Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi keputusan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali untuk menuntut bebas I Nyoman Sukena karena memelihara empat ekor landak jawa yang terkategori satwa dilindungi, tuntutan ini disampaikan dalam sidang agenda pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Jumat, 13 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Nyoman Sukena didakwa dengan Pasal 21 ayat (2) huruf a jo. Pasal 40 ayat (2) UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE). Sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Denpasar pada 13 September 2024 lalu itu telah sampai pada sidang pembacaan tuntutan. Penuntut Umum menuntut Sukena dengan tuntutan bebas sebab tidak ditemukan adanya mens rea atau sikap batin yang jahat dalam diri terdakwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih lanjut, Penuntut Umum mengatakan perbuatan terdakwa bertentangan antara kewajiban hukum dan kepentingan hukum dimana kewajiban hukum terdakwa adalah sebagai manusia yang adil dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila dan falsafah Bali “Tri Hita Karana” yang artinya bentuk pemujaan atau interaksi kepada semesta dalam konteks menjaga hubungan kepada Tuhan, sesama manusia, dan alam hayati atau hewan. Diketahui landak Jawa yang dipelihara Sukena digunakan sebagai pelengkap upacara ritual keagamaan Hindu.
Di sisi lain, perbuatan Sukena juga dianggap bertentangan dengan kepentingan hukum sebab, peraturan perundang-undangan melarang setiap orang untuk memiliki dan memelihara satwa yang dilindungi. Adapun, Penuntut Umum juga memperhatikan kurangnya pemahaman terdakwa terhadap jenis satwa yang dilindungi serta sikap terdakwa yang beritikad baik merawat landak jawa.
ICJR turut mengapresiasi tuntutan Jaksa, namun terlepas dari tuntutan itu, berdasarkan asas oportunitas, Jaksa disebut berwenang untuk menuntut dan tidak menuntut sebuah perkara pidana. Jaksa tidak wajib menuntut seseorang jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Hal itu merujuk pada Putusan MK No. 29/PUU-XIV/2016, asas oportunitas atau kewenangan seponering dalam Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) tidak dimaksudkan untuk menghilangkan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kewenangan ini justru diterapkan oleh Jaksa Agung demi kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Di samping itu, landasan untuk tidak menuntut juga dapat ditemukan dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP, antara lain tidak menuntut karena tidak terdapat cukup bukti, peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, atau perkara ditutup demi hukum.
Untuk diketahui, asas oportunitas merupakan bagian dari kewenangan dominus litis jaksa, yaitu jaksa sebagai pengendali atau pemilik perkara. Adanya kewenangan ini menunjukkan signifikansi peran jaksa sejak awal proses penyidikan (sebagai bagian proses yang ditujukan untuk melakukan penuntutan) hingga proses penuntutan itu sendiri.
Namun, asas oportunitas masih diartikan secara sempit sehingga menimbulkan pemahaman bahwa hanya Jaksa Agung yang dapat mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Dalam tataran praktik, pemaknaan kepentingan umum yang melingkupi kepentingan negara atau masyarakat akhirnya diterapkan pada kasus-kasus yang hanya bernuansa politis.
Adapun ICJR menilai kasus ini sedari awal tidak perlu diajukan ke persidangan. "Menilik kembali kasus I Nyoman Sukena, ICJR menilai seharusnya kasus ini sedari awal tidak perlu diajukan ke persidangan, adanya perubahan sikap Jaksa di persidangan juga jangan sampai dimaknai bahwa kasus ini dituntut bebas hanya karena telah viral di tengah masyarakat," ujar Direktur ICJR Erasmus Napitupulu, Selasa, 17 September 2024.
Meski ICJR menilai alasan tuntutan bebas ini masih dapat diperdebatkan, namun sikap Jaksa yang menilai tidak adanya mens rea atau sikap batin yang jahat perlu menjadi catatan penting dalam cara Jaksa melakukan penuntutan di kasus-kasus lainnya. "Jaksa harus konsisten mengimplementasikan contoh baik ini, khususnya di kasus-kasus serupa yang tersangka atau terdakwa menunjukkan tidak adanya niat atau sikap batin jahat," ucap dia.
Misalnya, kasus Septia yang dilaporkan pidana oleh Jhon LBF, seorang pengusaha yang dikritik oleh Septia di akun medsos miliknya. Dalam kasus tersebut diduga terdapat pertentangan antara kepentingan hukum yang satu (hak untuk berpendapat dalam hal memperjuangkan hak-hak ketenagakerjaan) serta kepentingan hukum yang lain (UU ITE) sehingga sudah seharusnya catatan ini turut dipertimbangkan.
"Septia juga tidak memiliki sikap batin jahat karena apa yang disampaikannya adalah fakta dan jelas bagian usaha untuk menuntut hak ketenagakerjaan," kata Erasmus.
Dengan demikian, ICJR memandang bahwa jaksa seharusnya dapat menerapkan kewenangan dominus litis-nya, khususnya asas oportunitas sejak awal perkara dengan tidak melakukan penuntutan terhadap I Nyoman Sukena. Namun, ICJR mengapresiasi langkah jaksa penuntut umum dalam memberikan tuntutan bebas pada perkara ini. Langkah tersebut menunjukkan bentuk pelaksanaan kewenangan yang tidak berpaku pada upaya untuk memidanakan pelaku.
Lebih lanjut, ICJR juga turut mendorong agar asas oportunitas dapat dilaksanakan dengan memberikan perlindungan terhadap usaha-usaha yang terjadi dalam melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat dan kelompok rentan, salah satunya yang saat ini dikawal oleh ICJR adalah kasus Septia melawan Jhon LBF.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | DINDA SHABRINA