Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
Pemilihan presiden 2009 masih sekitar dua tahun lagi, tapi suasana kampanye menjelang pemilu sudah mulai terasa. Setidaknya, tiga tokoh menunjukkan kesungguhan untuk maju dalam persaingan RI-1 2009 nanti: mantan presiden Megawati Soekarnoputri, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, dan mantan calon presiden 2004 Wiranto.
Meskipun belum menyatakan secara terbuka kesiapannya untuk menjadi calon presiden 2009, Wiranto telah mendirikan partai baru, Hati Nurani Rakyat (Hanura), dan telah melakukan sosialisasi diri lewat partai tersebut secara nasional. Tidak ada tokoh nasional yang sudah dikenal cukup luas yang melakukan langkah seperti ini. Tanpa ungkapan verbal, Wiranto mungkin lebih sungguh-sungguh untuk maju dalam pemilihan presiden dibanding tokoh-tokoh lain selain Mega. Di samping tiga nama tersebut, ada sejumlah nama lain yang juga disebut-sebut akan maju sebagai calon presiden, Wapres dan Ketua Partai Golkar Jusuf Kalla dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Semua nama-nama itu adalah pensiunan. Akankah bangsa kita terus dipimpin oleh warga pensiunan?
Dalam demokrasi memang tidak ada larangan bagi warga yang sudah pensiun ikut bersaing untuk jabatan publik. Yang aneh, tak satu pun yang datang dari kelompok usia lebih muda, yang biasanya lebih aktif dan produktif di bidang masing-masing, apakah itu dari partai politik, kelompok profesional, pengusaha, birokrasi, tentara, seniman, organisasi massa, atau LSM.
Ini merupakan fenomena perlambatan regenerasi kepemimpinan nasional. Seolah-oleh populasi Indonesia dihuni oleh mayoritas para pensiunan. Kalau demokrasi berbicara tentang representasi, maka yang pantas menjadi pemimpin nasional harusnya putra-putri bangsa yang berasal dari kelompok usia produktif, sebutlah kelompok umur 25–55 tahun. Sekitar 90 persen populasi kita berada pada kelompok umur di bawah 55 tahun. Hanya sekitar 10 persen yang berada pada kelompok umur di atasnya. Yang berada di usia produktif (25–55) jauh lebih banyak (sekitar 40 persen) dibanding yang berada pada kelompok usia pensiun (di atas 55 tahun).
Ironisnya, perlambatan regenerasi kepemimpinan nasional ini terjadi justru ketika mekanisme demokratis dalam seleksi kepemimpinan nasional kita lebih baik dibanding ketika Orde Lama dan Orde Baru memulai kekuasaannya. Baik Soekarno maupun Soeharto berada pada usia produktif ketika mereka menjadi presiden. Apakah waktu itu tidak ada tokoh nasional yang lebih senior dibanding Soeharto, misalnya? Banyak!
Munculnya kepemimpinan nasional Orde Baru dan Orde Demokrasi sekarang memang tidak bisa dibandingkan, tapi ada kesamaan yang sangat krusial: ketiga orde tersebut dimulai dari krisis ekonomi-politik. Orde Lama diawali dengan instabilitas pemerintahan, separatisme, dan krisis konstitusi; Orde Baru diawali dengan krisis ekonomi dan konflik antara Orde Lama, terutama PKI, dan lawan-lawannya, terutama Angkatan Darat; dan Orde Demokrasi diawali dengan krisis moneter, dan kemudian kerusuhan massal. Dua krisis sebelumnya melahirkan kepemimpinan alternatif yang relatif masih muda, sedangkan krisis moneter 1997 tidak.
Amien Rais mungkin dapat disebut sebagai tokoh yang potensial dapat mengisi kepemimpinan alternatif dari generasi yang lebih muda waktu itu, tapi mekanisme demokrasi yang dianut menggagalkannya. Bila mekanisme demokrasi diberlakukan juga dalam menentukan kepemimpinan nasional pada awal Orla dan Orba dulu, belum tentu Soekarno dan Soeharto terpilih sebagai presiden. Mungkin tokoh lain yang lebih senior. Kalau memang itu yang terjadi, maka ada masalah yang serius dalam masyarakat kita yang hidup di alam demokrasi. Rakyat lebih percaya dan memilih yang lebih tua. Apakah ini bagian dari budaya kita yang lebih cenderung menghormati dan mempercayai orang tua? Makin tua makin matang dan makin bijak, dan karena itu lebih layak untuk memimpin? Saya tidak tahu.
Daripada berspekulasi, coba kita tengok pemimpin-pemimpin negara demokrasi di dunia sekarang. Umumnya pemerintahan negara-negara demokrasi itu dipimpin oleh kelompok umur produktif. Mereka umumnya berumur di bawah 55 tahun. Memang ada yang dipimpin oleh tokoh dari kelompok usia pensiun, tapi tidak umum.
Tidak terlalu jadi masalah bila yang terpilih sebagai pemimpin nasional adalah dari kelompok umur pensiun. Tapi menjadi masalah yang terlalu serius bila untuk calon pun tidak muncul dari generasi yang lebih muda. Padahal, di partai ada sejumlah tokoh muda, demikian juga di kelompok profesional, kelompok pengusaha, di pemerintah daerah, ataupun di ormas ataupun LSM.
Figur-figur lebih muda memang belum dikenal luas, tapi ini tidak boleh jadi alasan utama ketika mau melakukan terobosan atas kebuntuan dalam regenerasi kepemimpinan nasional. Tokoh-tokoh pensiunan seperti Sutiyoso dan Sultan juga belum dikenal luas. Dua tahun menjelang pemilihan presiden 2004 yang lalu, SBY juga tidak banyak dikenal. Pada Oktober 2003, misalnya, peluang SBY untuk dipilih di bawah 10 persen. Kekuatannya tidak berbeda dengan Amien Rais, Akbar Tanjung, dan tokoh-tokoh lain. Sementara incumbent Megawati berada cukup jauh di atas mereka.
Efikasi Internal Popularitas tidak datang dari langit. Tokoh seperti Sutiyoso tahu itu, maka ia berani mendeklarasikan diri untuk menjadi calon. Kalau Sutiyoso yang belum populer berani, mengapa tokoh-tokoh lebih muda seperti Pramono Anung, Yudy Chrisnandi, Hidayat Nurwahid, Sri Mulyani, Yeny Wahid, Ilham Habibie, Faisal Basri, Sandiaga Uno, Fadel Muhammad, Gamawan Fauzi, Din Syamsuddin—untuk menyebut beberapa—tidak berani?
Tokoh-tokoh muda sipil ini mungkin kurang punya efikasi politik internal, yakni rasa yakin dan percaya diri mampu mempengaruhi orang banyak, dan keyakinan bahwa diri mereka penting bagi bangsa. Mereka juga mungkin menghitung berapa besar jaringan sosial-politik yang bisa mereka jangkau, termasuk berapa jumlah biaya yang harus mereka mobilisasi untuk menjadi presiden.
Jaringan sosial-politik dapat diganti dengan media massa, terutama TV. Sumber dana dapat dimobilisasi. Yang penting mereka memenuhi kriteria pemimpin yang cukup ideal, misalnya, bisa dipercaya (integritas), empati pada rakyat, punya penampilan berwibawa, cukup enak dilihat, dan dinilai mampu memimpin untuk mengatasi masalah-masalah yang dirasakan paling mendesak oleh rakyat, terutama yang berkaitan dengan ekonomi (kompetensi). Figur macam ini bisa disosialisasi dan bisa populer dengan cepat, dan sumber-sumber dana untuk itu dapat dimobilisasi. Dalam demokrasi, seorang calon pemimpin nasional umumnya mengandalkan dana dari fundraising, bukan uang sendiri. Lihat, misalnya, Bill Clinton atau Tony Blair. Mereka berlatar belakang profesional atau aktivis, bukan pengusaha atau dari keluarga kaya raya seperti George Bush atau Thaksin.
Belum munculnya tokoh alternatif yang cukup presidensial dari generasi lebih muda akan membuat peluang SBY semakin besar untuk kembali terpilih. Sampai hari ini peluang SBY masih lebih kuat dibanding Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Jusuf Kalla, maupun Sultan. Kalau SBY harus head to head dengan masing-masing tokoh ini, peluang SBY untuk menang menjadi lebih besar lagi. Peluang SBY yang lebih besar ini bukan hanya karena ia looks presidential, tapi juga karena pemerintahannya sekarang masih kurang buruk dibanding ketika Megawati memimpin. Walaupun belum setinggi yang diharapkan, ekonomi sekarang tumbuh lebih baik dibanding tiga tahun lalu. Kondisi politik dan keamanan juga lebih baik. Ketidakpuasan terhadap kinerja Presiden SBY belum serendah yang diharapkan lawan-lawan politiknya. Semua ini menguntungkan SBY.
Sentimen pemilih terhadap SBY yang masih cukup baik akan menjadi sulit disaingi oleh tokoh-tokoh yang pernah dikalahkannya dalam pemilu 2004 yang lalu. Juga, sulit disaingi oleh tokoh tingkat provinsi yang kinerjanya kurang cemerlang. Kehadiran mereka, tanpa tokoh-tokoh lain yang lebih memberi harapan, hanya akan membantu memuluskan SBY dalam pemilu 2009 nanti, kecuali jika dalam satu setengah tahun ke depan terjadi peristiwa luar biasa. Misalnya, pertumbuhan ekonomi merosot akibat dari krisis ekonomi global, tingkat pengangguran dan kemiskinan melonjak, stabilitas politik dan keamanan memburuk.
Kaukus Muda Bila memang kinerja pemerintahan SBY sekarang dinilai kurang memenuhi harapan dan perlu dilakukan pergantian kepemimpinan nasional, maka pemimpin alternatif harus menumbuhkan harapan bisa lebih baik dari SBY, dan peluang untuk memenangkannya harus cukup terbuka. Untuk itu harus ada terobosan untuk membentuk kaukus politik nasional dari generasi yang lebih muda, yang terdiri dari kekuatan lintas partai, profesi, ormas, dan lintas wilayah untuk memunculkan seorang figur alternatif yang berada pada usia produktif, berkarakter, dan inklusif. Pendeknya, terlihat presidensial.
Tidak mudah untuk mencari tokoh alternatif ini, tapi dapat dilakukan lewat satu gerakan terorganisasi dengan dukungan media massa. SBY menang bukan karena kekuatan partai politik, kekuatan ormas, keunggulan dana, keunggulan menggunakan jaringan tentara, dan bukan pula karena jaringan pemerintahan, tapi lebih karena karakter pribadinya yang dinilai lebih baik oleh pemilih. Ia terlihat lebih presidensial. Penilaian ini tumbuh dari kompleks persepsi yang bertumpu terutama pada informasi dari media massa, khususnya TV.
Mengkampanyekan seorang tokoh yang mempunyai keunggulan relatif dilihat dari kriteria seorang pemimpin nasional adalah kunci bagi terjadinya pergantian kepemimpinan nasional yang lebih baik pasca-2009. Partai politik, atau gabungan partai politik, sangat besar kemungkinannya mengikuti keinginan rakyat yang menjelma pada tokoh alternatif tersebut. Dua partai besar, Partai Golkar dan PDI Perjuangan, punya pengalaman buruk dalam pemilu 2004, dan itu karena kegagalan mereka menangkap keinginan rakyat. Dan mereka pasti tidak akan mau mengulang kegagalan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo