Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Hillary, keras sejak kecil

Sekilas profil hillary clinton pada masa usia se- kolah. dibanding teman-teman sekolahnya, ia lebih mementingkan pelajaran. suka diskusi politik. sejak sd, nilai rapornya a.

30 Januari 1993 | 00.00 WIB

Hillary, keras sejak kecil
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HILLARY bukan model wanita yang gemerlapan, tapi tetap bisa muncul sebagai gadis bermata biru dengan rambut pirang yang menarik. Ia baru mulai berhias dengan menggunakan alat kosmetik ketika berumur tiga puluh tahun. ''Saya kira ia menganggap berhias bodoh dan dibuat-buat. Ia tak punya waktu untuk itu,'' kata ibunya, Dorothy Rodham. ''Orang tidak tahu bahwa Hillary sangat kolot, sangat tradisional,'' kata Sara Bluman, yang sudah berteman dengan Hillary selama 20 tahun. Dan kalau Hillary tak banyak berkencan, itu semata-mata Hillary tak mudah tertarik melihat teman prianya. ''Hillary tahu ia bernilai tinggi, saya suka itu,'' kata ibunya. Hillary tak pernah mau ikut bergabung dengan barisan pom-pom girls, yakni sejumlah gadis sekolah yang menjadi pendukung regunya dalam satu petandingan basket misalnya, dengan cara menari tiap kali regunya membuat score. Hillary lebih mementingkan pelajaran. Maka ia habiskan waktunya untuk berdiskusi tentang politik, drama, Sputnik, maupun tentang olah raga -- khususnya baseball. ''Kami duduk di teras rumahnya dan memecahkan berbagai persoalan di dunia ini,'' ujar Rick Ricketts, temannya sejak berusia delapan tahun. Dan tampaknya kala itu cita-cita menjadi ibu negara tak pernah mampir di benak Hillary, yang sejak kecil bercita-cita menjadi astronaut. Kalaupun ingin mengubah cita-cita, ia paling memilih menjadi dokter. Ibunya, yang selagi hamil juga menyiapkan nama untuk anak laki-laki, memilih nama Hillary karena nama itu aneh dan tidak biasa. Entah karena nama itu atau karena sesuatu yang lain, misalnya pengaruh suasana ketika ia dibesarkan, Hillary kecil memang mirip anak laki-laki pemberani. Menurut Dorothy Rodham, ibunya itu, ''Ia tumbuh dengan sangat berani dan tidak takut melihat apa pun.'' Bahkan di sekolah, Hillary berani memukul temannya jika memang ia harus melakukan itu. Beranjak remaja, ketika teman-teman wanitanya sibuk bergunjing soal cowok, Hillary malah menjadi pengawas keselamatan di kolam renang. Hillary memang dibesarkan dalam suasana keras Amerika pasca-Perang Dunia II. Ayahnya, Hugh Rodham, lulusan sekolah pendidikan jasmani, dan selama Perang Dunia II menjadi instruktur pelaut, sebelum akhirnya ikut berperang. Usai perang, Rodham hidup dari bisnis gorden rumah. Dan semuanya ia kerjakan sendiri: mulai dari mendesain, mencari order, menjahit, sampai memasangnya. Orang-orang di Park Ridge dengan mudah bisa mengenali Hugh Rodham, yang selalu berkeliling mencari order dengan mobil Cadilac-nya yang itu-itu juga. Hugh Rodham juga terkenal hidup irit. Kedua adik Hillary pernah menjadi asisten ayahnya tanpa pernah mendapat bayaran sepeser pun. Hugh juga tidak suka memuji anak-anaknya. Hillary, misalnya, selalu pulang ke rumah dengan banyak nilai A sejak SD sampai SMA. Dan tiap ia menunjukkan rapor pada ayahnya, Hillary tidak pernah mendapat pujian. ''Kau pasti pergi ke sekolah yang sangat mudah,'' gumam ayahnya. Agaknya, itu yang membuat Hillary berkarakter mandiri dan keras. ''Memang kakakku keras sekali, keras seperti paku,'' kata Tony Rodham, adik bungsu Hillary. Konon, selain kedua orang tuanya, pendeta Donald Jones banyak berperan dalam membentuk karakter Hillary. Ketika kuliah di Yale Law School, Hillary tak lupa memberi kabar pada pendetanya itu lewat surat bertulisan tangan. Dan surat-suratan itu terus berlangsung sampai 23 tahun kemudian, ketika ia sudah menjadi pengacara ulung dan pendamping orang nomor satu Partai Demokrat di Arkansas. Hillary mengenal Jones ketika masih duduk di kelas sembilan. Saat itu Jones, yang berusia 30 tahun, baru saja menyelesaikan sekolah teologi dan bertugas di gereja berdinding bata merah di Park Ridge. Anak-anak Park Ridge selalu menyebut kelas agama Kamis malam sebagai universitas kehidupan. Dalam kelas itu Jones memberikan pelajaran agama dengan cara unik. Ia bawa lukisan Malam Penuh Bintang karya pelukis Belanda Van Gogh (tentu saja repoduksinya, bukan aslinya) untuk bercerita tentang Tuhan dan alam. Lukisan itu, seperti umumnya gaya Van Gogh, merupakan lukisan yang sangat ekspresif, dengan sapuan cat yang jelas iramanya, kasar, dan mudah membuat penglihatnya terbawa oleh suasana yang dipancarkannya. Dan lukisan satu ini memang melukiskan pemandangan pada suatu malam dengan langit penuh bintang. Lantas, dalam kesempatan lain, Jones membawa lukisan Guernica-nya Picasso, untuk bercerita tentang Tuhan dan kekerasan. Guernica, itulah protes Picasso, pelukis Spanyol, tentang pengeboman etnis Basque dalam perang saudara Spanyol, yang berakibat tewasnya ribuan orang Basque dan rusaknya lingkungan tempat tinggal mereka. ''Aku menghubungkan teologi dengan kebudayaan populer, seni, dan dunia ini,'' cerita Jones. Dan selalu ada diskusi bebas. Bahkan, untuk memancing diskusi, Jones juga mengajak orang ateis ke dalam kelasnya, atau mengangkat masalah kehamilan remaja sebagai tema diskusi. Pelajaran dan cara Jones mengajarkannya itulah, konon, sangat berkesan bagi Hillary, yang membuatnya terus menjalin kontak dengan pendeta itu. Satu hal lagi, menurut Jones, yang paling berkesan bagi Hillary, seperti yang sering ia tulis dalam suratnya, adalah ketika ia dibawa oleh Jones ke Klub Minggu Malam di Chicago utuk mendengarkan khotbah Martin Luther King Jr. ''Ia selalu ingat dengan tepat bagaimana aku membawa mereka ke belakang dan mengenalkan tiap anak satu per satu pada Pendeta King,'' kata Jones. Lewat kelas Jones itulah Hillary makin terampil beradu pendapat dan berwawasan luas. ''Ia (Hillary) sangat tangkas, aku selalu merasa diriku lucu jika berada dekat dia,'' ujar Bob Stenson, kini seorang akuntan, yang dulu menjadi pesaing Hillary di National Merit Scholar. ''Ia pesaing yang berat, aku sering berharap ia sesekali tersandung juga,'' kata Bob mengenang. Dan cita-cita Bob tercapai ketika Hillary kalah dalam pemilihan jabatan presiden di SMA-nya itu. Mungkin Stenson kini masih merasa lucu bila berdekatan dengan Hillary: pesaingnya di sekolah yang dulu ia kalahkan kok kini menjadi ibu negara. LPS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus