Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sirkus Kepresidenan 2009

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wimar Witoelar

  • Pengasuh www.perspektif.net

    Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, email membawa informasi dari kakak saya. Dia biasa menyampaikan bahan menarik, sebagai kakak tertua, memperhatikan kebutuhan adiknya. Kali ini adiknya sedang butuh angle untuk tulisan di Tempo mengenai pemilihan presiden. Masih lama, 2009, tapi sudah jadi topik hangat sejak Megawati—kemudian Sutiyoso—menyatakan diri sebagai calon. Sayangnya, komentar teman-teman mengenai dua pilihan itu: ”Hmmm, ndak deh, tunggu pilihan yang lain.”

    Informasi dari kakak saya mengenai orang berusia 36 tahun yang terpilih sebagai gubernur. Sudah muda, minoritas lagi, keturunan India. Sayang, bukan gubernur di Indonesia, tapi di Amerika Serikat. Jadi jeles (jealous) juga, nih. Kapan kita mau mulai menghentikan daur ulang tokoh gagal? Kenapa tidak masuk recycling bin? Atau sekalian reformat sistem politik kita? Reformasi 1998 melahirkan istilah, konsep, keinginan, mekanisme demokrasi, tapi tidak melahirkan tokoh baru. Seperti membuat kesebelasan dengan pemain PSSI sepuluh tahun lalu, bagaimana mau menang?

    Dulu, Sutan Sjahrir dan Anak Agung Gde Agung masih muda sekali sewaktu menjadi perdana menteri dan menteri. Soekarno dan Soeharto juga belum setua calon presiden sekarang sewaktu jadi presiden. Soekarno jelas muda. Soeharto di usia awal 40-an mengambil alih kepemimpinan Republik Indonesia. Sama seperti Kennedy, bedanya Kennedy bertahan 1.000 hari sedangkan Soeharto 11.760 hari. Tapi, setelah Soeharto, semuanya lebih tua.

    Kalau yang tua tidak diganti yang muda, maka pada saat yang muda menggantikan yang tua, dia sudah tua juga, bisa-bisa langsung pensiun. Misalnya Pangeran Charles. Kini dia 58 tahun tapi belum juga menggantikan ibunya yang berusia 81 tahun. What is the message? The message is that leadership needs rejuvenation, peremajaan, penyegaran.

    Sebetulnya usia lanjut tidak membuat orang jadi bodoh, malah sering membuat orang lebih pandai. Hanya, kepandaian berpolitik di Indonesia sering mengarah pada hidup sesat. Makin pandai, makin menjalankan dan membuka jalan untuk korupsi. Tokoh politik senior pandai membangun dana politik, naik ke jabatan lebih tinggi, dari lurah jadi wali kota, gubernur, lalu presiden. Yang sudah pernah jadi presiden, mentok dan menjadi calon presiden lagi.

    Sebetulnya tidak betul bahwa kita harus mencari calon presiden dari golongan minoritas, atau harus mendahulukan yang muda daripada yang tua. Yang namanya pemilihan itu tidak perlu banyak syarat, yang penting ada pilihan. Jangan semuanya korup, semuanya menjerumuskan rakyat. Harus ada good guy, jangan semuanya bad guy. Wajar saja kalau pemilihan presiden itu seperti sirkus. Tapi isinya jangan binatang buas saja, harus ada artis dan tokoh-tokoh inspiratif.

    Dalam kenyataan menuju pemilihan presiden 2009, susah sekali menjaring calon yang bisa memberikan inspirasi. Kebanyakan tokoh publik malah mengecewakan masyarakat, tapi mereka maju dengan uang dan organisasi. Begitu mudahnya menjadi calon sehingga dalam survei pilihan publik, banyak calon yang maju dengan dukungan sangat kecil. Pemilihan presiden dilakukan secara demokratis di banyak negara. Biasanya sistem politik yang berjalan di negara-negara itu kira-kira sejalan dengan budaya politik yang sudah tertanam lama. Di Indonesia, kini mekanisme demokrasi sudah sangat canggih, tapi dasarnya adalah asumsi akan budaya politik mapan. Dalam kenyataan di Indonesia, sebagian besar masyarakat hidup dalam kultur politik yang jauh dari penerimaan nilai-nilai demokratis. Akibatnya, walaupun sistem pemilihan kita demokratis, sangat mungkin orang yang menang pemilu sama sekali tidak punya kebiasaan bersikap demokratis.

    Misalnya, bisa terjadi seorang calon gubernur cepat marah kalau ditanya oleh wartawan. Jadi ia menghindari pertanyaan, bukan menyambutnya sebagai kesempatan mempromosikan diri. Aneh juga, pemilih mau memberikan suara kepada orang yang sangat tidak jelas rencananya atau bahkan pikirannya mengenai suatu masalah. Di Amerika Serikat sekarang ini ada Stephen Colbert yang menjadi calon presiden. Dia adalah tokoh komedi dari Central Comedy dan Colbert News Report, tapi dalam wawancara televisi yang tidak disambut dengan semangat, dia bisa lebih terfokus pesannya dibandingkan dengan calon yang serius. Memang diperlukan suatu rasa humor tinggi untuk bisa menjalankan tanggung jawab kenegaraan dengan kewarasan bersikap dan rendah hati terhadap dirinya. Kalau tidak, kekuasaan mengandung racun yang membuat orang serius menjadi kejam dan mengejar obsesi kekayaan dan kekuasaan mutlak.

    Satu-dua calon yang tidak masuk akal tidak apa-apa, asalkan dia orang baik yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Jangan sampai dia merasa diri serius, tapi ditertawakan orang. Bisa-bisa muncul keadaan yang tidak lucu di mana kekuasaan dan uang dipakai menghilangkan rasa minder politikus yang tidak punya konsep.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus