Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Identik dengan Tokoh NU, Asal Sebutan Gus Ternyata dari Keraton

Sebutan Gus, dengan demikian memiliki dimensi sosial yang kental yang disematkan tidak hanya karena alasan seorang anak kiai, tapi juga kompetensi.

1 November 2021 | 18.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebutan Gus biasanya disematkan kepada putra kiai atau kepada santri yang memiliki ilmu agama Islam mendalam, dan identik dengan Nahdlatul Ulama (NU). Namun ternyata, jauh sebelum pesantren berkembang di Indonesia, sebutan ini telah ada pada masyarakat Jawa untuk memanggil anak laki-laki mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panggilan Gus awalnya munculnya dari kalangan keraton yang diperuntukkan sebagai nama panggilan anak-anak keluarga raja, yaitu Raden Bagus yang disingkat Den Bagus. Kata Bagus sendiri, yang merupakan akar julukan Gus, dalam Bahasa Jawa, menurut Poerwadarminta dalam bukunya Baoesastra tahun 1939, sebagaimana dikutip Tempo dari laman sastra.org, Bagus diartikan sebagai sesebutane bocah (wong) lanang sing rada duwur pangkate atau sebutan bagi anak (orang) lelaki yang memiliki kedudukan tinggi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Millatuz Zakiyah, dalam jurnal Antropologi Volume 3 Januari 2018, Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis menyatakan seiring berjalannya waktu, sebutan Den Bagus kemudian digunakan juga oleh golongan priyayi Jawa di luar keraton untuk memanggil anak mereka dengan menghilangkan kata Raden atau Den, sehingga tinggal Bagus atau Gus saja.

Ketika pesantren mulai tumbuh di tanah Jawa, nama Gus kemudian digunakan untuk menyebut putra pemimpin pesantren. Panggilan Gus ini kemudian perlahan menjadi semacam gelar bagi anak-anak kiai terutama di kultur NU.

Lambat laun, penggunaan Gus untuk menyebut putra kiai dikaitkan dengan simbol ketokohan seseorang dari sisi agama, yang khusus di kalangan NU. Masyarakat NU akan memanggil mereka yang memiliki kedalaman ilmu agama, dengan sebutan Gus kendati mereka bukan keturunan kiai.

Sebutan Gus menjadi kasus unik dalam kajian sosiologi lantaran masuk ke dalam kategori ascribed status dan achieved status.

Ascribed status adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat yang diperoleh dengan sendirinya yang disebabkan faktor keturunan, contohnya adalah gelar Gus secara langsung disematkan kepada putra seorang kiai.

Putra kiai biasanya diperlukan secara khusus karena diharapkan menjadi penerus kiai, maka ia diperlakukan khusus, salah satu perlakuan khusus adalah dengan memberi gelar sapaan khusus, yaitu Gus. Meskipun begitu, tidak berarti Gus akan otomatis akan jadi kiai.

Sedangkan achieved status adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat yang diperoleh dengan cara disengaja, artinya memperoleh status ini diperlukan perjuangan dan pengorbanan. Di dalam kalangan santri maupun masyarakat, seseorang harus memiliki ilmu agama Islam yang dalam untuk mendapatkan gelar Gus.

Sebutan Gus, dengan demikian memiliki dimensi sosial yang kental yang disematkan tidak semata-mata hanya karena alasan seorang anak kiai, akan tetapi juga adanya pengakuan kompetensi untuk meneruskan perjuangan sang ayah dalam mendidik agama kepada masyarakat.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | EK

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus