Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manusia Pohon dari Pamekasan
BUNGKAS, 68 tahun, layak disebut manusia pohon. Sudah 35 tahun warga Desa Bengkes, Kecamatan Kadur, Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ini tak pernah menginjakkan kaki di tanah. Selama itu, ia tinggal di atas pohon siwalan setinggi 20 meter yang terletak di pinggir Desa Bengkes.
Menurut Asda, 65 tahun, adik kandung Bungkas, ia memang senang belajar ilmu gaib. Bungkas bersedia melakukan apa saja agar ilmunya semakin tinggi. Rahasia ini pernah diungkap oleh istrinya, Bune, yang telah meninggal lima tahun silam.
Suatu hari, Bungkas memberi tahu istrinya bahwa ia mendapat bisikan gaib yang menyuruhnya bertapa. Lantas, tiba-tiba Bungkas menghilang, meninggalkan Bune dan tiga anaknya. Baru beberapa hari kemudian keluarganya tahu kalau Bungkas sudah berada di atas pohon siwalan. Sejak itu, ia terus berada di pohon itu, tak mau turun. Di situ Bungkas membuat sebuah rumah dari batang bambu yang diikat dengan serat daun siwalan.
Keluarga Bungkas pernah membujuk agar Bungkas segera turun dari atas pohon, tapi Bungkas bergeming. Menurut Nasirudin, 60 tahun, kemenakan Bungkas, tetangga-tetangganya pun pernah merayu Bungkas agar berhenti bertapa. "Ia tetap saja di atas pohon," katanya.
Cara lain pun dicoba. Keluarganya pernah menghentikan kiriman makanan kepadanya dengan ha-rapan Bungkas akan kelaparan, lalu turun dengan sendirinya. Cara ini juga tak berhasil. Bungkas tetap di atas pohon, meski selama beberapa hari tak dikirimi makanan dan minuman. Akhirnya, keluarganya iba dan kembali mengirimkan makanan.
Tak ada yang tahu aktivitas Bungkas di atas pohon. Misalnya, bagaimana ia buang air atau mencukur rambutnya. Yang jelas, di sekitar pohon siwalan itu tak terdapat kotoran manusia. Rambut Bungkas pun selalu terlihat pendek. Dan, meski telah puluhan tahun tinggal di atas pohon, ia juga tak pernah sakit.
Setelah tak berhasil menurunkannya dengan berbagai cara, kini keluarganya maupun warga Desa Bengkes menganggap kebiasaan Bungkas sebagai sebuah kewajaran. Untuk makan sehari-hari, keluarganya tetap mengirimkan nasi dan lauk-pauk beserta air minum. Makanan ini ditaruh di dalam panci yang diikat dengan tali, lalu Bungkas menariknya ke atas. "Sehari Bungkas cuma makan satu kali," kata Asda. Kadang-kadang, keluarganya juga mengirimkan baju ganti untuk Bungkas.
Si Kembar Penyantap Bedak
LAZIMNYA, bedak dipakai orang untuk mempercantik diri. Namun, buat dua bocah kembar, Putri Ismi Hanun alias Puput dan Putri Ismi Hindun alias Pipit, bedak dianggapnya sebagai makanan.
Tak percaya? Tengok saja kebiasaan si kembar yang baru berusia 2 tahun 10 bulan itu. Tinggal di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mereka selalu menyantap bedak saat sarapan, makan siang, dan makan malam. Kebiasaan ini dilakukan sejak usia tujuh bulan. Pada satu hari, si kembar mampu menghabiskan bedak Cussons dan Zwitsal kemasan 350 gram seharga Rp 8.000.
Setelah berusia satu tahun, mereka hidup terpisah. Puput tinggal bersama neneknya, Siti Fatimah, di Desa Mayangan, Probolinggo. Adapun Pipit tetap tinggal bersama orangtuanya, pasangan Anik-Sutiono, di Perumahan Arum Permai, Probolinggo. Meski hidup terpisah, kebiasaan memakan bedak mereka teruskan.
Cara memakannya pun sama. Di pagi hari, mereka biasanya meminta kedua tangan dilumuri bedak. Lantas, dua tangan yang telah penuh dengan bedak itu mereka jilati. Cara lain, mereka menuangkan bedak ke sebuah piring kecil, kemudian mereka menjilatinya di piring itu.
Sesudah menyantap bedak, biasanya mereka berdua minum teh manis. Lagi-lagi, teh manis ini juga telah dicampur bedak, sehingga warnanya mirip susu. Penganan kecil seperti pisang goreng juga selalu diminta "dibumbui" dengan bedak. Kalau tak begitu, jangan harap Puput dan Pipit mau menyantap makanan yang disajikan.
Siti, Sutiono, dan Anik bukannya tak cemas dengan kebiasaan si kembar. Mereka pernah berusaha mencegah, namun akhirnya menyerah, sebab Puput dan Pipit tak pernah mau makan dan terus menangis bila makanan mereka tak ditaburi bedak.
Akhirnya, orangtua Puput dan Pipit pasrah. Menurut mereka, kebiasaan si kembar tak mengganggu kesehatan mereka. Itu sebabnya mereka juga tak dianggap perlu untuk dibawa ke dokter. Begitu pula pendapat Siti, neneknya. "Cucu saya belum pernah kena sakit yang serius, kok. Bedak ini sudah saya anggap sebagai jamu untuk Puput dan Pipit," katanya.
Rian Suryalibrata, Abdi Purmono (Probolinggo), Kukuh S. Wibowo (Pamekasan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo