Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan Asrama Brigade Mobil di Petamburan, Jakarta Barat, Rabu pagi, 22 Mei lalu, lengan berotot memiting leher Arman, bukan nama sebenarnya. Dalam kondisi tak bisa memberontak, laki-laki 36 tahun itu mendapat hujan tinju dan tendangan pada tubuh dan kepalanya. Darah memancur dari pelipis mata kirinya. “Sampai sekarang masih berbekas,” kata Arman, menunjukkan bekas lukanya kepada wartawan Tempo dan Jaring.id, di kawasan Jakarta Pusat, Selasa, 2 Juli lalu.
Sekitar satu jam sebelumnya, Arman berada di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, untuk membesuk temannya yang sakit. Setelah itu, dia sempat beberapa kali mencoba memesan taksi online, tapi tak berhasil. Lalu dia menumpang mobil milik sebuah lembaga kemanusiaan.
Menurut Arman, persis di depan Asrama Brimob, sejumlah polisi menghentikan mobil yang ditumpanginya. Sekitar tujuh jam sebelumnya, atau Rabu dinihari, di lokasi itu terjadi kerusuhan. Kerumunan orang melempari asrama dengan batu dan bom molotov serta membakar belasan kendaraan di depan bangunan tersebut. Saat Arman lewat, polisi yang menghentikan mobil lalu membuka paksa semua pintu. “Ini dia yang mau kabur,” ujar Arman mengulangi teriakan seorang polisi. Arman ditarik keluar dan diseret ke bagian depan asrama.
Di situ ia disuruh membuka baju dan sepatu. Arman mengaku, sembari ia membuka pakaian, tubuhnya terus ditendang dan dipukuli. “Saya juga diinjak-injak.” Di halaman itu dia menyaksikan lebih dari 20 orang diperlakukan serupa. Arman dan puluhan terduga perusuh lain kemudian dibawa ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat dengan lakban hitam menjepit tangan dan menutup mata. Ihwal penyiksaan di Asrama Brimob, Kepala Korps Brigade Mobil Inspektur Jenderal Ilham Salahudin enggan memberikan tanggapan. “Silakan tanya ke Kapolda Metro atau Divisi Humas,” ucapnya.
Arman mengaku mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Dia pun ingin ikut berunjuk rasa di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum hari itu. Tapi dia menyatakan tak terlibat kerusuhan. Dia lalu menunjukkan catatan sejumlah aktivitasnya yang masih tersimpan dalam telepon selulernya. Dari aktivitas itu, termasuk catatan bepergiannya dengan aplikasi ojek online yang tidak bisa dihapus, Arman tak berada di lokasi terjadinya kericuhan pada 21 Mei.
Di ujung Jalan K.S. Tubun, dekat Masjid Jami An-Nur, polisi juga menciduk Angga Dwi Prayoga, 22 tahun, yang tengah melintas dengan sepeda motor. Penjaga toko aksesori sepeda motor di kawasan Tanah Abang itu diminta membuka jaketnya. Saat itulah, ujar Angga, polisi melihat torehan tato di dua tangannya. Salah satunya bergambar bunga. “Ini dia biang keroknya,” kata Angga menirukan ucapan seorang polisi yang menggetok pundaknya dengan tongkat. Seperti Arman, Angga dibawa ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat untuk diperiksa.
Arman mengaku berkali-kali dipaksa mengaku terlibat dalam penyerangan Asrama Brimob. Berkali-kali pula dia menyangkal. Dalam pemeriksaan, dengkul seorang penyidik sempat menyapa hidungnya hingga darah bercucuran. Penyidik, tutur Arman, mengklaim memiliki bukti keterlibatan dia yang terekam kamera pengawas atau CCTV. Yakin tak bersalah, Arman meminta penyidik memeriksa telepon selulernya yang menyimpan catatan perjalanannya dengan ojek online.
Polisi tetap tak percaya. Arman dipaksa menandatangani berkas acara pemeriksaan dengan status tersangka. Setelah dia menolak membubuhkan tanda tangan, seorang polisi di ruangan yang sama memintanya mengikuti prosedur itu. “Daripada lu abis,” ujar Arman mengulangi perkataan polisi tersebut.
Angga juga sempat dipukul dengan sepatu dan penggaris besi. Saat itu, Angga menjawab pertanyaan tentang alasannya melintas di kawasan Petamburan yang sedang dilanda huru-hara. “Saya jawab, ‘Saya kira tidak ada kerusuhan’. Polisinya marah dan bilang, ‘Jawaban kok mengira-ngira’.” Tapi Angga mengaku beruntung tak sampai berdarah-darah. Dia—juga Arman—mengaku menyaksikan banyak terduga perusuh yang diperiksa berbarengan dengannya dipukul lebih keras. Salah satunya menggunakan papan catur.
Polisi menangkap sejumlah orang yang terlibat dalam aksi massa di kawasan Petamburan, Jakarta Barat, Rabu, 22 Mei 2019. TEMPO/Amston Probel
Merasa tak bersalah, Angga yakin bakal segera dibebaskan. Tapi, sehari setelah ditangkap, Kamis, 23 Mei, Angga dan belasan terperiksa lain dihadapkan polisi kepada para jurnalis. Di hadapan kamera televisi, polisi menyebut mereka sebagai tersangka. Angga ditempatkan di barisan terdepan karena tubuhnya pendek. Satu hal yang diperhatikan Angga, semua yang dipertontonkan memiliki tato. Angga dan Arman dilepaskan beberapa saat sebelum Idul Fitri.
Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat Komisaris Besar Hengki Haryadi tak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo dan Jaring.id. Lima kali dihubungi, Hengki sempat mengangkat telepon dua kali. Tapi, saat pertanyaan diajukan, sambungan terputus. Hengki tak merespons pertanyaan yang diajukan melalui pesan pendek dan WhatsApp.
Sejumlah pegiat hukum dan hak asasi manusia dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, serta Amnesty International Indonesia menduga polisi melakukan sejumlah pelanggaran terhadap mereka yang dinyatakan terlibat kerusuhan. Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora mengatakan pelanggaran itu terkait dengan hak mereka, seperti nihilnya pendampingan pengacara saat pemeriksaan, juga penyiksaan. “Kami menemukan indikasi penyiksaan, dan bisa jadi jumlahnya cukup banyak,” kata Nelson.
Salah satu yang haknya terlanggar adalah Joni, bukan nama sebenarnya, yang masih berusia 17 tahun. Menurut Nelson, polisi telah salah tangkap dan tak memenuhi hak Joni, seperti pendampingan orang tua dan pengacara. Pendampingan orang tua diperlukan karena Joni masih berstatus anak-anak.
Ibunda Joni, yang tak mau disebutkan namanya, bercerita, anaknya ditangkap pada 22 Mei malam saat berada di sekitar Sarinah. Perempuan yang tinggal di Lampung itu baru bisa membesuk anaknya sepekan kemudian. Saat itu, dia melihat empat jahitan di kepala sang anak. Wajah Joni pun terlihat lebam, dengan benjolan di bagian kirinya. Menurut dia, Joni mengaku dipukuli polisi. “Kalau anak saya salah, mau ditangkap, tangkap saja. Tapi tidak usah dipukulin,” ucap ibu itu, menangis. Joni kini tinggal di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani, Cipayung, Jakarta Timur.
Ihwal dugaan salah tangkap, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan hal itu bisa saja terjadi. Ada kemungkinan polisi menangkap sejumlah orang sekaligus untuk pengamanan. “Ada ikan paus, ikan teri, diambil saja. Nanti penyidik yang memilah. Kalau tidak cukup alat bukti, dikeluarkan,” ujarnya. Akan halnya soal dugaan penyiksaan, Dedi menilai itu sulit terjadi. Sebab, penyidik dikejar waktu dan harus memeriksa banyak terduga perusuh.
STEFANUS PRAMONO, HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo