Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu.
SEOLAH meramal masa depan, Mohammad Hatta menulis kalimat itu lima tahun sebelum Soekarno kehilangan kekuasaannya. Ketika itu Hatta sudah tak lagi menduduki jabatan wakil presiden. Tak lama setelah Soekarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Hatta pamit mundur. Itulah tanda dimulainya periode gelap dalam sejarah Indonesia, diberlakukannya demokrasi terpimpin. Sekaligus pada saat yang sama: berakhirnya duet Soekarno-Hatta.
Bagian penting dari Demokrasi Kita adalah kritik Hatta kepada Bung Karno. Berkali-kali, dalam berbagai pidato, Soekarno menolak demokrasi Barat yang ditudingnya saling serang, saling terjang (free fight democracy). Menurut Bung Karno, demokrasi ala Barat ini membahayakan persatuan. Itulah sebabnya, ia menggagas demokrasi yang ditopang empat kaki: nasional, Islam, komunisme, dan tentara.
Gagasan ini diwujudkan dengan konsep Nasakom (persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis). Soekarno yang gandrung akan persatuan menganggap gagasannya ini bisa menghindari pertempuran antarkelompok. Untuk mewujudkan gagasannya, ia membubarkan Konstituante—dewan perwakilan yang ia tuding hanya sibuk berkelahi sehingga gagal menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan Soekarno membubarkan parlemen ini sebagian diambil karena desakan tentara, kekuatan politik yang perannya sangat minim dalam pentas nasional.
Inilah yang terutama dikritik Hatta. ”Demokrasi bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan,” demikian Hatta menulis.
Saling serang Soekarno-Hatta sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Demokrasi Kita ditulis. Bung Karno, seperti dikutip Cindy Adams dalam Penyambung Lidah Rakyat, pernah berkata, ”Aku dan Hatta tidak pernah berada dalam gelombang yang sama.”
Hatta menyebut Soekarno sebagai orang yang tak pernah masuk ke detail, hanya bicara garis besar. Seraya mengutip hikayat Goethe’s Faust, Hatta menuding Karno sebagai kebalikan tokoh Mephistopheles yang mengklaim dirinya sebagai, ”... ein Teil jener Kräfte, die stets das Böse will und stets das Gute schafft”—bagian dari satu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk tapi selalu menghasilkan yang baik. ”Soekarno kebalikan dari itu. Tujuannya baik tapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuan itu,” tulis Hatta.
PERNAH Soekarno mempermasalahkan Hatta yang mengeluarkan Maklumat Nomor X, 3 November 1945. Dalam maklumat itu Hatta menyampaikan partai-partai perlu diberi tempat untuk tumbuh.
Ide Hatta sederhana saja: partai adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Karena itu, kata Hatta, ”Sedjauh tetap memperdjuangkan mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan, Pemerintah menjukai timbulnja partai2 politik, karena dengan adanja partai2 itulah dipimpin ke djalan yang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat.”
Soekarno menyebut maklumat itu pintu ke arah perseteruan antarpartai. ”Terima kasih Tuhan bukan Soekarno yang menandatangani maklumat itu,” kata Soekarno dengan sinis.
Dalam ceramahnya di Institut Pertanian Bogor, Juni 1966, Bung Hatta kembali menjawab serangan Bung Karno. Hatta tak membantah bahwa sistem multipartai di Indonesia membawa ekses buruk, yakni pertarungan tak sehat partai-partai serta lahirnya pemerintahan yang lemah pada masa demokrasi parlementer (1955-1959). Tapi katanya, ”Bukan dalam Maklumat Wakil Presiden 3 November 45 yang menegaskan adanya demokrasi terletak kesalahan, tetapi dalam partai-partai dan para pemimpin yang lupa daratan.” Dengan kata lain, Hatta membedakan ide dengan praktek.
Partai politik yang lahir pada masa demokrasi parlementer memang menunjukkan sisi buruk demokrasi. Partai dibanjiri orang-orang yang berebut posisi, mengincar kedudukan dan pembagian rezeki. Partai berkembang biak. Anggota partai yang lama memisahkan diri dan membentuk partai baru bukan karena perbedaan ideologis tapi karena persoalan ”rezeki” yang tak merata.
Dalam Demokrasi Kita, Hatta mengkritik keadaan ini. Menurut dia, partai-partai sesungguhnya belum mempraktekkan demokrasi karena keputusan di dalam partai tidak diambil dari bawah melainkan didrop dari atas.
Ketika itu negara tak menentu. Pemerintah jatuh-bangun. Kabinet tidak dianggap sebagai amanah orang ramai, tempat orang menerapkan jimat ajimumpung. Partai menjadi agen korupsi, menjadi pemberi lisensi agar uang masuk ke kas partai untuk kepentingan pemilihan umum. Akibatnya, kabinet tidak memikirkan negara. Agenda menyejahterakan masyarakat terabaikan. Rakyat mengeluhkan demokrasi: daerah tidak dipedulikan—agenda otonomi diabaikan. Tentara berang.
Di sinilah Hatta menyimpulkan bahwa demokrasi parlementer yang ultrademokratis melahirkan kediktatoran. Katanya, ”Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya: diktator.”
Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin Buya Hamka pada 1960. Tapi justru karena tulisan itu Pandji dibreidel oleh Perdana Menteri Subandrio. Buya Hamka, pemimpin redaksinya, dipenjarakan.
Buku tipis, 36 halaman, ini baru diterbitkan pada Juni 1966 setelah Soekarno jatuh. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Jaksa Agung tanggal 30 Mei 1966 mengumumkan bahwa artikel itu boleh diterbitkan dalam bentuk buku. Dijual dengan harga Rp 3 per buah, Demokrasi diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.
Sejarawan Amerika, George Kahin, menyebut Demokrasi sebagai ”salah satu pernyataan yang paling jelas tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi Hatta”. Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai ”otobiografi intelektual”, yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta sebagai seorang patriot dan negarawan.
Buya Hamka menganggap terbitnya Demokrasi Kita adalah anugerah. ”Satu obat penawar karena buku ini dikeluarkan setelah saya dibebaskan dari tahanan selama dua tahun empat bulan karena fitnah prolog Gestapo/PKI dan Biro Pusat Intelijen,” tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita.
Lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat, Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di Kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Ketika umurnya belum 10 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit. Ketika itu di Aur Tajungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang-orang yang lewat.
Pemerintah kolonial murka karena di Kampung Kamang, 16 kilometer dari rumah Hatta, rakyat berontak: mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan, orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang dicokok adalah Rais, sahabat kakek Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta.
Pengalaman demi pengalaman pahit menggembleng Hatta. Ia memang bukan Soekarno yang sanggup membakar massa melalui pidato-pidatonya yang memikat. Hatta lebih banyak diam: ia lebih suka menulis. Isi buku-bukunya menggambarkan spektrum minatnya yang luas: politik, ekonomi, sosial, dan sastra.
Tokoh yang disukai Hatta adalah Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, penulis Belanda yang pernah menulis novel Max Havelaar. Satu ucapan Dekker yang kerap dikutip Hatta, dengan tepat menggambarkan sosok bekas wakil presiden itu: onhoorbaar groeit de padi, tak terdengar tumbuhlah padi. Hatta adalah padi yang tak terdengar itu.
(1) Demokrasi Kita Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo