Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI balik jendela restoran antik La Cabane Pêcheur, siang itu salju turun seperti menyulam langit yang mulai temaram. Padahal, beberapa saat sebelumnya rerumputan hijau masih menyisakan kehangatan bagi penduduk kota mungil tempat resto ini berada: Bonneville. Jaraknya sekitar lima jam perjalanan dengan kereta api dari Paris ke arah timur.
Februari baru tiba. Dingin memeluk sekujur negeri. Dan Bonneville, yang terletak di wilayah Haute-Savoie?persilangan Mont Blanc dan perbatasan Prancis-Swiss?tak terkecuali. Mulai dari daerah tertinggi Pointe d?Andey (1.877 meter di atas permukaan laut) sampai pusat kota Hôtel de Ville (450 meter).
Bonneville kota yang unik. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai tukang kayu, termasuk Jean-Claude Blanc, 58 tahun, ayah Michael. Januari lalu, Blanc baru kembali dari Iran dan Afrika Selatan setelah mengerjakan rumah kliennya. Siang itu Blanc mencoba menata emosinya. Matanya menatap ke luar jendela restoran.
Di tengah dingin yang mulai merajam tulang, kekesalan menyembur dari mulutnya. ?Waktu Michael dibutuhkan negara untuk wajib militer, ia datang. Tapi begitu Michael membutuhkan negara untuk membantunya keluar dari penjara, negara tidak datang,? katanya kepada Tempo.
Menurut Blanc, bahkan Menteri Luar Negeri Prancis, Michel Barnier, yang dihubunginya, pun tak tahu apa-apa tentang kasus ini. ?Padahal TF2 (televisi Prancis saluran 2?Red.) tiap Sabtu menayangkan program khusus untuk Michael,? katanya. Acara yang dipandu oleh Thierry Ardisson itu merupakan salah satu yang banyak ditonton orang Prancis di seluruh dunia.
Namun, tak seperti Helene, yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk Michael, Blanc baru dua kali menengok anak bungsunya itu. Mei nanti ia akan datang lagi ke Penjara Kerobokan, kali ini bersama Wali Kota Bonneville, Martial Saddier. ?Saya harus ikut bertanggung jawab karena bagaimanapun ia anak saya,? ujar Blanc.
Ketika Michael ditangkap petugas Bandara Ngurai Rai, Bali, lima tahun lalu, Blanc sudah bercerai dengan Helene Le Touzey. Dua kakak Michael, Sebastien dan Samantha, juga tinggal di Bonneville. Teman-teman Michael sejak kecil, seperti Delphine Deleau, 28 tahun, dan Yannick Boinet, 29 tahun, mengaku tak percaya ketika mendengar berita penangkapan Michael.
?Michael tak punya masalah serius yang menyebabkannya harus lari ke obat-obatan,? ujar Boinet. ?Michael bukan orang bodoh,? kata Franck Polzin, 31 tahun, teman sekamar Michael selama dua tahun ketika mereka menjadi murid SD Sainte Marie di La Roche. ?Dia tipe anak mama dan agak penakut,? kata Polzin, yang menitipkan pesan agar Michael belajar dari kearifan bambu, melengkung tapi tak patah saat diterjang angin (sois comme le Roseau, pli mais ne casse pas face au vent).
Seorang teman Michael yang lain, Kristian, membuat situs web (www.michael-blanc.com) yang mengorganisasikan petisi online bagi pembebasan Michael. Sampai Rabu malam pekan lalu, sudah lebih dari 78 ribu orang menandatangani petisi itu. Semua itu dimulai sebulan setelah Michael divonis hukuman seumur hidup pada November 2000 akibat tertangkap basah dengan hashish 3,8 kilogram di peralatan selamnya. Sejumlah rekan dan masyarakat yang bersimpati mendirikan Asosiasi Pendukung Michael Blanc.
Asosiasi tersebut menggelar konser musik untuk menggalang dana, membuka kontak dengan beragam jaringan di dalam pemerintahan maupun organisasi non-pemerintah. Ketika Desember lalu terjadi bencana tsunami, asosiasi itu menggalang dana untuk para korban yang diberikan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Prancis atas nama Michael Blanc. Salah seorang motor asosiasi adalah Pierre Sylvand, mantan bos Helene, pemilik sebuah atelier (bengkel) yang membuat papan penyelamat bagi para pemain ski.
Ketika kasus Michael terdengar di Bonneville, Helene baru bekerja empat bulan pada Sylvand. Kendati awalnya Sylvand bersikap skeptis, belakangan saking penasarannya Sylvand malah sampai membeli sebuah tangki selam dan melakukan berbagai percobaan untuk merekonstruksi kemungkinan tuduhan yang ditimpakan kepada Michael. Sebagai bendahara asosiasi, Sylvand-lah yang biasanya mengurus masalah pembiayaan perjalanan ke Bali.
Bagi penjabat Duta Besar Indonesia di Paris, Lucia H. Rustam, kasus Michael Blanc ini murni masalah hukum, tanpa muatan politis. ?Buktinya, Prancis sudah meminta grasi,? katanya. ?Tidak ada orang yang minta pengampunan kalau tidak melakukan kesalahan.? Lucia juga menyebutkan adanya pembicaraan tentang protokol pemindahan tahanan (transfer of sentenced persons, TSP) yang sedang dijajaki kedua negara. ?Indonesia sudah menyerahkan draf tentang itu pada 2003, namun belum mendapat tanggapan dari pemerintah Prancis,? katanya.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Hervé Ladsous, mengakui negerinya menyodorkan dua permintaan itu. Namun, ia menampik bila disebutkan Prancis belum memberikan draf balasan (counter-draft). ?Draf itu sudah diberikan kepada Menteri Luar Negeri Indonesia dalam pertemuan Menteri Luar Negeri kedua negara (11 Januari lalu?Red.),? ujar Ladsous.
Jawaban lebih tegas datang dari Duta Besar Prancis di Indonesia, Renaud Vignal, yang memastikan draf TSP saat ini sedang dibahas secara rinci oleh kedua negara. ?Tapi, persetujuan bilateral seperti ini belum bisa diumumkan kepada publik sebelum negosiasi tuntas,? ujarnya dalam jawaban tertulis kepada Tempo.
Kalau sudah begitu, harapan masyarakat Bonneville untuk bisa melihat salah satu putra daerahnya bebas dalam waktu dekat tampaknya masih belum bisa terlaksana. Entah berapa musim dingin lagi yang harus dihabiskan Jean-Claude sebelum bertemu si bungsu di kampung halaman.
Akmal Nasery Basral (Jakarta), Nuria Widyasari (Bonneville, Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo