Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Harga Membubung, Pamor Terpuruk

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dayem seperti pelari maraton yang tak pernah bisa menyentuh garis finis. Pedagang lontong sayur di kawasan Menteng Jaya, Manggarai, Jakarta Selatan ini terus-menerus berkejaran dengan harga barang kebutuhan pokok. Silih berganti harga barang naik. Sekali waktu harga minyak tanah yang membubung. Pada waktu lain harga gula dan beras. Belakangan, harga minyak goreng hampir menyentuh langit-langit rumahnya yang rendah.

Nasib Rodiah setali tiga uang. Istri seorang pengojek di Semanan, Jakarta Barat, ini terpaksa menunda rencana mendaftarkan anaknya ke sekolah dasar. Duitnya ludes untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Antre minyak tanah menjadi rutinitas keluarga ini sehari-hari. Bersama lima anggota keluarganya, ia tinggal di rumah kontrakan yang tak lebih luas dari gardu ronda. Ruang sumpek itu menjadi kamar tamu sekaligus ruang makan, ruang tidur, dan dapur.

Bagi mereka, pemerintahan seperti tidak ada. Janji-janji muluk yang dikumandangkan ketika kampanye menguap ditelan waktu. Kenyataan yang mereka hadapi kini adalah harga barang yang terus menanjak cepat dan makin tak terjangkau. Semua itu membuat Dayem, Rodiah, dan juga jutaan keluarga miskin lain tak banyak beranjak dari urusan perut. "Pemerintah SBY-JK gagal mengendalikan harga pokok," kata Irmawati, seorang staf konsultan asing yang berkantor di Jalan Sudirman, Jakarta, menetakkan penilaian.

Pendapat mereka sejalan dengan hasil survei sejumlah lembaga seperti Danareksa Research Institute, Lingkaran Survei Indonesia, dan Lembaga Survei Indonesia yang dilakukan di berbagai daerah. Publik, baik dari kalangan bawah, menengah, maupun atas, sepakat memberikan angka merah terhadap kinerja ekonomi pemerintahan SBY-JK. Kepercayaan responden jajak pendapat yang dilakukan ketiga lembaga itu terhadap kemampuan pemerintah memperbaiki keadaan ekonomi terus menurun dalam tiga tahun terakhir.

Indikator jajak pendapat itu mencakup perbaikan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penyediaan infrastruktur, dan pengendalian harga. Kinerja paling buruk, bahkan lebih jelek dibandingkan pemerintahan Megawati Soekarnoputri, muncul dalam soal pengendalian harga.

Di akhir pemerintahan Megawati-September 2004-indeks pengendalian harga menjulang di atas 100. Tetapi, sejak SBY memimpin, indeks itu terus merosot, dan pada September lalu menukik hingga jauh di bawah batas itu. Di kalangan masyarakat perkotaan, pamor SBY bahkan lebih buruk dengan indeks lebih rendah lagi (lihat infografik). Indeks di bawah 100 berarti publik tidak percaya terhadap kemampuan pemerintah mengendalikan harga.

David Sumual, analis politik Danareksa, punya penjelasan mengapa kinerja pemerintah SBY paling buruk dalam soal pengendalian harga. Presiden bersama tim ekonomi, menurut dia, cuma bisa berwacana, sementara harga-harga terus meroket. "Ini memperjelas sikap Presiden yang peragu," katanya.

Toh, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu berkelit. Ia mengatakan kenaikan harga barang pokok terjadi karena faktor musiman dan eksternal, bukan lantaran ketidakmampuan pemerintah mengendalikan harga. Ia memberi contoh harga minyak sawit mentah dunia yang melonjak sehingga mempengaruhi harga minyak goreng di dalam negeri.

Pemerintah, menurut Mari, sudah punya instrumen khusus guna mengamankan tiga produk utama: beras, minyak goreng, dan gula. Selain membentuk tim stabilisasi, pemerintah akan memantau harga secara reguler dan memperluas tugas Bulog yang semula cuma operasi pasar, sekarang bebas menjual ke masyarakat. Semoga kali ini tak sekadar wacana, karena pengendalian harga benar-benar menjadi taruhan penting pemerintah.


Kedodoran di Janji

TIGA tahun berlalu, janji-janji itu masih terngiang di telinga. Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla di masa kampanye mengatakan akan memperbaiki iklim investasi, menjaga stabilitas ekonomi, menggenjot pembangunan infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, hingga memangkas tingkat kemiskinan.

Beberapa janji mulai terwujud, tapi beberapa masih kedodoran. Stabilitas ekonomi dan penyediaan infrastruktur mulai terasa, namun perbaikan iklim investasi masih tersendat. Niat menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan pun masih jauh dari terwujud. Pengendalian harga barang pokok yang jarang disinggung pada masa kampanye bahkan nyaris tak terurus. Kini harga berbagai barang pokok membubung ke langit. "Padahal, harga jadi acuan utama orang menilai kinerja pemerintah," kata analis politik Danareksa Research Institute, David Sumual.

SBY Versus Megawati

Berdasar indikator makroekonomi, kinerja ekonomi pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono memang lebih baik ketimbang Megawati Soekarnoputri. Namun pemerintahan Megawati unggul di banyak indikator yang lain. Secara keseluruhan, publik menilai rapor pemerintah SBY lebih buruk dibandingkan Megawati. Setidaknya begitulah menurut hasil survei Danareksa.

Memulihkan ekonomiSBY100,7Megawati111,4

Mengendalikan hargaSBY78,7Megawati113,5

Penyediaan infrastrukturSBY112,7Megawati100,3

Menjaga keamananSBY111,1Megawati101,8

Menegakkan hukumSBY97,8Megawati100,8

Indeks kepercayaan konsumen pada pemerintahSBY100,2Megawati105,5

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus