TUJUH belas hari setelah Amerika menjarah Grenada, saya pergi ke sana," kata V.S. Naipaul. "Yaitu setelah tiga atau empat hari lapangan terbang dibuka lagi untuk jalur penerbangan sipil. Pertempuran yang riil sudah usai agak lama sebelumnya." Revolusi sudah diinjak mati: dan orang Kuba di pulau itu, sekutu pemerintah lama, yang berjumlah sekitar 700 orang, sudah dipulangkan - termasuk 42 orang yang tewas. Tentara Revolusioner Rakyat (People's Revolutionary Army, PRA), satuan kekuatan revolusi Grenada yang berjumlah tak kurang dari 1.200 orang pilihan, sudah tercerai-berai. Pasukan utama mereka sudah takluk, sementara sisa-sisanya dilacak terus oleh tentara Amerika. Demikian Naipaul yang menulis di majalah Sunday Times. Berikut ini sebagian dari penuturannya lebih lanjut, langsung dari aslinya: Amerika juga sudah mengubah Psy-Ops, badan perang urat saraf, cabang dari Pusat Perang Khusus yang sendirinya merupakan seksi dari Komando Operasi Khusus, menjadi hanya - seperti dikatakan seorang kolonelnya - bertugas "menangani masalah sipil." Yang mereka kerjakan kini: menyiapkan poster. Lapangan terbang bergemuruh dipenuhi helikopter-helikopter berwarna hitam yang menyeramkan. Dengan pakaian perang komplet, tentara Amerika bertebaran di sekitarnya. Ditambah truk dan jip yang dicat khusus untuk kamuflase, beberapa di antaranya bersenapan mesin. Kemudian tenda dan jaring-jaring penyamaran. Prosedur keimigrasian di lapangan terbang sekarang begini: setelah pemeriksaan oleh petugas imigrasi Grenada sendiri, ada pula penyaringan oleh tentara Amerika. Yang belakangan itu sudah menyiapkan daftar nama, siapa tahu orang yang tercantum di daftar itu tiba-tiba muncul. Beberapa depa dari bandar udara adegannya lain lagi. Di tepian jalan yang basah lantaran hujan, pasukan para AS mengacungkan senapan sembari menggiring lima atau enam orang yang dilucuti sampai tinggal celana dalam. Di antara yang digiring ada laki-laki dengan gaya Rastafaria. Mereka itu dituduh sebagai anggota PRA. Hampir bisa dipastikan, penangkapan itu pun berdasarkan informasi warga Grenada sendiri yang hampir semuanya membenci revolusi dan tentara revolusioner. Para pesakitan itu - resminya mereka hanya "diamankan" - digiring menuju bandar udara. Dari sini sebuah helikopter akan mengangkut mereka ke sebuah perbukitan yang berhutan lebat di pulau itu - kamp utama orang-orang Amerika, di pesisir barat daya. Pusat penahanan memang dibangun di kawasan itu, untuk interogasi dan penyaringan. Para wartawan Amerika yang memburu berita sempat menemukan tempat itu, yang dalam konperensi pers disebut "sarana ini". Jalanan yang melintasi perbukitan sangat sempit dan berkelok-kelok banyak tikungan membahayakan. Tak kurang dari dua buah truk Kuba yang diambil alih tentara Amerika terperosok. Pohon-pohon pakis, palem, pisang liar, tumbuh bertebaran di jurang-jurangnya. Sejenis kembang natal dan bebungaan lokal, di antaranya kembang sepatu, sedang mekar-mekarnya. Anggur merah sudah ada yang mulai merambati pagar. Rumah-rumah di situ kecil-kecil, dengan atap seng gelombang. Ada yang bertembok, ada yang semipermanen. Rumah-rumah yang lebih tua biasanya rumah papan, beberapa dibangun dengan gaya Prancis-Karibia, berjendela jeruji. Yang tumbuh di halaman rumah-rumah itu, dan tampak seperti semak belaka adalah ini: kakao, anggur, apokat, mangga, kastanya, pisang, pala. Di antara rumah-rumah yang berpencaran di sisi jalan, serta di dalam jip dan truk yang menyusuri lebuh berdebu, adalah tentara Amerika. Mereka tampak santai, meskipun tetap waspada. Di persimpangan ada rintangan. Lennox, sopir taksi itu, bilang, "Kok aneh juga ya. Katanya hari ini mereka menghentikan penggeledahan." Dengan kalem ia menghentikan mobilnya sudah biasa rupanya menghadapi situasi. Serdadu Amerika itu tidak menyuruh kami turun. Hanya setengah membungkuk meletakkan kepalan tangan kirinya ke mobil. Sebuah teater. Dan anak-anak kampung yang berkerumun di sekitar situ pada menonton. Ada tiga tentara di situ satu keturunan Cina, satu hitam, satunya lagi Hispanik. Pertanyaan-pertanyaan dilontarkan, bagasi digeledah. Mobil juga diperiksa. Sebuah radio transistor di pinggir jalan memekikkan musik dengan keras. Salah seorang serdadu lantas minta supaya suaranya dikecilkan . Waktu pulangnya, saya baru menyadari pengalaman ganjil itu. Rupanya radio tadi disetel atas kemauan si serdadu Hispanik. Segera terdengar pidato dalam bahasa Spanyol, dari radio, bahasa yang mewarnai logat si Hispanik ketika melontarkan pertanyaan yang tak saling berhubungan dan sepele. Itulah Psy-Ops, Special Warfare. Prosedur pemeriksaan semacam itu terus dilancarkan. Amerika terus mencari orang-orang Kuba. Perjalanan sekarang menuju pantai barat. Jalan menukik, menyusuri hutan pakis yang basah. Emblem revolusi (yang sudah belah itu) bergambar sebuah cakram merah di latar putih, menempel di tembok-tembok dan pagar. Dekat Ibu Kota St.George plakat-plakat revolusi lebih banyak lagi. Sebagian slogan itu mengenai "produksi". Di kawasan pertanian, slogan seperti itu lebih merupakan susunan kata-kata raksasa yang aneh. Di Grenada - luas 344 km2 (bandingkan: Jakarta 578 km2 Singapura 573 km2) dan berpenduduk hanya 110.000 orang - revolusi telah menjadi beban yang merugikan. Terlalu teatral, dan lepas dari skala - sesuatu yang juga bisa diucapkan untuk kedatangan tentara Arnerika di situ. * * * Sewaktu Gerakan Permata Baru (New Jewel Movement) mengambil alih kekuasaan pada 1979, sebagian besar warga Grenada bersukacita. Negeri pulau ini sudah terlalu lama dikuasai Eric Gairy - laki-laki dari kalangan sederhana tapi kemudian berhasil mengadakan pemogokan besar pada 1951. Bertolak dari gebrakan itu, sebagai penebusan kaum hitam yang miskin, Gairy segera naik panggung dan memperoleh kekuatan politik - dan mempertahankannya. Di atas kekuasaannya ia berubah menjadi kenes. Ia memiliki duit, penampilannya elegan, gemar memakai setelan putih bahkan konon wanita-wanita kulit putih jatuh hati kepadanya. Warga Grenada yang diam di rumah-rumah mungil di pedusunan bisa mengerti keadaan itu. Mereka beranggapan kemenangan Gairy adalah kemenangan orang hitam, yang berarti keberhasilan mereka juga. Dan mereka menyukai Gairy - memilihnya berkali-kali. Adalah Gairy yang membawa Grenada ke kemerdekaan. Tapi, bertahun-tahun di pucuk, ia - seperti model para pemimpin rakyat di pulau-pulau Karibia berkembang menjadi kikuk dan eksentrik. Di kalangan internasional ia mengoceh tentang piring terbang. Di kandangnya sendiri ia punya gang untuk menghadapi para lawan. Figurnya sebagai tokoh Karibia masa pascakolonial makin tidak menyenangkan. Ia bukan lagi pujaan bagi anak-anak kalangan rakyat yang dulu pernah ia beri harapan. Kemudian Gerakan Permata Baru, didirikan pada 1972, menampilkan generasi pertama Grenada yang terdidik. Pemimpinnya seorang laki-laki muda bertampang keren, yang menyelesaikan pendidikannya di Inggris. Penggulingan Gairy oleh mereka, gerakan yang dipimpin golongan muda terdidik itu, tersohor. Dan peluang itu mereka manfaatkan untuk menawarkan - tanpa pemilihan suara - suatu revolusi, kepada Grenada. Revolusi yang benar-benar sosialis. Lalu Kuba pun menjadi kawan, dan imperialisme menjadi musuh. Para penulis slogan partai menyebutkan revolusi hanya dengan istilah "revo" atau "de revo": " Is only now I seeing how dis Revo good for de poor an ah dam sorry it didn't come before." Pidato-pidato umum, pengejaan fonetik, oleh partai dijadikan suatu hal yang lebih rumit dalam doktrin dan pelaksanaan. Untuk menjadikan rapat umum dan pawai solidaritas tampak lebih merakyat. Dan untuk membuat perangkat pemerintahan sosialis dan patronnya yang impor - seperti komite organisasi partai, biro politik komite sentral, berbagai organisasi massa, tentara, dan milisi - menjadi semarak dan berwatak Grenada dan bersemangat hitam: pokoknya de revo. Sekian istilah, dari bahasa kasar jalanan orang-orang Yamaika, telah dijadikan bagian dari revolusi - untuk perbendaharaan dalam humor serius. Ber"tata krama", takzim kepada revolusi dan para pemimpinnya, adalah tuntunan kepada semua warga. Karena itu harap maklum kalau tidak ada pemilihan umum, tidak ada koran oposisi. Ber-"tata krama" telah menjadi kata kerja revolusioner. Men"tatakrama"-kan seorang penentang berarti memberinya sebuah pelajaran: mempermalukannya, mencopotnya dari pekerjaan, memenjarakannya tanpa peradilan. Dalam sekali gebrak pernah sekali waktu ratusan orang diseret masuk bui. Kuba memberikan persenjataan untuk tentara. Kuba pulalah - sebagai tanda bahaya untuk Amerika Serikat dan negeri-negeri Karibia - yang mulai membangun bandar udara sepanjang dua mil di Point Salines, Grenada. Untuk membantu mengurusi pekerjaan revolusi itu, paling tidak 200 pekerja "internasionalis", jelasnya sosialis, didatangkan pula ke Grenada. Separuh berasal dari Eropa dan Amerika, yang lain dari kawasan Hindia Barat. Asing bagi Grenada, tamu-tamu darurat yang diundang dalam pesta revolusi ini harap-harap cemas dalam proses perubahan negeri orang itu menjadi sosialis, setuntas dan semurni mungkin. Oleh karena itu obsesi dalam revolusi Grenada adalah wadah-wadah, organisasi, struktur-struktur, komite-komite. Di negeri ini bahkan ada Federasi Penulis. Hampir pada akhir revolusi, seorang pengunjung Hindia Barat menemukan kejanggalan. "Di Grenada," kata orang itu, "kok tak ada Gedung Pusat Kebudayaan." Di negeri-negeri sosialis biasanya ada. Maka, dinegeri sebesar poci itu mulailah orang tadi, dan kelompoknya, membangun gedung yang dimaksud. Bersamaan dengan penyempurnaan proses perubahannya, luapan girang pun tumbuh di antara para pengikut di berbagai negeri. Revolusi itu sendiri memang disiarkan pers secara luas. Grenada yang mungil, pertaniannya, keterbelakangannya, kehitamannya, bahkan tidak hanya telah berevolusi. Di situ telah pula terjadi kejutan: bentuk-bentuk sosialis yang cermat telah tegak. Ini sepertinya suatu bukti kewajaran dan kebenaran perjuangan. Kemudian revolusi berlangsung dengan cemplang. Kesuksesannya dalam dunia sosialis terlalu besar, terlalu mendadak. Terjadi pertikaian di puncak, di komite sentral, sehubungan dengan pembagian kekuasaan. Ada semacam perasaan bahwa pemimpin mereka terlalu menengok pada negeri asing pujaannya. Gemar pula bepergian ke sana dan di kandangnya sendiri revolusi mulai menyimpang. Komandan di atas plin-plan. Ia setuju bahwa, dalam beberapa hal, ia sedang menjadi petit bourgeois, tapi ia benar-benar menolak melangkah turun. Maka, akhirnya, "tata krama" yang telah diterapkan kepada ratusan orang itu perlu dikenakan kepada sang pemimpin sendiri. Ia disekap dalam tahanan rumah oleh sementara koleganya di komite sentral. Rakyat toh tidak menyukai hal itu. Seminggu kemudian serombongan orang mendatangi rumah tempat penahanan: sang pemimpin dilepaskan. Terjadi kekacauan - perang sipil sudah mulai mendekat. Sang pemimpin dengan para pendukungnya berarak menuju markas tentara di Fort George (ketika itu bernama Fort Rupert, mengutip nama ayah sang pemimpin) dan mengadakan pembicaraan dengan para serdadu. Dewan Militer Revolusi, penguasa Grenada sejak krisis mulai, mengirim pasukan bersenjata dalam iring-iringan mobil. Dan terjadilah penembakan itu: kerumunan massa yang tak bersenjata terbantai entah hanya 17 orang entah sampai 100. Sang pemimpin, Maurice Bishop, dan lima bekas menterinya dieksekusi. Keadaan siaga diberlakukan 24 jam penuh. Hampir seminggu rakyat Grenada hidup di bawah teror Tentara Revolusioner Rakyat. Lantas serdadu Amerika datang menyerbu - dan "tata krama" diperberat. Orang Amerika itu tak menemukan revolusi apa pun. Semuanya sudah lenyap dalam satu minggu yang penuh teror. Para serdadu Amerika, yang bertugas sesuai dengan patokan mereka sendiri, menyerbu Grenada berdasarkan rencana yang sudah disiapkan paling tidak dua tahun sebelumnya. Dan mereka disambut sebagai pembebas. Pulau yang dijarah ini lalu menjadi penuh intel. Sarana penahanan di Point Salines dengan cepat terisi. * * * Koloni-koloni gula di Hindia Barat rata-rata lebih kaya dari koloni Amerika pada abad ke-18. Kapal-kapal yang dulu mengangkut gula ke Eropa sering pula membawa batu bata dan genting sebagai pemberat. Barang ini kini bisa kelihatan di suatu sudut kuno di St.George: bangunan bergaya abad ke-18 yang memenuhi sebuah kota kecil di lereng bukit berbentuk tapal kuda, melingkupi bagian dalam pelabuhan. Pelataran pelabuhan adalah jalan utama kota mini itu. Kelihatan: satuan pemadam kebakaran, pabrik rokok, kantor maskapai penerbangan, restoran, dan kantor pos utama. Di puncak bukit berdiri berbagai gedung kantor pemerintahan, yang juga telah terjamah dalam drama yang barusan. Di tanjung sebelah barat daya terdapat benteng beratap hijau, tempat sang pemimpin dan pendukungnya ditembaki. Di seberang teluk adalah rumah beratap merah, tempat sang pemimpin disekap. Tak jauh dari sini, berdiri penjara sipil. Sejumlah anggota Dewan Militer Revolusioner dan Komite Sentral kini ditahan di sini. Di ujung utara bukit itu, dipucuk tapal kuda, bertengger sebuah bangunan besar. Itu kediaman gubernur jenderal. Berandanya lebar, pintu resepsi sangat tinggi, langit-langitnya berukir. Ada pula cermin yang berkilat dan perkakas karya para perajin. Di situ, beberapa hari yang lalu, Gubernur Jenderal - pria berkulit hitam, bekas kepala sekolah, penjelmaan sisa-sisa otoritas kenegaraan di Grenada menyaksikan penyumpahan anggota dewan penasihatnya. Orang-orang itu bersumpah setia kepada Ratu Elizabeth II dan mencium Bibel. Penguasa resmi Grenada tetap mengambil bentuk-bentuknya dari Kerajaan Inggris. Tapi orang paling penting di antara para saksi hari itu - yang terpisah dari para koresponden dan tim wartawan televisi - adalah Jenderal Farris. Ramping, berseragam, dialah komandan 82nd Airborne. Masih satu lagi: laki-laki berseragam biru yang secara de facto menjadi duta besar Amerika tangan sipil berkuasa de facto Jenderal Farris. Kenangan tentang Inggris juga bisa dilihat di sebuah museum kecil di pusat kota. Dalam sebuah kotak kaca, tersimpan hadiah kenang-kenangan hari kemerdekaan Grenada sembilan tahun lalu, dari Inggris: seperangkat peralatan minum kopi dari perak dan 24 cangkir kopi model Cina yang terbuat dari tulang. Gerakan Permata Baru dulu menentang kemerdekaan semacam itu. Mereka mengkhawatirkan polah Gairy dalam alam Grenada yang merdeka. Tapi sewaktu melancarkan protes, pemimpin gerakan dan beberapa yang lain dihantam orang-orang Gairy. Dan di kotak kaca yang lain, di museum yang sama, kenangan peristiwa itu bisa pula ditengok: baju olah raga pemimpin gerakan, dengan bercak darah yang mengering dan sebongkah batu yang memecah kepala orang itu. Keganasan memang telah datang ke Grenada yang merdeka. Sepuluh tahun kemudian, sang pemimpin gerakan dieksekusi tentara yang dibikinnya sendiri. Hanya, kali ini tidak ada suvenir. Jasad mendiang sang pemimpin, Maurice Bischop, belum ditemukan. Kawasan Karibia bagian timur sedang berada di musim hujan. Waktu fajar, awan naik secepat asap di sisi timur bukit St.George. Langit menjadi gelap dan hujan segera turun - menyuburkan tanaman di sela puing-puing di antara bangunan abad ke-18. Dan langit benderang lagi. Pada akhir siang, cahaya keemasan, terperangkap oleh bukit yang melengkung dan memantulkan teluk, membuat semua bangunan berwarna mawar dan menentang kebun sayur-sayuran yang gelap dan kebiruan langit sebelah timur. Seharian helikopter berseliweran. Biasanya mereka akan merendah, beberapa menit, di atas penjara sipil. "Itulah tentara," kata seorang koresponden Amerika. "Belum pernah ikut mereka? Mereka ingin kegiatan". * * * Brifing utama di pagi hari itu diselenggarakan disebuah bangunan mungil bergaya kuno di St.George. Gedung yang terletak di bukit di atas pelabuhan ini dulunya telah disesuaikan dengan kebutuhan orang-orang Grenada untuk Universitas Hindia Barat, kemudian dirombak lagi menjadi pusat pers. Di papan warna hijau dalam ruangan ini tertulis, dengan kapur, daftar korban. KIA, WIA, terbunuh dalam operasi, terluka dalam tugas: AS 18 dan 113 Kuba 42 dan 57 Grenada 21 dan 280. Dalam konperensi pers itu pertanyaan paling banyak tentang penahanan dan jumlah korban. Ada kekisruhan pada jumlah yang tewas: pengecekan dilokasi kamar mayat menunjukkan angka yang lebih tinggi. Banyak koresponden yang kesetanan karenanya. Sementara itu, juru bicara tentara, satu berkulit putih dan satu lagi hitam, tetap bersikap dingin. Kekisruhan informasi militer yang simpang siur ini merupakan bagian dari kekisruhan berkepanjangan antara tentara Amerika dan wartawan Amerika, yang masing-masing mempertahankan kebanggaan profesi. Fakta tak masuk akal tentang kematian itu seperti kisah yang lain saja, sedang Grenada sendiri hanya sebuah latar belakang. * * * Para tawanan utama disekap di penjara sipil St. George. Yang kurang penting - biasanya hanya karena dicurigai sebagai anggota PRA - diamankan di Point Salines, persisnya beberapa mil ke arah barat daya, melintasi teluk dan tanah belukar. Itu tempat yang tadinya lapangan terbang besar yang dibikin Kuba itu. Sekarang sudah menjadi pusat kamp utama Amerika, permukiman militer yang komplet - tenda-tenda rumah sakit ber-AC dan menurut desain baru - didirikan oleh Satuan Gerak Cepat dengan bantuan komputernya, dan bisa dibongkar dalam 18 jam. Di atas, sebagaimana biasa, helikopter simpang siur. Siang itu sejumlah tawanan dilepaskan. Seperti sengaja dipertontonkan kepada kami, rombongan wartawan. Hujan, sementara itu, tetap saja tercurah. Di halaman, seorang anggota polisi militer (tampaknya wanita - sebuah kemenangan jenis lain dari Amerika) menyiapkan senapan mesin, mengarahkannya ke tempat para tawanan akan dikumpulkan. Sebuah mobil sipil tua mendadak muncul. Anggota pasukan penjaga menurunkan senapan. Mobil berhenti perlahan dan sebuah rombongan keluarga kulit hitam berloncatan turun: seorang laki-laki berwajah tanpa dosa, dua orang gadis - satu gemuk, satu lebih kurusan. Si gadis kurus yang berdandan menor itu mengoceh, seperti mengadu: "Mereka membatasi kami. Memagari jalan-jalan. Pantai pun diberi pagar kawat. Semuanya sudah ditutup pagar!" Kakak gadis itu termasuk yang ditawan. Sekali pernah si gadis mendapat izin menengok, dan kali ini ia tak tahu bahwa siang hari ini juga kakaknya dilepas. Dan, begitu ia melihat kakaknya termasuk dalam deretan yang berbaris di luar pondok, ia melupakan para wartawan yang sudah siap-siap mewawancarai. Sejenak para wartawan dibolehkan mendekati para tawanan yang baru bebas itu. Dari kejauhan tampaknya biasa saja tapi setelah dekat, baru ketahuan bagaimana ekspresi wajah mereka sebenarnya. Wajah-wajah para anggota tentara revolusioner itu bukan wajah kasar orang jalanan. Tapi tampang orang-orang lugu, dari Grenada yang kecil, yang sudah tahu apa itu kekuasaan. Gairy dulu memerintah dengan bantuan the Mongoose Gang dan the Green Beast grup-grup gali. Gerakan Permata Baru, penggantinya, berkuasa dengan dukungan tentaranya sendiri. Variasi ras, aksen, tingkah laku, dan tingkat pendidikan di Grenada yang tak seberapa itu sungguh membingungkan. Barangkali juga pembunuhan dan aktivitas politik kelompok-kelompok rahasia di Grenada merupakan bagian dari akibat pulaunya yang sempit - dengan hutan, perbukitan, dan pedusunan yang saling berhimpit, tempat orang tidak mudah tumbuh berkembang dan masa lalu menjadi dekat. Gerakan Permata Baru (Jewel, singkatan dari Joint Effort for Welfare, Education, and Liberation) mungkin juga nama yang sengaja dipilih sebagai "magi tandingan" untuk melawan Green Beast. Kedua gerakan di dunia kisah Hansel and Gretel versi hitam itu memberikan dua sikap yang berbeda: Gairy mementingkan rakyat yang primitif, sementara Jewel menengok pada kelompok yang agak berpendidikan upaya pengambilalihan yang rasialistis. * * * George Louison, anggota pendiri Permata Baru, menteri dalam Pemerintahan Revolusioner Rakyat yang menggantikan Gairy itu, juga anggota Komite Sentral sampai saat semuanya remuk. Di Komite Sentral ia sering mendapat kritik sebagai petit bourgeois. Akhirnya, ia malah sempat ditawan Dewan Militer Revolusioner karena telah mencoba menghasut rakyat membuat keributan. Penyerbuan terjadi. Dan ia disekap serdadu Amerika, sehari, di Point Salines. Louison berusia 32 tahun. Laki-laki udik yang benar-benar legam, dengan perawakan yang tidak besar. Ia anak seorang pemborong bangunan dan pernah bekerja sebagai guru. Menetap di pantai barat, di satu desa dekat sebuah bentangan tanah yang tampaknya tak ditanami. Rumahnya di jalan berbatu karang, lebih utama di pantai yang menanjak ke bibir lembah, di sisi sungai yang gemuruh. Lembah di sini gelap. tersembunyi dari sinar matahari sore. Rumah tembok kediaman Louison, meski lokasinya tampak menunjukkan ambisinya, sederhana saja. Tangga ke lantai atas ada di sebelah luar. * * * Malam turun dengan serentak. Listrik mati. Kami ngobrol di ruang depan lantai bawah, hanya diterangi lilin. Louison bukanlah pria yang bergaya. Ia tak beranjak dari latar belakangnya yang ugahari dan membumi. Nama Louison dikenal di kawasan itu: paman ayahnya memasuki sekolah menengah pada 1900, salah seorang orang hitam Grenada pertama yang mendapatkan pendidikan memadai. Ayah Louison sendiri lahir pada 1918. Memulai hidup sebagai tukang kayu dan tukang batu di desanya, lantas mengambil kursus tertulis dan menjadi seorang ahli bangunan yang terlatih. Dengan bekal semangat memperbaiki nasib sendiri, si ayah tertarik kepada masalah-masalah kaum Negro pada masa itu. Ia menyukai pandangan Marcus Garvey yang menganjurkan menengok ke Afrika. Di rumah Louison terpacak gambar Marcus Garvey. Setelah Garvey, muncul politikus Grenada bernama Marryshow - yang menelurkan ide Federasi Hindia Barat. "Marryshow mengakhiri kemiskinan," tutur Louison. Kemudian muncul pula Grantly Adams, tokoh Partai Buruh Barbados. "Lantas ayah saya membuka toko kecil di sini, ditempat rumah ini dibangun. Tempat ini dipakai untuk acara diskusi. Akhir 1950-an dia mulai mencoba melaksanakan pendidikan bagi golongan dewasa di desa." Nah, waktu itulah Gairy tampil ke depan. Pada mulanya ayah Louison mendukung Gairy. Hubungan putus pada 1960. "Basis utama Gairy adalah buruh tani. Dia tak pernah melakukan apa pun untuk menaikkan taraf hidup. Gairy tak pernah memahami proses perkembangan masyarakat," tutur Louison. Laki-laki ini tidak menyatakan dengan tegas apakah ayahnya berpendapat serupa itu. Yang pasti, "pada 1969-1970 saya sampai pada kesimpulan itu." Waktu itu, pada usianya yang ke-18, ia mulai menekuni politik - atau "politik yang lebih berperi kemanusiaan." Kemudian gerakan Black Power pada 1970 melibatkan dirinya dan kawan-kawannya segenerasi. Ia pun tidak meninggalkan daerah untuk melanjutkan sekolah, malahan tetap menjadi guru. Dan tidak menikah. "Sampai hari ini saya belum menikah. Banyak orang dalam Gerakan Permata Baru seperti saya. Bagi kami ini hampir merupakan misi, di awal 1 970-an." Black Power lebih dari sekadar nama. Ada kejadian kecil yang dramatis pada awal 1973. "Kami bermaksud mengirimkan orang ke Kongres Pan-Afrika keenam. Sebulan sebelum kongres berlangsung, kami dengar Gairy berangkat," tutur Louison. Dan di sana Gairy ternyata menunjuk dirinya sebagai orang hitam yang telah menciptakan Black Power di Grenada. "Bagi kami Black Power bukan sekadar menyangkut warna kulit. Masalahnya adalah politik dan gagasan-gagasan yang meliputinya." Pada 1973 dan 1974, tak lama sebelum dan sesudah kemerdekaan, terjadi perkelahian yang menyedihkan dengan orang-orang Gairy. Pemimpin gerakan pada peristiwa 1973 terluka parah (di musim tadi tersimpan pakaiannya yang berbekas darah) dan pada awal 1974 ayahnya tewas, terbunuh. Selama berabad-abad, di desa itu senantiasa ada sosok macam Louison, yang berikhtiar mati-matian dengan berbagai cara untuk menyelamatkan kaum hitam. Orang-orang sederhana menjadikan gagasan penyelamatan itu ide yang sederhana pula. Dan ide sederhana melahirkan sosok-sosok macam Gairy, yang justru membiarkan kaum hitam tetap miskin dan terkebelakang agar ia tampak sebagai penyelamat. Namun, sosialisme - seperti keyakinan lain punya sisi puritan dan sisi fanatik. "Seperti kata seseorang, revolusi meletus di ujung hidung kami. Revolusi terpaksa kami hancurkan juga." "Arah yang mereka tempuh adalah idealisme dan kesukarelaan. Tanpa dasar teoretis, juga tidak mengakar di bawah." "Sukarela, mengerjakan tanpa paksaan?" "Sukarela, maksud saya, bisa dilihat pula sebagai mengandung kepentingan diri sendiri." Sosialisme pula yang mengajari Louison, hingga ia jadi sangat fasih bicara. Bencana belum lama berlalu, tapi Louison tak kehabisan kata untuk menjelaskan semuanya - semua hal. Padahal rumahnya baru saja disita, dan rakyat menentang revolusi. "Saya sedang terlibat pada sebuah pemikiran yang dalam, tentang pemikiran kembali." Tapi politik yang diucapkannya cuma politik yang dicekokkan padanya pada kesempatan penataran. Ia tak lagi dapat kembali ke "politik manusia" rasialisme di Grenada tanpa sosialisme, misalnya. Ia tak dapat melupakan "pandangan internasional" yang baru saja didapatnya - yang turun bagai berkah yang tak ternilai. Ia tak lagi mampu mengecilkan diri. * * * Revolusi Besar, Negara Kecil. Begitu judul sebuah film yang dibuat Kuba tentang revolusi Grenada. Namun, selama empat setengah tahun berkuasa, Pemerintahan Rakyat Revolusioner Grenada tak sampai berbuat banyak. Mereka membangun lapangan udara di Point Salines dengan bantuan Kuba. Mereka juga membangun angkatan perang dan menyelenggarakan latihan militer bagi warga negara sipil. Memerangi kaum kontrarevolusi. Mengembangkan berbagai proyek di bawah lindungan berbagai macam organisasi yang sama sekali tak produktif. Mempekerjakan sekitar 200 pekerja asing, yang datang dengan semangat sosialisme internasional. Tak lupa menulisi tembok dengan huruf-huruf besar. Ke sanalah semua dana bantuan dihabiskan: birokrasi partai, keamanan, pertunjukan, demonstrasi kekuatan. Sementara itu kehidupan di pulau itu mengalami perubahan. Orang hidup dalam berbagai macam ketakutan - termasuk anggota masyarakat yang "terlempar" ke atas, duduk di Komite Sentral. Dekat dengan invasi pasukan AS, pada pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan tampak benar para pemimpin bingung dan merasa tidak pasti. Sedikit yang telah dilakukan di bidang pertanian, di negara yang mengutamakan produksi pertanian bagi kelangsungan hidupnya - walau terdapat sejumlah slogan yang menyebutkan "tingkatkan produksi!" Kendati pada masa rezim Gairy ada beberapa daerah yang sudah disurvei dan dinilai baik bagi pertanian, hasil tak juga muncul. Belakangan proyek survei itu malah ditinggalkan sama sekali. Proyek pertanian di daerah berubah wajah. Keunggulan seorang petani dalam menghasilkan produksi tak lagi diukur sebagai contoh peningkatan produksi, tapi lebih banyak dibayangi masalah kelas. Maka, secara tak langsung, si petani yang produktif - yang mungkin bekerja dengan efisien - bisa jadi bukan contoh yang baik bagi sebuah model "pertanian bersama". Masih dalam urusan pertanian, sosialisme juga membunuh niat kaum muda untuk terjun ke dunia pertanian - kendati mereka bisa sangat bersemangat menanam ganja. Begitulah, Grenada menemukan sejumlah kata-kata gagah bagi berbagai kebiasaan lama yang memang sudah penyakitan. Pada sejumlah pekerja bisa ditemukan semacam teka-teki ekonomi. Mereka menginginkan keuntungan tanpa menentukan konsep mendapatkannya. Memutuskan sama sekali garis yang menghubungkan kerja dan keuntungan alias uang. Pada sejumlah diskusi dan pertemuan yang diselenggarakan Komite Sentral, kejanggalan ekonomi itu tampak juga. Dan pembicaraan serta diskusi berputar-putar di situ juga. Sekadar permainan kata-kata, berakhir pada kata-kata. Perhatian pada problem sosial boleh dikata hilang. Di Komite Sentral, masalah ini merupakan topik diskusi yang paling sering dibicarakan, tapi hampir tak ada yang digariskan menjadi sebuah program. Entah apa ada hubungannya, kesejahteraan masyarakat bahkan tak bisa ditemukan di tembok-tembok, baik sebagai komentar maupun slogan. Mengapa tak sampai dituliskan? Suatu kali seorang petugas Komite Sentral berdalih: kehabisan cat. Cuma bicara tentunya melelahkan - entah sulit dimengerti entah membosankan. Pada sejumlah pertemuan yang tampak kurang dipersiapkan, pembicaraan pun berputar, dan sejumlah anggota Komite Sentral tertidur saking letihnya. Hanya pada acara "otokritik" - sebuah tradisi sosialis - para anggota terjaga, sejaga-jaganya. Kelihatannya acara ini disukai - atau ditakuti. Dalam acara seperti itu, saling tuding sebagai "borjuis kecil" adalah bagian yang paling sering terdengar. Tak jarang, saling tuduh ini berkembang menjadi ketegangan yang berakar pada rasialisme, paham yang sudah disepakati untuk dibuang. Barangkali inilah yang dinamakan kejanggalan, yang senantiasa timbul ketika sebuah bangsa sederhana macam Grenada mau mencapai cita-cita tinggi sosialisme. Sekadar ingin kelihatan sosialistis, sementara kaum sosialis. Di Grenada, kejanggalan itu tampak benar pada sikap penguasa menghadapi kaum Rastafani alias Rasta . Kaum ini memang aneh. Pada masa Gairy mereka malah membela revolusi. Sangat anti-Gairy, dan menentang semua sistem kapitalistis. Tapi ketika revolusi dicetuskan, kaum Rasta tetap saja lebih suka menentang. Membangkang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah, berkeliaran separuh telanjang atau dengan pakaian kotor. Dan yang paling celaka, tak mau membuang kebiasaan mengisap ganja. Mereka menganggap mencuri sah bila dilakukan orang yang terdesak. Tingkah laku kaum Rasta ini sudah tentu "bikin malu" revolusi. Dan penguasa pun mencari jalan untuk menghukum. Meskipun demikian ada masalah pelik: tindakan keras terhadap mereka bisa mendapat cap mempraktekkan rasialisme. Jalan keluar ditemukan: ada kaum kontrarevolusi di kalangan Rastafani yang juga sah disebutkan "kontra Rasta". Maka penguasa pun mempunyai kekuatan hukum dan ideologi. untuk menangkapi kaum Rasta. Ada pula sejumlah program untuk menempatkan kaum Rasta di kamp-kamp tahanan, dan "mencuci" mereka dengan terapi yang kaku dan keras. Beberapa program lain malah disusun lebih kejam - dan sangat tak sosialistis. Kaum Rasta dikirim ke kamp-kamp daerah untuk menjalani kerja paksa. Kamp-kamp yang hampir tak bisa dibedakan dari kamp konsentrasi itu dijaga militer yang tak bisa dibedakan dari tentara bayaran. Pasukan ini memang mendapat bayaran tinggi. Bukan cuma untuk menekan kaum Rasta. Militer dibentuk sebagai kekuatan sentral di Grenada. Dan dengan dalih kemurnian revolusi, kekuatan ini mengacak-acak hampir semua sisi organisasi pemerintahan menghajar massa menangkapi pemimpin dari sektor mana pun bahkan menahan menteri yang dianggap tidak becus. Kuba ambil bagian dalam "permainan kekuatan di dalam" ini. Berdasarkan sebuah surat rahasia, terungkap betapa negeri itu mencoba membangun pengaruh dengan jalan mendekati pribadi-pribadi - menyokong tokoh-tokoh yang bisa di pengaruhi, tanpa sesungguhnya meneliti apaka tokoh itu sosialis dan ingin memperjuangkan ideologi. Sikap ini terbuka - dan Barisan Tentara Revolusioner sadar - ketika Fidel Castro menolak membantu menghadapi invasi Amerika Serikat. Petugas Amerika Serikat yang bertugas menangani masalah sipil di Grenada pun menemukan "sisa-sisa Kuba". Tingkat kesejahteraan rakyat buruk. Bantuan makanan tak sesungguhnya berarti. Dan tak ada bantuan obat-obatan untuk meningkatkan kesehatan rakyat. Rombongan "penyelamat dari AS" ini suatu ketika sampai pada sebuah desa yang diberi nama janggal - Munich, dan berhenti pada sebuah warung serba ada. Papan nama diatas warung itu memaklumkan pemiliknya: Calliste. Seorang wanita setengah baya, berkulit cokelat, berkaca mata dan agak tinggi, berdiri dengan tenang menjagai warungnya yang menyebarkan bau ikan, garam, dan oli. Ia Ny. Calliste, pemiliknya. Seorang lelaki berkulit cokelat datang dan berujar, "Bila Anda tak macam-macam, polisi tak akan datang. Tapi bila Anda berbuat yang tidak-tidak, polisi akan datang membantu Anda untuk tertib." Lalu buru-buru lelaki itu pergi dengan bis mininya - agaknya khawatir bicara terlalu banyak dan jadi salah ucap. Seorang-lelaki kecil, berbaju kumuh dengan dada terbuka, menyeberangi jalan. Logat dan tingkah lakunya menunjukkan ia dari kaum Rasta. Ia bicara tentang ganja dan melirik pada saya, mengira saya anggota rombongan Amerika. Ia segera menawarkan jasa sebagai kuli. Ny. Calliste beranjak ke bagian belakang warungnya ketika mendung berubah menjadi gerimis. Ketika hujan mengeras, bagian depan warung yang kotor tercuci sedikit. Seorang wanita, bertelanjang kaki, tiba-tiba muncul dari tirai air. Wajah berkilat karena hujan, tubuh basah kuyup sedikit menutupi kedekilan, tapi rambutnya yang acak-acakan tetap saja kelihatan kotor. Ia menanyakan sesuatu pada penjaga toko - tampaknya, adakah tersedia pakaian . Seorang lelaki tua nimbrung, "Bicaralah cara Yankee. Kau mesti bilang cloth." "Ya", ujar gadis itu. "Kita harus bicara cara Yankee." Penjaga yang masuk menemui majikannya kembali lagi, dan mengatakan kain yang dicari tak ada. Padahal di rak toko kelihatan jelas tumpukan kain yang dijual. Hanya memang dari kualitas halus, yang pasti tak terbeli gadis kumuh ini. Penjaga belagak pilon ketika si pembeli protes, "Bukankah ini toko kain ?" Toh si gadis tak ngotot. "Baik," katanya. "Beri saja kain bekas karung terigu." Tapi ia masih ingin tawar-menawar barang belanjaan, rupanya. "Coba aku boleh lihat biskuit dalam kaleng itu," katanya lagi menunjuk ke rak kaca. "Aku tak beli, cuma mau lihat saja." Sedikit ogah-ogahan, gadis penjaga mengikuti kemauannya. "Apa, tiga lima-puluh, ini?" Wajahnya tampak berkerut. Bisa dipastikan, bahkan 50 sen tak akan disodorkannya untuk pembeli makanan yang tak terbilang mewah itu. Tawar-menawar yang cukup lama itu berlalu percuma. Gadis dengan rambut tak tersisir itu tak sungguh-sungguh mau belanja. Ia sekadar ingin berteduh di emperan warung. Namun pembicaraannya mengganggu perasaan orang-orang lain yang juga berteduh - menguarkan sebuah drama kemiskinan. Ny. Calliste muncul kembali di sudutnya. Seorang serdadu Amerika hitam, yang hadir tiba-tiba, menyapanya dengan kasar, "Anda yang punya warung ini?" Aksennya susah, lagi pula dia tidak memperkenalkan diri atau sekadar mengucapkan selamat pagi. Si Nyonya jadi tak tahu bagaimana harus bersikap. "Di mana pemiliknya?" "He not home, " jawab Ny. Calliste akhirnya. "Kapan pulang?" "Sekitar pukul empat." Lalu ia kelihatan khawatir. "Aku pergi dah," kata si s tentara. Gadis kumuh itu tiba-tiba mengambil alih. Katanya, kepada si serdadu, "Situ tidak bisa bicara sama dia. Dia ini hanya 'simpanan' Tuan Calliste." Tapi si tentara rupanya tak punya pesan khusus, kecuali mengucapkan apa yang dilatihkan pihak Psy-Ops. Dia bilang, "Kami akan main musik sedikit, dan membuat pengumuman-pengumuman. Akan keras suaranya, dan nanti akan banyak orang kumpul-kumpul." Lalu pergi. Nyatanya tak ada orang kumpul-kumpul. Orang baru berkerumun sekitar satu jam sesudahnya sesudah tim Psy-Ops, diantar juru rawat lokal dan dikuntit awak TV CBS, selesai mengadakan kunjungan kesehatan ke berbagai rumah. Jalan kotor berbatu yang menurun dari warung itu licin setelah hujan. "De sight bad," kata seorang kakek. "Ah, de sight bad." Dia sudah mendengar tentang kunjungan kesehatan itu, dan dia sendiri sudah mengenakan pakaian bagus. Dia melangkah turun ke lebuh merah di belakangku, sambil mengira aku salah seorang dari tim itu. Tak ada yang akan mengamat-amati keselamatan laki-laki tua ini. Juga tak ada obat untuk perempuan tua yang sarafnya sudah dobrak. Dia pun, dan kamarnya, sudah bersiap-siap untuk kunjungan tim itu. "Sarafnya kacau," keponakannya ngomong, "dan dia pergi ke rumah sakit. Tahun ini sudah empat kali kejadian. Dia tinggal di rumah itu, di atas bukit itu, dan saya membawanya turun, nuh, kalau dia mau tidur. She does itch here and she does itch there (maksudnya: ia makan di mana saja), dan terus saja merasa sakit di punggung." Tapi tak ada obat. Dokter Psy-Ops bilang, dia akan datang lagi besok. Pengeras suara di jip itu menyemprotkan reggae, tambahan suara drum untuk hujan tropis yang riuh. Pengumuman yang direkam, separuh mengancam separuh berbaik-baik, diulang-ulang. Kalimat tentang kunjungan pun menyebar di desa-desa - dan segera di luar warung Ny. Calliste berdiri sekerumun orang, laki-perempuan, menunggu diperiksa "tekanan" mereka. Awak CBS memotret banyak, ke sana kemari, dalam hujan. Juru kameranya tergelincir dan mendapat patah lengan, tapi tidak patah kamera. Pemfilman itu, kalau memang untuk berita sore CBS, merupakan kerja Amerika yang paling besar hari itu. Kalau tidak, tentu harganya jatuh di bawah nilai latihan Psy-Ops tadi. Di jalan pulang ke St.George, kami berpapasan dengan tiga gadis sekolah dalam blus putih dan rok biru-angkatan-laut. Salah seorang berseru, "Orang . . . putih!" Itu bukan penyambutan. Itu cara menjelaskan suasana, sama tingkatnya dengan satu siulan antara sebuah satire bersahabat dan agresi, sesuatu yang datang dari Grenada yang sangat tua, sebuah penghargaan kepada jarak rasial. * * * Psy-Ops tak memandang perlu menyingkirkan slogan-slogan revolusi - kecuali yang di jalan pendek yang mendaki bukit ke Fort George. Itulah tempat dilakukannya pembunuhan oleh Tentara Revolusioner Rakyat. Peristiwa itu sendiri sudah meluncur ke dalam legenda. Detailnya sangat bervariasi: hampir tiap orang mengaku menjadi saksi mata atau peserta. Tapi ada satu penuturan yang penting. Begitu sang pemimpin (Maurice Bishop) dibebaskan dari rumah yang dikepung, dia sangat lemah. Tidak makan selama tiga hari - entah karena takut kepada racun atau karena dokter-dokter Kuba menginjeksi dia dengan sesuatu. Dia didapati terikat di ranjang. Tidak bisa jalan. Orang-orang lalu membawanya dengan mobil ke benteng. Tentara datang melindunginya. Ibunya mengiriminya sandwich dan orange juice. Kemudian Dewan Militer Revolusioner mengirimkan mobil-mobil bersenjata. Ini cerita yang tidak komplet, tapi sebuah legenda sekarang - sebuah kisah tentang nafsu Grenada. Benteng itu menghadap ke jalan masuk pelabuhan bagian dalam. Ada kanon abad ke-19. Barak-barak tentara - markas polisi sebelum Tentara Revolusioner Rakyat dibentuk - berada dalam sebuah bangunan kolonial dengan gaya Departemen Pekerjaan Umum Italia. Pengeboman Amerika telah membuat empat lubang berdekatan di atap besinya yang hijau. Di salah satu sisi halaman terletak seksi penjara. "Tata krama" sudah dilaksanakan atas para "lawan revolusi" di penjara itu. Sebagian penghuninya orang Rastafaria - sampai 20 orang ditahan di ruang sempit itu. Slogan-slogan resmi, stensilan bertinta merah "Disiplin adalah Satu Keharusan Berdisiplinlah Sekarang", dan "Lebih Baik Mati daripada Menjadi Boneka Imperialis AS" - masih saja bercampur dengan protes-protes Rastafaria yang membingungkan atau yang sableng: "Untuk Apa Orang Punya Kalau Dia Mau Memiliki Seluruh Dunia Dan Kehilangan Jiwanya" - and louse the lost of his sould, katanya. Tentara Revolusioner Rakyat itu dulu sudah belajar. Mereka sudah belajar politik. Sudah belajar senjata khusus antipesawat udara. Dan sudah mengerjakan berbagai latihan menulis sederhana. Di barak sebelah dalam terdapat lebih banyak kertas: lagi-lagi bekas latihan mengarang, dan berbagai majalah komunis. Revolusi bergantung pada bahasa. Pada suatu tingkat, ia menggunakan bahasa besar dan kabur pada tingkat lain, ia menyalahgunakan bahasa rakyat. Inilah studi terpenting - sebuah ide bagus, dihubungkan dalam pikiran kebanyakan warga Grenada dengan pengembangan diri - yang sudah dipakai untuk menjaga agar orang lugu tetap lugu, dan patuh. "Masya Allah, mereka membalikkan senjata ke arah rakyat!" Ini salah satu kata-kata terakhir yang direkam dari sang pemimpin yang dibunuh. Sebuah foto yang diambil waktu penembakan itu menampakkan mobil-mobil bersenjata, gandengan-gandengan kendaraan militer, orang-orang berlari, dan slogan di kaki bukit benteng itu: Politics Discipline Combat Readiness Equals Victory. Revolusi adalah revolusi kata. Kata-kata muncul sebagai iluminasi, sebuah jalan pintas kebesaran, untuk orang-orang baru terdidik yang tak punya apa pun di tengah masyarakat untuk dipakai mengukur dirinya, dan yang, akhirnya, hanya punya sedikit harga dalam lingkungan mereka sendiri. Tapi kata-kata itu adalah mimikri. Terlalu besar. Dan tidak pas. Mereka tetap tinggal kata-kata. Revolusi sudah berhembus pergi. Yang tinggal hanya kisah pembunuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini