Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjelajah sungai zambesi

Penjelajahan dari boiling point, sebuah riam dekat air terjun victoria. (sel)

14 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AFRIKA masih tetap menggoda. Terutama bagi kaum penjelajah kulit putih, baik yang datang untuk memburu harta maupun sekadar bertualang. Sasaran di sana hampir tidak pernah kering. Satu dua tahun yang lalu, misalnya, masih ada saja kelompok penjelajah yang mencanangkan diri sebagai penelusur pertama Sungai Zambesi. Penjelajahan di zaman modern, di Afrika, sebenarnya dapat dikatakan dimulai pada 1768, saat James Bruce berusaha "menemukan" sumber Nil. Meski tak berhasil maksimal, petualangan Bruce itu (yang mengenakan pakaian Arab) banyak diikuti: 1795, misalnya, Ringo Park mencari Sungai Niger - dan sukses, meski akhirnya ia mati terbenam di sana pada kunjungannya yang kedua, 1805. Pada abad XIX penjelajahan menjadi ramai. Tersebutlah nama ilmuwan Jerman, Heinrich Barth (1821-1865), yang menjelajahi kawasan Sudan. Lalu pada 1858 Richard Burton dan John Speke, dalam keadaan sakit dan lapar, "menemukan" Danau Tanganyika. Burton yakin, danau itulah sumber Sungai Nil. Tapi karena kawannya tak sepakat mereka berpisah. Dua tahun kemudian Speke kembali ke Afrika bersama James Grant, dan memeriksa penemuannya. Waktu pulang mereka bertemu Samuel dan istrinya, Florence Baker. Suami istri itu melanjutkan perjalanan, dan "menemukan" Danau Albert, sumber lain Sungai Nil. Lalu adalah orang Skot, David Livingstone (1813-1873), yang mengembarai Afrika Tengah dan Timur. Kemudian penjelajah Wales-Amerika, Henry Morton Stanley (1841-1904), yang pada 1877 mengadakan epos perlawatan di Sungai Kongo. David Livingstone menerima didikan keras ditempat kelahirannya di Blantyre, Skotlandia, kemudian menempa diri secara fisik dan mental, sebelum ke Afrika. Setelah belajar ilmu kedokteran pada Universitas Glasgow (1940), ia bergabung dengan lembaga misionari yang mengirimnya ke Afrika Selatan tahun berikutnya. Ia mulai bekerja di Bechuanaland (kini Botswana) dan langsung melakukan serangkaian penjelajahan ke pedalaman. Pada 1849 ia tiba di Danau Ngami, dan "menemukan" Sungai Zambesi pada 1851 - yang tahun berikutnya mulai diselidikinya. Hasilnya, empat tahun kemudian, ia "menemukan" air terjun yang kemudian diberi nama Victoria, ratu Inggris di sungai itu pula. Setahun kemudian ia kembali ke negerinya, namanya menjadi terkenal sebagai peneliti dan ilmuwan. Ia dielu-elukan sebagai pahlawan nasional. Malahan pada 1858 ia kembali ke Afrika sebagai konsul Inggris - di Qualimane, Mozambik. Kesempatan itu pun dipergunakan untuk meneruskan penjelajahan. Ia sampai di kawasan Danau Nyasa dan Sungai Shire, hingga berhasil mencapai Danau Chilwa. Kembali ke Inggris selama dua tahun, pada 1866 ia datang lagi dan "menemukan" sumber Sungai Nil. Ia berhasil mencapai ujung selatan Danau Tanganyika pada 1867, kemudian masuk lebih dalam ke Afrika Tengah . Melihat Livingstone selamat-selamat saja menjelajahi Afrika, Sir Henry Morton Stanley terdorong untuk ikut berekspedisi pada 1869. Malahan nama mereka belakangan menjadi serangkai: "Stanley dan Livingstone", dua penjelajah Afrika tersohor. Pada 1872, Livingstone menolak kembali ke pantai bersama Stanley - ia ingin meneruskan petualangan. Tapi tubuhnya makin lemah oleh penyakit, kendati ia berhasil mencapai Danau Bangweulu. Dan di sanalah ia meninggal, 30 April 1973. Belakangan jenazahnya diangkat dan dimakamkan di Westminster Abbey, London. Maka namanya pun lekat dengan Afrika. Ada tiga tempat yang disebut Livingstone. Pertama ibu kota provinsi utara Zambia, meski juga dikenal nama Maramba. Letaknya di sisi utara Sungai Zambesi, di perbatasan Zimbabwe. Lalu rangkaian Air Terjun Livingstone, yang menghimpunkan 32 riam dan air terjun kecil di Sungai Kongo. Ia terentang sepanjang 354 km, antara Kinshasa dan Matadi di Zaire serta sepanjang perbatasan dengan Kongo (Brazzaville). Kemudian Pegunungan Livingstone, di batas timur laut Danau Nyasa, di utara Manda, Tanzania. Puncaknya yang tertinggi 2.400 meter. Adapun Sir Henry Morton Stanley lahir dengan nama John Rowlands di Denbigh, Wales. "Ayah"-nya mati ketika ia berusia dua tahun - tapi sebenarnya dia ini anak di luar nikah, dan di kampungnya mengalami tekanan batin. Henry belia menghabiskan sebagian besar masa remajanya di bengkel. Pada usia 18 tahun, ia menjadi pelayan kamar sebuah kapal yang berlayar ke New Orleans, AS. Di sinilah ia bertemu dengan ayah angkatnya, Henry Morton Stanley, dan itulah nama yang dipakainya sepanjang hidupnya kemudian. Ketika pecah perang saudara di Amerika, 1871, Henry memihak Tentara Konfederasi (Selatan), tapi segera tertangkap Tentara Serikat (Utara). Usai perang Henry menjadi wartawan, dan pada 1869 New York Herald mengirimnya untuk menjumpai Livingstone di Afrika. Maret 1871, Stanley memulai penjelajahannya dari Zanzibar. Dengan mengalami berbagai kesulitan, ia akhirnya mencapai Kota Ujiji di Danau Tanganyika. Di sinilah, pada musim gugur 1871, setelah perjalanan 236 hari, ia bertemu Livingstone. Sambil menekan perasaannya, ia membuka topinya yang putih, dan berkata, "Anda dokter Livingstone, bukan?" Yang disapa itu berada di tengah hutan: ia menghilang selama tiga tahun sampai ditemukan Stanley dalam keadaan payah, sakit, dan menua. Kelak ia bahkan menghilang lagi, sampai meninggal. Dan di AS Stanley mendengar kematian itu. Maka terdoronglah ia untuk kembali ke Afrika dan merampungkan tugas rekannya. Pada November 1874 ia meninggalkan Zanzibar dengan tiga orang kulit putih dan sekitar 300 orang Afrika. Ia masuk ke pedalaman melayari Danau Tanganyika dan beberapa danau lain. Tapi yang paling mencekam adalah saat ia menghiliri Sungai Kongo, dari sumber di hulu sampai ke muara. Semua rekan kulit putihnya dan sekitar 150 orang Afrika tewas sebelum mencapai pantai Atlantik pada 1875 . Daerah Kongo kaya dengan karet dan gading, dan Stanley berusaha menarik minat orang Inggris ke kawasan itu. Tapi ia gagal, dan sebaliknya orang Belgia-lah yang menjadikannya daerah koloni. Malah Stanley kemudian meneruskan ekspedisinya untuk kepentingan Belgia. Pada 1887 ia melakukan lawatannya yang terakhir ke Afrika - untuk menyelamatkan Emin Pasha, yang hilang setelah terjadi pemberontakan penduduk asli. Kembali ke Inggris, ia menjadi warga negara setempat. Dan bertugas di parlemen Inggris sampai tahun 1900. Karya Stanley sebenarnya tidak sangat kurang besar dibanding karya Livingstone. Tapi sifat orangnya yang agresif dan oportunis membuatnya kurang populer. * * * Hanya Sungai Zambesi yang tampaknya tak sempat ditelusuri kedua penjelajah itu ataupun lainnya. Dengan panjang 3.540 km, Zambesi umumnya mengalir ke arah tenggara untuk akhirnya bermuara di Samudra India. Hulunya berada di Gunung Kalene, Zambia, dan dari sana salah satu sungai terbesar Afrika itu melintasi Afrika Barat Daya, Botswana, Rhodesia, dan Mozambik. Karena berjeram-jeram Zambesi hanya dipakai sebagai sarana transportasi setempat. Kendati begitu, sebagai pembangkit tenaga listrik ia potensial sekali. Zambesi baru ditelusuri pertama kali oleh sekelompok orang California, dengan rakit, Oktober 1981. Dan setahun kemudian, pertengahan 1982, dilakukan penjelajahan yang kedua. Menjelajah daerah yang sudah dirambah orang lain memang bukan prestasi hebat. Bagai orang yang kalah dengan selisih kecil dalam pertandingan tinju kelas berat: daerah yang ditempuh itu-itu juga, tantangan yang dihadapi cukup berat, tapi hasil yang diperoleh tidak seberapa. Nama si penjelajah tidak akan tercatat dengan tinta emas sebagaimana nama para pengembara Afrika sebelumnya. Pada penjelajahan yang pertama dulu, majalah National Geographic mengirimkan orangnya untuk membuat foto peristiwa. Perusahaan penerbangan Pan Am mengasuransikan para pionir itu. Seperti masih belum cukup: Kenneth Kaunda, bapak pendiri Zambia, merayakannya dengan pesta ria, menganugerahkan tanda penghargaan, dan mengadakan pertunjukan tari-tarian. Zimbabwe, negara tetangganya, tak mau ketinggalan. Helikopter militernya dikerahkan sebagai penunjuk jalan dari udara dan pemberi pertolongan pertama jika diperlukan. Perusahaan televisi Amerika, ABC, mengirimkan juru kameranya untuk mengabadikan peristiwa itu. Fasilitas yang gemah ripah seperti itu tentu saja tak dikenal Livingstone, Stanley, atau lainnya. Tetapi memang ada yang khas pada penjelajahan modern ini. Supaya lebih menarik, aktor kulit hitam LeVar Burton disuruh ikut. Burton dikenal karena permainannya dalam serial televisi yang meriwayatkan sampainya orang Negro Afrika di Amerika, Roots. Dan ketika film penjelajahan Zambesi dipertunjukan di televisi Amerika, penonton melihat kisah petulangan penuh bahaya. Rakit terhempas gelombang sampai setinggi lima meter, buaya gentayangan di sungai. Suatu pertarungan yang keras dan primitif melawan sesuatu yang "tak dikenal". Tapi, seperti ditulis Franz Lidz dalam harian The New York Times Januari 1983, film televisi ABC itu memotret pula adegan di luar kejadian sesungguhnya. Shot kerumunan buaya yang menakutkan, misalnya, dibuat di peternakan buaya setempat. Malam hari Aktor Burton serta para juru kamera bukannya tidur di hutan dalam udara terbuka. Tapi di hotel mewah terdekat. Dan pengangkutan mereka pulang pergi? Helikopter! Itu penjelajahan yang pertama. Adapun penjelajahan kedua tak diiringi gembar-gembor ramai. Daerah yang ditempuh sama saja, walau agaknya lebih sulit. Ekspedisi selama seminggu itu hanya menonjolkan sungai yang buas, dan sebagai tokohnya adalah seorang periodontis - dokter gigi yang khusus merawat jaringan yang rusak sekitar gigi - dari Providence, Negara Bagian Rhode Island, AS. Tulis Franz Lidz selanjutnya: Rombongan kami terbagi atas tiga rakit. Masing-masing terdiri atas empat pendayung, satu penunjuk jalan - penduduk setempat - dan delapan penumpang. Kami bertolak dari Boiling Point, sebuah riam pusaran air dekat Air Terjun Victoria yang sangat lebar. Para pendayung sudah kawakan karena banyak pengalaman naik rakit menjelajah sungai ganas di Turki, Chili, dan Sungai Colorado di Amerika Utara. Tapi tantangan alam Zambesi tampaknya lebih besar: lebih dari setengah lusin riamnya sangat curam, dan lebih deras ketimbang Air Terjun Lava di Colorado yang jadi batu ujian utama bagi penggemar rakit. Beberapa riamnya demikian terjal sehingga lebih merupakan air terjun. Dari Boiling Point kami memperhatikan Sungai Zambesi yang mengalirkan airnya dalam alur-alur yang terjal. Tingginya puluhan meter - dua kali lebih tinggi daripada Air Terjun Niagara. Suku Kololo, yang menyerbu daerah itu dari selatan pada 1838, menamakan air terjun itu "Masi-O-Tunya", atau "Asap Menggelegar". David Livingstone sendiri menggambarkannya begini: "Lapisan seputih salju itu tampak bagai ribuan bintang kecil berekor yang melesat ke satu arah, dan masing-masing meninggalkan pancaran busa melingkar." Livingstone yakin, keahliannya dan keunggulannya sebagai orang Inggris akan sanggup menemukan cara agar kapal uapnya bisa melayari Sungai Zambesi, juga menembus air terjun dan riamnya. Ia banyak menghabiskan waktunya mempelajari rute ini. Tapi ia meninggal sebelum seorang pun berhasil melayari Zambesi - dengan balok kayu, jangankan dengan kapal uap. Kami melintasi Ngarai Batoka, batu-batuan dasar berlapis garam, dan melalui beberapa riam yang pusarannya memilin perut. Di Colorado semua riam punya cerita dan nama. Di Zambesi daerahnya masih banyak yang belum dipetakan dan hanya dinomori. Ekspedisi pertama dulu berhenti menghitung setelah mencapai angka 11. Menjelang tengah hari, kami tiba di sebuah pembangkit listrik tenaga air, sebuah riam raksasa penuh lubang. Di sinilah pada perjalanan sebelumnya Aktor Burton dan ahli sejarah sungai, Grant Rogers, terpental dari rakit mereka ke dalam arus deras. Beberapa tulang rusuk Rogers patah, sehingga ia harus dibawa ke rumah sakit dengan helikopter. Dua pendayung kami memutuskan menyeret rakitnya dengan tali melintasi riam. Yang lain ingin melayarinya saja. Di wilayah Zambia, segerombolan kera Afrika - baboon berteriak-teriak. Binatang itu tampaknya menertawakan kami. Memang tak pernah ada baboon yangmencoba menjelajah Zambesi dengan rakit. Sarat oleh muatan tujuh penumpang sukarela, rakit meniti puncak ombak besar pertama, menembus air, terhempas ke puncak ombak lain. Lalu menikung tajam untuk mengelakkan sebuah lubang yang menganga. Rakit terbalik! Saya tercebur ke dalam air yang putih kebiru-biruan. Rasanya seperti seminggu lamanya, padahal hanya beberapa detik. Saya menyembulkan kepala ke permukaan air, dengan keyakinan bahwa rakit sudah meninggalkan saya 30 meter jauhnya. Eh, jebulnya hanya sejangkauan tangan. Lebih jauh ke hilir, kami melintasi semak-semak yang tumbuh di sebuah pulau di tengah sungai. Barisan pohon mopane yang tinggi ramping di pinggir ngarai bagai prajurit-prajurit Suku Bantu mengawasi kami lewat. Di atas kepala kami beterbangan elang pemburu ikan dan pemakan lebah. Kelompok-kelompok kecil antilop bergegas lari di lereng-lereng batu yang curam. Bukit-bukit sabana dipenuhi berjenis-jenis pohon yang tampak seperti bintik-bintik. Orang Barat pertama yang merekam pemandangan di bagian tengah Sungai Zambesi adalah penjelajah Portugis Manuel Barreto, 167. Tulisnya: "Sungai itu mengalir melalui daratan yang hanya dapat dilintasi burung atau ular naga ...." Hidangan yang disantap Barreto, ketika itu, pastilah "jauh lebih nikmat" dari apa yang kami makan. Pengisi perut kami hanya berupa masakan California: buah apokat, jeruk, keju, ayam panggang, dan kuah kacang. Juru masaknya si tukang dayung. Kami mencuci pakaian dan badan di sungai. Tidur dalam kantung tidur, di kemah-kemah kecil. Buang air besar atau kecil - di semak-semak dan pinggir sungai. Benar-benar kembali kepada cara hidup primitif dan dekat kepada alam - layaknya. Malam ketiga kami berkemah di tanah berpasir putih di wilayah Zimbabwe. Sungai Zambesi memang merupakan perbatasan yang memisahkan Zambia dan Zimbabwe. Tepi sungai di wilayah Zimbabwe dirasa kurang aman, karena banyak dipasang ranjau selama perang kemerdekaan. Tak ada yang tahu pasti, masih adakah ranjau yang berbahaya, meski diperkirakan sebagian besar sudah dibersihkan atau diledakkan oleh baboon. "Bagaimana saya bisa tahu bahwa saya menginjak ranjau darat?" tanya periodontis. "Jangan khawatir," kata seorang pendayung menghibur. "Nanti Anda tahu sendiri." Maksudnya, kalau benda yang diinjaknya meledak, tentulah itu ranjau darat. Yang tahu tentu orang lain. Malam itu langkah kami enteng sekali. Ketika meninggalkan kemah, saya menemukan jejak sejumlah besar binatang. "Ini jejak kaki macan tutul?" saya tanya Enock, penunjuk jalan, penduduk asli. "Tak ada macan tutul di sini," jawabnya tak peduli. "Tak ada macan tutul di mana pun di Zambesi ini?" "Tidak ada macan tutul." "Lantas jejak binatang apa ini?" saya jadi penasaran . "Macan tutul." Tidur kami pun tak begitu nyenyak. Keesokan harinya kami tiba di sepasang air terjun yang tak dapat dilayari. Tingginya kurang lebih tujuh meter. Inilah rupanya yang menghambat perjalanan Livingstone dulu. Di air terjun pertama direncanakan sebuah bendungan yang suatu ketika kelak akan membenamkan sebagian besar riam itu dalam sebuah waduk. Jika demikian, berakit-rakit menyusuri Sungai Zimbesi sudah tak mungkin lagi. Siang itu kami menggotong rakit melalui jurang yang bergerigi tajam. Panas menyengat tubuh. Perut yang memberontak kami tenteramkan dengan kue coklat Kentucky bikinan Zimbabwe. "Anjing katai!" teriak pendayung kami pada hari kelima. Ini istilah para penjelajah untuk buaya. Meskipun jumlahnya tak sebanyak biasanya, di Afrika tiga orang dimangsanya tiap hari. Dan di Zambia satu orang dalam seminggu. Dari jarak beberapa meter saja kami melintasi binatang itu, yang sedang bermalas-malasan di langkan sungai yang licin. Matanya yang malas melirik kami, lalu meluncur ke dalam air dan mengikuti rakit kami. Menurut Enock, rakit yang terapung-apung tampak seperti bangkai kuda Nil di mata buaya. Gerombolan raja sungai itu kami halau dengan melemparkan batu sebesar baseball. Enak saja kami menyebutnya "batu buaya". Dan binatang itu terus saja menguntit kami. Hanya mata dan lubang hidungnya muncul di permukaan air, seperti periskop kapal selam yang sedang mengintai. Saya melemparkan sebuah batu yang saya anggap paling baik. Meski tak kena, itu cukup membuat kaget si buaya. Ia menyelam, kemudian menyingkir. Pengalaman hari-hari berikutnya sudah merupakan antiklimaks. Masih lusinan lagi buaya dan kuda Nil yang kami jumpai, tapi tak ada yang berani mendekati kami. Kami tiba di suatu bagian sungai yang terpotong oleh batu-batu besar. Batu-batu itu sudah aus termakan arus air yang deras. Permukaannya licin, memberikan pandangan yang indah karen mengingatkan pada hasil karya seni patung. Di tempat ekspedisi pertama dulu berbelok ke kiri, rombongan kami berbelok ke kanan. Akibatnya, kami terkurung di tengah riam yang menakutkan. Bagian sisi rakit terhempas dipermainkan arus air yang deras, bagai tubuh berat kuda Nil yang lamban. Kamera periodontis terlempar ke dalam air, demikian pula diri saya. Nasib saya lebih gawat: buaya 'kan pasti tidak doyan kamera? Pada hari terakhir, kami melewati sebuah desa yang gubuk-gubuknya terbuat dari lalang. Setelah berhari-hari bertualang, inilah tanda pertama peradaban yang kami jumpai. Tapi penduduk yang compang-camping itu ternyata tak begitu mengacuhkan kedatangan kami. Mereka lebih asyik dengan kesibukan sendiri: memancing. Sungai Zambesi di sini dikenal banyak ikannya yang besar-besar. Kami mengharapkan disambut meriah sebagai pahlawan yang telah lulus dari suatu petualangan yang berat dan dahsyat. Tapi si tukang pancing malah menawarkan ikannya dengan harga US$ 5 seekor. Mereka pikir kami ini turis kaya! Ekspedisi kedua memang bukan prestasi yang hebat. * * * Di selatan Sungai Zambesi dan di utara Sungai Limpopo terletak Zimbabwe (Rhodesia), negeri yang indah dan riuh rendah oleh huru-hara. Sungai Limpopo di banyak tempat menjadi batas selatan negeri itu dengan Republik Afrika Selatan. Batas utaranya adalah Sungai Zambesi. Di bagian sungai inilah rangkaian Air Terjun Victoria merentang sepanjang satu mil hingga melintasi Zambia di utara. Pada awal abad XX, sebuah jembatan kereta api direntangkan melintasi Zambesi, di dekat jeram yang pertama. Kereta meluncur begitu dekatnya ke air terjun, sehingga para penumpang dapat merasakan tempias airnya. Sebagian besar Zimbabwe, yang luasnya 389.367 km persegi, terdiri dari dataran tinggi, dan padang-padang rumput di atasnya ( veld dalam bahasa Afrikaan) adalah jantung negeri itu. Tak jarang ditemukan padang rumput sejauh mata memandang. Dan jika musim kering datang, seluruh padang itu berubah warna bagaikan lautan emas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus