Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hindania dan Politik Antara Dua Karang

19 Mei 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMAKU Hindania! Karya pertama Hatta ini dimuat di majalah Jong Sumatra pada 1920. Sang tokoh, Hindania, alias Hindia Belanda, adalah janda kaya yang menyesal kawin dengan Wollandia—Negeri Belanda—lantaran suami baru itu mengeruk habis hartanya. Sebuah romantika patriotik karya seorang pemuda 18 tahun, pelajar rantau Minang di Prins Hendrik Handels School di Betawi.

Separuh abad kemudian, cinta Hatta kepada buku makin menjadi. Ia bukan cuma pelahap berbagai jenis bacaan, tapi juga penulis buku yang produktif. Hatta, Sebuah Bibliografi, terbitan Yayasan Idayu tahun 1988, mencatat ada 86 karya tulis, amanat, dan pidato Hatta dengan beragam topik. Sebagian ditulis di Belanda, atau sebagai hasil kuliah di sana, seperti Tujuan dan Politik Pergerakan Nasional Indonesia (1931), Krisis Ekonomi dan Kapitalisme (1934), Rasionalisasi (1939) dan Mentjari Volkenbond dari Abad ke Abad (1939).

Hatta juga menulis buku-buku teks yang lugas dan terang, seperti Alam Pikiran Yunani (1941), Pengantar ke Djalan Ekonomi Sosiologi (1957), dan Pengantar ke Djalan Ilmu dan Pengetahuan (1954). Beberapa Fasal Ekonomi (1943) merupakan buku pengantar ilmu ekonomi dengan penjelasan mendasar seperti apa itu uang, bagaimana bank bekerja, dan dilema muslim tentang rente.

Salah satu karyanya yang ikonik adalah ketika Hatta, seorang sosialis religius, mengukuhkan sikap antikomunisnya melalui buku tipis 114 halaman berjudul Mendajung Antara Dua Karang. Ia menegaskan prinsip kebijakan luar negeri yang bertahan hingga kini: politik bebas aktif.

Mendajung Antara Dua Karang dilansir pertama kali oleh Penerbitan Negara, Yogyakarta, pada 1946. Judul awalnya Dasar Politik Luar Negeri Indonesia. Dua tahun berikutnya, Hatta membawakannya sebagai pidato pemerintah di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat—yang menjadi cikal-bakal parlemen negeri ini.

Kala itu, September 1948, Hatta baru enam bulan menjadi perdana menteri. Posisi itu sebelumnya dipegang Amir Sjarifuddin, tokoh komunis terkuat pada masa itu. Tapi kabinet Amir bubar karena ia meneken Persetujuan Renville, yang dianggap merugikan Republik.

Hatta kemudian mengajak Amir bergabung dalam kabinetnya. Tapi Amir menolak. Bahkan, melalui Front Demokrasi Rakyat—gabungan sejumlah organisasi kiri, seperti Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Komunis Indonesia, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia—Amir menyatakan beroposisi. Ia dan kelompoknya ingin pemerintah mengambil jalan komunis seperti Rusia. Tak tanggung-tanggung, front itu menuntut 10 dari 17 kursi kabinet. Menurut sejarawan Deliar Noer, Hatta sangat marah, ”Sampai-sampai meminta para pengawalnya mengeluarkan mereka dari kamar.”

Jelasnya, Hatta tak ingin melihat Indonesia terombang-ambing antara Amerika yang kapitalis dan Rusia yang komunis. Hatta memandang politik Soviet mencla-mencle. Kurang dari tiga dekade, katanya, Soviet telah tujuh kali pindah kanan, pindah kiri. ”Kalau Marx menyesuaikan taktik pada keadaan, politik kita mesti begitu juga,” Hatta menulis. ”Kita jangan menjadi obyek pertarungan politik internasional.”

Setelah tulisannya tentang tata ekonomi dunia—yang banyak mengutip Marx—dimuat di majalah bulanan Sin Tit Po pada 1938, tak sampai setahun kemudian terbit kritik sinis dari Mevrouw Vodegel Soemarmah. Ternyata penulis artikel berjudul ”Apakah Hatta Seorang Marxis?” itu Tan Ling Djie, yang di belakang hari menjadi Sekretaris Jenderal Partai Tionghoa Indonesia. Ia kemudian juga aktif di Partai Komunis Indonesia.

Hatta membalas. ”Tan Ling Djie lima tahun dididik sebagai propagandis komunis di Moskow,” katanya, mengawali jawaban sepanjang belasan halaman. Sayang, tulisan Hatta berjudul ”Ajaran Marx, atau Kepintaran Sang Murid Membeo?” itu baru dimuat di majalah mingguan Nationale Commentaren milik Dr Sam Ratulangi pada 1940 alias setahun kemudian. Penyebabnya: Sin Tit Po sudah lenyap dari pasar.

Membaca buku-buku Hatta, benarlah apa yang ditulis Profesor George McT. Kahin, bapak studi Indonesia dari Universitas Cornell, Amerika Serikat, yang menulis buku In Memoriam: Mohammad Hatta (1902-1980). Hatta, di mata Kahin (yang telah wafat pada 2000), adalah tokoh besar yang jujur, tidak korup, dan dengan tulus mengabdikan hidupnya untuk menegakkan keadilan sosial dan membangun negara demokratis.


(2) Dasar Politik Luar Negeri Indonesia (Mendajung Antara Dua Karang) Penerbit: Penerbitan Negara, Yogyakarta (1946), NV Bulan Bintang (1976 dan 1988)

(3) Beberapa Fasal Ekonomi Penerbit: Balai Pustaka (1942), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1954)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus