuguhkan istrinya, pada Kamis awal Desember lalu, Agus memutar ingatan pada kasusnya. Sembilan tahun lalu, Agus Condro Prayitno menerima sepuluh lembar cek pelawat. Pada saat menjadi anggota Komisi IX DPR, ia paham betul pemberian cek itu suap. Tapi ia menyatakan tak kuasa menolak. "Ketika menerima suap itu, saya sudah membayangkan mau ini dan itu," katanya.
Uang Rp 500 juta yang ia cairkan di Bank Internasional Indonesia itu langsung tandas dalam waktu singkat. Pada hari pertama, Agus membeli Mercedes-Benz tahun 1996 yang harganya sekitar Rp 170 juta. Sebulan berikutnya, ia membeli mobil Hyundai Trajet sekitar Rp 130 juta. Agus menggunakan Rp 87 juta untuk modal berkebun cabai dan bangkrut dalam beberapa bulan saja.
Agus mengaku nuraninya mulai terganggu. Dan dia menilai partai yang ia bela sejak 1987 ketika dikejar-kejar pemerintah Orde Baru itu telah melenceng dari semangat reformasi. Agus juga kecewa karena PDIP menampung sejumlah orang dengan alasan mereka punya uang. Di lain pihak, sejumlah temannya—sesama aktivis yang mati-matian membesarkan partai—menurut Agus, seolah-olah tersingkir.
Momentum itu akhirnya tiba. Agus diperiksa sebagai saksi dalam kasus aliran dana Bank Indonesia ke sejumlah anggota DPR dengan tersangka Hamka Yandhu. Kepada penyidik KPK, Agus membantah telah menerima uang Rp 250 juta. "Saya terima Rp 500 juta kok cuma dituduh Rp 250 juta," katanya ketika itu. Berawal dari kesaksian itu, Agus mulai berkicau ihwal kasus suap cek pelawat. Penyidik KPK pun menyumpah Agus di bawah Al-Quran. Padahal sumpah biasanya hanya terjadi ketika sudah masuk persidangan.
Karena kesaksian dibantah dan partai bereaksi keras, Agus marah. Sebab, ia menyaksikan sendiri rekan-rekannya menerima suap cek pelawat. Untuk membuktikan kebenaran omongannya, Agus merapat ke Indonesia Corruption Watch. Bersama ICW, dia mengumpulkan bukti untuk menguatkan kesaksiannya.
Keberanian Agus membongkar korupsi tumbuh seiring dengan besarnya dukungan masyarakat. "Saya pilih dihukum satu-dua tahun di dunia daripada kekal di neraka," dia menegaskan alasannya. Agus dituduh sengaja menjatuhkan citra partai yang membesarkannya menjelang pemilihan presiden 2009.
Lawan-lawan politiknya menuding ia berkoar ke media karena menyimpan dendam terhadap PDIP. Agus dituduh kecewa karena istrinya tidak didukung sebagai calon Bupati Batang. Tuduhan lain: dia dianggap sengaja merusak citra partai karena kesal tidak mendapat nomor urut spesial sebagai calon legislator untuk Pemilu 2009.
Apa jawaban Agus Condro? Menghirup kopi jawanya dengan nikmat, ia menyahut pertanyaan Tempo sembari tertawa, "Sudah dua kali saya jadi anggota DPR, malu kalau rebutan lagi."
Jerat buat Miranda dan Nunun
Nama Agus Condro Prayitno mencuat setelah dia mengakui menerima—dari Dudhie Makmun Murod—10 cek pelawat senilai Rp 500 juta pada Juni 2004. Waktu itu Dudhie menjabat Bendahara Umum Fraksi PDIP. Agus adalah anggota Fraksi PDIP di Komisi IX DPR periode 1999-2004. Suap diberikan agar komisi yang membidangi keuangan dan perbankan memenangkan Miranda Swaray Goeltom dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. "Saya dengar sendiri dari ketua fraksi duit itu dari Miranda," kata Agus Condro, awal Desember lalu.
Agus lantas menyampaikan pengakuannya ke penyidik KPK pada 2008. Saat itu, pria asal Batang, Jawa Tengah, ini bersaksi dalam kasus aliran dana Bank Indonesia dengan tersangka Hamka Yandhu, politikus Golkar. Agus dihukum bui 1 tahun 3 bulan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis, 16 Juni 2011. Selain menghukum Agus, pengadilan menghukum bekas anggota DPR, Willem Max Tutuarima, setahun enam bulan. Dua mantan anggota DPR lain, Max Moein dan Rusman Lumban Toruan, divonis hukuman penjara 1 tahun 8 bulan.
Mereka berempat terbukti melanggar Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagai penyelenggara negara, mereka terbukti menerima hadiah atau janji karena jabatannya sebagai anggota Komisi Keuangan dan Perbankan periode 1999-2004. Hadiah itu berupa cek pelawat Rp 500 juta. Agus Condro bebas pada 25 Oktober 2011.
Kasus ini juga mengirim Miranda Goeltom ke penjara. Pengadilan Tipikor memvonis Miranda hukuman tiga tahun kurungan dan mendenda Rp 100 juta pada 27 September 2012. Miranda terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama. Pengakuan Agus Condro juga menyeret Nunun Nurbaetie, istri mantan Wakil Kepala Polri Adang Daradjatun.
Sempat beberapa tahun diburu, Nunun ditangkap di Thailand pada Desember 2011. Dia kemudian diadili dan dihukum penjara 2 tahun 6 bulan. Bekas sosialita Jakarta ini terbukti memerintahkan Arie Malangjudo, bawahannya di PT Wahana Esa Sejati, membagikan cek pelawat kepada anggota DPR periode 1999-2004.
Cek itu, menurut Agus, adalah ucapan terima kasih karena Miranda Goeltom terpilih sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia dalam uji kepatutan dan kelayakan di gedung DPR Senayan pada 8 Juni 2004. Kasus yang sama pula menjerat politikus Golkar, Paskah Suzetta. Selain Miranda dan Nunun, setidaknya 28 anggota DPR periode 1999-2004 masuk bui—berkat nyanyian bekas anggota parlemen ini. Kata Agus, "Saya ingin reformasi kembali ke roh menolak KKN—korupsi, kolusi, dan nepotisme."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo