Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPASANG tangan itu tak lagi muda. Larik-larik urat berwarna kehijauan menyembul dari balik kulit yang mulai berbintik. Telah banyak musim yang dilalui pemiliknya, Helene Le Touzey. Namun, perempuan 54 tahun itu bergerak dengan kecepatan membalap usia: menulis, mengetik, merapikan dokumen, membuat catatan, menyiapkan makanan, menyetir, menelepon.?
Semua ia kerjakan sendiri, dengan berpusar pada satu titik: Michael Loic Blanc, anak lelaki yang ia lahirkan 32 tahun silam di Bonneville, sebuah kota di Provinsi Haute-Savoie, Prancis Timur. Michael, anak bungsu dari tiga bersaudara pasangan Helene Le Touzey dan Jean-Claude Blanc, 58 tahun, ini telah lima tahun lebih menghuni Penjara Kerobokan, sekitar 8 kilometer dari Denpasar, Bali.
Michael dijatuhi hukuman seumur hidup karena dituduh menyelundupkan 3,8 kilogram hasis melalui Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Lima tahun sudah Helene menetap di Bali menemani anaknya, dalam jarak yang terpisah sekitar tiga kilometer. Helene berdiam di Goa Village, Legian. Michael menempati salah satu sel Paviliun Bougenvile di Penjara Kerobokan.
Michael Loic Blanc ditangkap petugas imigrasi di Bandara Ngurah Rai pada 26 Desember 1999. Ketika itu dia baru kembali dari India?transit via Bangkok. Di Bali, Michael telah menetap setahun lebih. Bersama seorang teman, dia mengontrak rumah di Perumahan Canggu Permai di Canggu, Kuta.
Anak muda gemar bertualang sejak remaja. "Je suis un voyageur. Saya seorang pengelana," tuturnya kepada Tempo. Pada usia 19 tahun ia sudah pergi ke Senegal. Kemudian ke India, Karibia, Yunani, Malaysia, Thailand. Pendidikannya koki, juru masak. Dia juga mahir mendekor ruangan, gemar melukis. Di negeri-negeri yang ia singgahi, ada saja orang yang meminta jasanya.
Kegemaran berkelana itu akhirnya tersandung di Ngurah Rai. Di antara bagasinya?seperti tertulis dalam dokumen Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, 16 November 2000?terdapat tas hitam kombinasi hijau merek Sea Hornet berisi dua tabung selam. Ketika melewati mesin X-ray bandara, tas itu memancing wasangka petugas.
Petugas menahan tas bersama pemiliknya. Kedua tabung itu dibor. Tampaklah 189 lintingan dan 178 lempengan hasis seberat 3,8 kilogram. Dalam berkas perkara tindak pidana narkotik Direktorat Jenderal Bea Cukai Denpasar yang diperoleh Tempo, tercatat pula wawancara petugas pemeriksa dengan Michael Blanc pada 26 Desember 1999.
Tertulis di situ Michael menyilakan petugas memeriksa bagasi dengan anjing pelacak, karena, "Saya yakin bagasi itu bersih sejak saya bawa dari India," ujarnya kepada wartawan mingguan ini. Dokumen itu juga mencatat pengakuan Michael: dia yakin barang-barang haram itu milik kenalannya bernama Philip, warga Prancis keturunan Israel yang berdiam di Paris.
Keduanya berkenalan di sebuah kafe di Seminyak, Bali. Philip menitipkan tabung itu, yang sempat dibawa melanglang ke India sebelum dibawa kembali ke Indonesia. Philip menghilang, Michael masuk bui. Peristiwa pada 26 Desember itu mencampakkan Michael ke dunia lain yang tak pernah dikenalnya selama 26 tahun hidupnya: sel polisi, penahanan, pemeriksaan, dan penjara.
Pengacara Michael, Dwi Surya Adibudi SH, menyoalkan prosedur pemeriksaan di bandara yang, menurut dia, menyimpang dari aturan. "Michael tidak diperiksa bersama barang bukti dalam ruang yang sama, dan dia tidak didampingi oleh penerjemah berbahasa Prancis," Adibudi menjelaskan kepada Tempo.
Pengadilan Negeri Denpasar memvonis hukuman seumur hidup pada 16 November 2000. Helene, yang hadir di ruang sidang, merasa seperti ada godam besar yang ditimpakan ke atas tubuhnya. "Saya berada di sebuah negeri yang tidak saya kenal sistem hukumnya, orang-orangnya," katanya kepada Tempo dengan mata berkaca-kaca. "Saya hanya memeluk anak saya erat-erat.... Untuk sesaat, saya ingin sekali mengembalikan dia ke dalam rahim saya."
Adibudi dan timnya naik banding ke Pengadilan Tinggi Denpasar. Putusan tidak berubah. Permohonan kasasi juga berakhir buntu. Putusan Mahkamah Agung pada 14 Juni 2001 mengukuhkan kedua putusan terdahulu. Michael kembali ke Penjara Kerobokan. Usianya ketika itu 27 tahun.
KETIKA menatap anaknya dibawa kembali ke bui, Helene merasa seperti meluncur di atas es, tanpa sepatu. "Rasa dingin menjalar ke seluruh pori-pori tubuh, padahal siang terang-benderang," katanya. Seorang "petugas" datang berbisik: "Nyonya, sediakan uang Rp 900 juta. Saya kenal 'Hakim Anu' yang bisa meringankan hukuman di tingkat banding." Helene melambaikan tangan, meminta petugas itu pergi. Pikirannya justru melayang ke Bonneville, sepuluh bulan sebelumnya.?
Hari itu 28 Desember 1999, sekitar pukul tiga pagi. Telepon di rumahnya berdering-dering. Ibu tiga anak itu melompat dengan gembira dari tempat tidurnya. "Ah, anak-anak kalau menelepon suka tidak ingat perbedaan waktu," ujarnya. Putrinya, Samantha, yang telah menikah, berdiam di Karibia. Michael setahu Helene sedang berada di India. Si sulung Sebastien tinggal di Bonneville.
Suara di ujung sana tiba-tiba membekukan darah Helene. Konsul Kehormatan Prancis di Bali ketika itu, Michel Roure, mengabarkan Michael Loic Blanc ditahan oleh Polda Denpasar karena tersangkut kasus hasis. Michel Roure, yang ketika itu sedang menengok Michael di tahanan polisi, mengizinkan anak muda itu berbicara beberapa menit dengan ibunya: "Mama, mereka akan menuntut saya dengan hukuman mati," Helene menirukan Michael.
Helene segera mengontak ayah Michael, Jean-Claude Blanc?keduanya telah berpisah selama beberapa tahun?saudara perempuannya, Francoise, serta sahabatnya, Jean-Guy Chiesura, untuk mengabarkan berita buruk ini. Kepada Tempo, yang menemuinya di Bonneville, Jean-Claude mengakui pada awalnya tak mudah menerima kabar ada anggota keluarga terlibat kasus seperti ini.
Helene sendiri membuat keputusan cepat. Dia mengumpulkan setiap sen tabungannya dan memesan tiket pesawat ke Bali via Singapura. Musim panas belum berlalu ketika dia meninggalkan kota itu, suatu hari pada Agustus 2000. Kepada bosnya, Pierre Sylvand, Helene permisi akan pergi selama beberapa pekan. Pierre, yang telah mengetahui perihal Michael, memberinya sangu, begitu pula teman-teman dan para handai taulan. Begitu banyak oleh-oleh yang mereka titipkan untuk Michael, "Sampai bingung membawanya," Helene tersenyum?.
BEBERAPA pekan yang disebutkan Helene kepada Pierre Sylvand akhirnya menjadi bertahun-tahun. Telah tiga kali ia pindah kontrakan di Bali, selalu di dekat-dekat penjara. Setiap pagi Helene mengawali harinya dengan mencatat aneka keperluan Michael (lihat, Sebutir Apel kepada Michael) maupun sejumlah narapidana lain yang dibantunya.
Dulu, ketika masih ada acara besuk pada hari Minggu di Kerobokan, Helene praktis datang ke sana tujuh kali seminggu. "Kadang-kadang saya ingin sekali menjerit, meminta maman (ibu dalam bahasa Prancis?Red.) jangan datang. Saya menyeret dia ke dalam penjara bersama saya," ujar Michael saat Tempo menemuinya di penjara (lihat "Tanpa Maman, Saya Sudah Selesai").
Ketika Tempo mengikutinya ke penjara selama sepekan lebih, Helene tampak amat populer di sana. Semua penjaga mengenalnya, penjual minuman botol dan pemilik tikar sewaan menyapanya. Para napi asing maupun lokal keluar satu demi satu menemui tamu mereka, tapi selalu mampir ke Helene. "Hello Maman, how are you? Comment ca va, apa kabar? Mereka mencium, memeluknya, atau membelai pipinya.
Sebagian napi menyodorkan kertas-kertas kecil ke Helene. Astaga, rupanya itu "order bantuan". Ada yang memesan vitamin, meminta dituliskan surat kepada pacar atau keluarganya di luar negeri, meminta mengambilkan kiriman uang di bank, meminta dibelikan cat air untuk lukisan, atau menitipkan lukisan mereka yang sudah jadi ke galeri yang ada di Denpasar.
Niko Ferdos, misalnya. Napi asal Australia berdarah Iran ini adalah pelukis dan jauhari yang dihukum 15 tahun karena kasus narkoba. Helene mencarikan sponsor di luar penjara agar Niko, 45 tahun, bisa melukis. Sembilan helai lukisan telah diselesaikannya, dan Helene menyalurkannya ke sebuah galeri di Denpasar.
"Maman juga membantu saya mengontak Amnesty International di Australia," tutur Niko. Ada lagi Robert Fraser, 45 tahun, pelaut asal Skotlandia yang mahir membuat miniatur kapal layar. Hasil kerja tangannya halus dan kaya ornamen. Beberapa kapal layar mini buatannya menghiasi kamar Helene.
Wanita Prancis ini bahkan dijuluki "ibu para napi" di Kerobokan. "Salah satu yang rutin saya lakukan adalah menuliskan e-mail kepada keluarga sejumlah napi," ujarnya sembari tertawa. "Yang paling menyedihkan adalah menemani mereka yang menantikan hukuman mati," tuturnya.
Seperti Emmanuel O Ihejrika, 32 tahun. Napi berkulit hitam asal Sierra Leone ini divonis mati untuk kasus narkoba. "Maman membawakan saya uang Rp 100 ribu setiap pekan sehingga dapatlah saya membeli makanan tambahan," ujar anak muda ini.
Petugas di penjara sudah biasa melihat pemandangan Helene dirubung sejumlah napi. Wayan Mudastre, 44 tahun, staf sekuriti di Penjara Kerobokan, mengatakan selama 20 tahun di lembaga pemasyarakatan itu ia belum pernah menyaksikan seorang ibu yang begitu setia mengurusi anaknya di penjara. Mudastre mengakui, Helene "sangat populer" di Kerobokan. Ia bahkan sempat menasihati Helene, "Ibu, berilah juga waktu untuk diri sendiri."
Pasalnya, ada seorang napi wanita asal Timor yang melahirkan bayi di penjara. Helene menawarkan diri merawat bayi itu sampai si ibu bebas. Mulailah ia menenteng keranjang bayi ke sana-kemari sembari menggendong ransel di punggung serta tas makanan saat membesuk ke penjara. Dua bulan kemudian, keluarga wanita itu datang mengambil si bayi. "Dan kami lega karena Ibu Helene sudah tidak terlalu repot," ujar Mudastre sambil tersenyum.
Di kamar tidurnya di Goa Village, Helene menyimpan daftar nama 52 narapidana maupun tahanan pria dan wanita dari Inggris, Meksiko, Indonesia, Australia, Pakistan, Nepal, Filipina, Brasil, Sierra Leone, Skotlandia, Kamerun, Nigeria, dan lain-lain. Semua orang ini ia bantu secara khusus. Jadi ada semacam "infografik" tentang data si tahanan, kasusnya, keluarga yang harus dikontak, dan bantuan darurat maupun rutin apa yang paling diperlukan setiap orang ini.
Dan saban siang sebelum ke penjara, Helene mengeluarkan 4-5 helai amplop. Ke dalam setiap amplop, ia selipkan uang Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu untuk diberikan kepada napi yang dirasanya paling membutuhkan bantuan pada pekan itu. Di dalam amplop uang terselip nota-nota kecil. Helene hafal nama keluarga, orang tua, dan pacar si napi. Dan di atas nota-nota kecil itu tertulis berbagai pesan yang membesarkan hati dengan mencantumkan nama kecintaan si napi sebagai "pengirim surat dan uang"?.
UANG memang vital untuk menjalani perannya sebagai ibu Michael maupun "ibu para napi". Ketika uang pribadi Helene tandas dalam satu-dua tahun pertama, donasi mengalir dari mana-mana. Mengutip surat dari Sekretaris Jenderal Gerakan Pramuka Sedunia, Jacques Moreillon, kepada Presiden Megawati pada 13 Agustus 2001, "Di Prancis, kasus ini telah menjadi suatu kasus tersohor." Dalam suratnya, Jacques Moreillon memohon kepada Megawati (mantan Presiden RI) agar Michael Loic Blanc, "salah seorang anggota Pramuka", dapat dipindahkan ke Prancis dan menjalani hukuman di negerinya sendiri.
Saat ini, pemerintah Indonesia dan pemerintah Prancis memang sedang membahas protokol pemindahan tahanan (transfer of sentenced persons, TSP). Di Prancis sendiri, seperti yang disebutkan Jacques Moreillon, kasus Michael telah menjadi "perkara yang sohor". Acara untuk Michael ditayangkan di televisi Prancis saluran 2, TF2.
Sokongan memang datang dari mana-mana. Pangeran Albert dari Monako, penyanyi Celine Dion, dan bintang film papan atas Prancis, Johnny Hallyday, adalah beberapa selebriti dunia yang menyokong napi asal Prancis ini. Helene sendiri sempat menjadi "bintang media" di Prancis. Di Swiss dan Belgia, sejumlah media juga menuliskan kasus ini. Mingguan Paris Match pernah membuat laporan panjang tentang hidup Helene di Bali.
Organisasi The Pro Victims Foundation (berbasis di Swiss, organisasi ini didirikan untuk menyokong para "korban hukum yang terlupakan" di seantero dunia) juga membantu secara moril dan finansial. Sejumlah rekan dan masyarakat yang bersimpati mendirikan Asosiasi Pendukung Michael Blanc (lihat Bonneville Menunggu Si Bungsu) yang kini telah mengumpulkan hampir 80 ribu tanda tangan bagi petisi pembebasan Michael.
Agustus nanti Helene akan melewati lima tahunnya di Bali. Sampai kapan? "Sampai saya membawa anak saya pulang ke kampung kami," katanya kepada Tempo, dalam perjalanan ke penjara. Dia berhenti di sebuah apotek, membeli sekotak vitamin bagi Emmanuel O Ihejrika, yang sedang menantikan hukuman mati.?
Hermien Y. Kleden (Bali), Nuria Widyasari (Bonneville, Prancis), Akmal Nasery Basral (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo