Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tampil Stylish dengan Pakaian Bekas

Di tengah tren padu padan fashion sebuah merek ternama, sejumlah anak muda meramaikannya dengan berbagai kreativitas. Ada yang tampil stylish dengan pakaian bekas dari hasil thrifting hingga mendaur ulang pakaian bekas menjadi baju baru.

29 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penggemar preloved fashion, Siti Maryamul Ilfa, melakukan Gucci Challenge. Dok. Siti Maryamul Ilfa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Ketimbang membeli outfit mahal, Maryam memilih barang-barang preloved.

  • Lisa Andriani membuat pakaian baru dari baju-baju bekas.

  • Lisa memiliki target menjual baju-baju hasil upcycling.

Memadupadankan fashion lalu berpose layaknya seorang model sebuah merek ternama tengah menjadi tren di kalangan pengguna media sosial. Para selebritas hingga pemengaruh ikut meramaikan tantangan bernama Gucci Challenge itu. Mereka mengunggah video singkat berdandan ala model Gucci. Namun tak semua menggunakan busana dan aksesori merek tersebut. Ada pula yang berkreasi dengan busana murah, bahkan pakaian bekas. Salah satunya Siti Maryamul Ilfa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam video di Instagram, ia mengenakan kemeja seharga Rp 25 ribu, mantel Rp 80 ribu, kacamata hitam Rp 25 ribu, tas pesta hitam milik ibunya, dan kerudung motif Rp 70 ribu. Meski bukan barang bermerek, ia mampu menampilkan kesan mewah dan estetik. “Mungkin karena editing, ya. Aku suka edit-edit gitu. Jadi, dari editing-nya biar kelihatan supermodel,” kata Maryam—panggilan akrab Siti Maryamul Ilfa—kepada Tempo, Rabu, 25 Mei 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Video tersebut telah disaksikan lebih dari 470 ribu orang. Busana yang dikenakan Maryam sebagian besar bukanlah barang baru. Kemejanya ia beli dari pedagang baju-baju bekas yang berjualan dalam acara hari bebas kendaraan bermotor atau car-free day di Cimahi, Jawa Barat. Untuk mantel, Maryam membelinya di marketplace. Sedangkan kerudungnya, merek H&M, mendapat diskon.

Kreator konten fashion itu memang lebih senang memburu busana preloved ketimbang membeli outfit mahal. Pasalnya, barang second tersebut biasanya bermerek dan masih layak pakai. Blazer merek Zara, misalnya, harga barunya sampai Rp 800 ribu. Namun harga preloved yang pernah dijumpai Maryam hanya sekitar Rp 70 ribu. “Paling mahal Rp 100 ribu. Tapi barang sama saja.”

Siti Maryamul Ilfa menunjukkan gaya pakaian hari ini (OOTD). Dok. Siti Maryamul Ilfa

Selain barang-barang preloved, Maryam gemar thrifting, yaitu membeli barang bekas dengan harga murah. Kebanyakan barang yang dicarinya adalah crewneck oversize dan celana. Di media sosial, anak keempat dari enam bersaudara ini sering membuat video mix and match busana hasil thrifting maupun beli online. Ia juga "meracuni" para pengikutnya dengan menyertakan tautan untuk membelinya bagi yang tertarik.

Sejak usia sekolah dasar, perempuan berusia 25 tahun ini memang sudah gemar membeli baju dan memadupadankannya. Ia juga kerap melakukan OOTD atau outfit of the day, sebuah istilah untuk menunjukkan pakaian yang dikenakan hari itu, di media sosial. Keinginan untuk tampil modis pun terbawa hingga kesehariannya. “Kalau ke warung tetap stylish,” ujar Maryam, seraya tertawa.

Untuk gaya, Maryam mengaku senang dengan tampilan penuh warna, layering, dan glamor. Biasanya ia mencari referensi mix and match lewat Pinterest. Alumnus IKIP Siliwangi ini juga terinspirasi oleh gaya berpakaian sejumlah influencer, seperti Jovi Adiguna dan Aghnia Punjabi.

Padu padan busana dari pakaian bekas juga dilakoni Lisa Andriani. Perempuan berusia 29 tahun itu bahkan membuat pakaian baru dari baju-baju bekas atau dikenal dengan istilah upcycle. Dengan kreativitasnya, warga Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini memfungsikan ulang sampah baju rumah tangga menjadi produk layak pakai.

‌Co-founder GombalProject.id, Lisa Andriani, mengenakan baju hasil "upcycling" dari kombinasi batik milik bapaknya dan blus milik ibunya. Dok. Lisa Andriani

Kegiatan itu bermula ketika baru lulus kuliah S-2 pada 2018. Ia bersama dua temannya sering melakukan awul-awul, istilah lain dari thrifting. Lisa mencari pakaian bekas dari luar negeri setiap kali ada perayaan Sekaten. Menurut dia, hampir sebagian besar pasar malam dalam acara Sekaten selalu dipenuhi pedagang baju bekas. Karena terlalu banyak, baju dagangan itu tidak lagi digantung rapi, melainkan ditumpuk menggunung.

Jika turun hujan, baju-baju tersebut akan kotor dan tidak terjual. “Pasti kan bakal terbuang. Padahal ada segunung baju yang sudah bekas. Kami mikir, oh, jangan-jangan ini bakal jadi sampah,” kata Lisa.

Ketika itu, wacana daur ulang masih sebatas pada sampah plastik dan belum menyentuh pakaian bekas rumah tangga. Akhirnya, ia dan kedua sahabatnya memutuskan untuk membuat gerakan dan melahirkan GombalProject.id. Komunitas ini memiliki misi mengedukasi masyarakat bahwa pakaian bekas tak terpakai bisa menjadi barang baru.

Karena tak memiliki keahlian menjahit, alumnus jurusan hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini belajar secara otodidaktik melalui YouTube. Berbekal mesin jahit tua di rumahnya, Lisa belajar membuat pola dan menjahit pakaian bekas menjadi sebuah tas. Produk tersebut kemudian dijual di GombalProject.id.

Tas "upcycling" dari denim yang dijual GombalProject. Dok. Gombal Project

Setelah mahir membuat tas, Lisa menantang dirinya untuk menjahit sesuatu yang lebih kompleks. Ia pun mencoba membuat baju baru untuk dirinya, dengan mengambil beberapa bagian dari pakaian bekas milik orang tuanya. “Dari 2018 sampai sekarang, aku benar-benar enggak beli baju, kecuali kebutuhan seragam kantor. Baju pribadi enggak pernah beli.”

Lisa juga mengungkapkan bahwa teman-teman kantornya merespons positif baju-baju upcycle buatannya. Tak jarang pula sebagian dari mereka minta dibuatkan baju baru dari pakaian bekas. Total sudah belasan baju di lemari Lisa merupakan hasil daur ulang. Baju-baju tersebut juga ia desain sendiri mengikuti selera berpakaiannya.

Lisa sebetulnya memiliki target untuk dapat menjual baju-baju hasil upcycle. Namun hal itu belum bisa diwujudkan karena kesibukannya bekerja sebagai pegawai dan mengurus GombalProject. Ia mengatakan tren menjual baju upcycling memang sudah banyak. Sayangnya, masih sedikit yang mengambil bahan-bahan dari baju bekas rumah tangga.

“Semoga di masa depan yang dimulai dari diri sendiri bisa diproduksi dalam jumlah besar, dan sampah pakaian yang masuk ke tempat pembuangan akhir bisa berkurang.”

FRISKI RIANA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Friski Riana

Friski Riana

Lulus dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana pada 2013. Bergabung dengan Tempo pada 2015 di desk hukum. Kini menulis untuk desk jeda yang mencakup isu gaya hidup, hobi, dan tren. Pernah terlibat dalam proyek liputan Round Earth Media dari International Women’s Media Foundation dan menulis tentang tantangan berkarier para difabel.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus