Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Pengintai Maut di Tiga Bandara

Bandara Solo, Yogyakarta, dan Semarang menyimpan sejumlah bahaya. Ada awan pengempas pesawat, ada juga pesawat militer menyelonong seenaknya.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Pengintai Maut di Tiga Bandara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Di tangan para pelukis dan penyair, gumpalan itu bisa sangat indah dan romantis. Tapi bagi para pilot, khususnya bagi yang sering datang ke Bandara Adi Sumarmo, Solo, dia adalah si pembawa petaka. Dialah Si Cumulonimbus atau biasa dikenal dengan awan yang bergumpal-gumpal.

Si "Cb", begitu para pilot menjulukinya, memang momok bagi para penerbang yang sering menyambangi Solo. Awan ini adalah penyakit yang kerap menerpa bandara kecil yang diapit oleh dua gunung itu, yakni Gunung Merapi di sebelah barat dan Gunung Lawu di sebelah timur. Cb bisa menghasilkan pusaran angin yang mengempaskan pesawat, dari depan atau belakang. "Lemparan anginnya sangat kencang," kata Bambang, pilot yang pernah terhantam angin saat hendak mendarat itu.

Dr. Ted Fujita, peneliti dari Universitas Chicago, pada 1981 pernah mengukur angin ini. Kecepatannya memang dahsyat, sampai 270 kilometer per jam. Padahal, angin ini hanya terbentuk dalam hitungan menit. Dia menyebut fenomena ini microburst.

Bambang yang sering menerbangi rute Jakarta-Solo menuturkan, Cb kerap menghadang penerbangan pada sore hari atau menjelang malam di musim hujan. Bila awan ini mengambang dekat ke permukaan bumi, akan muncul pergolakan udara dari atas ke bawah yang berbentuk cincin dan menyembur ke segala arah. Nah, bila angin menyelonong dari belakang pesawat, akibatnya fatal: Pesawat terdorong ke depan pada detik-detik menjelang pendaratan. Pada saat inilah, pilot akan kehilangan kontrol dan pesawat pun tak mampu mendarat pas di titik darat (touch zone).

Bambang yang juga mantan pilot Garuda itu pernah terhantam pusaran angin akibat Cb ketika sedang mendarat di Surabaya. Saat melihat si putih bergumpal-gumpal, hatinya mulai waswas. "Gawat, nih," pikirnya. Benar saja. Saat roda pesawat cuma setengah meter dari landasan, hujan deras turun. Saat itu pula, angin kencang bertiup dari samping. "Pesawat seperti diseret ke samping dan bergeser," tutur Bambang. Di saat kritis, dia memutuskan batal mendarat. Tuas gas ia tarik penuh, pesawat pun melaju naik lagi dan mendarat darurat di Denpasar, Bali.

Di Solo, empasan angin liar akibat ulah si Cb, kata Bambang, pernah terjadi. Sebelum tergelincirnya pesawat MD 82 Lion Air dua pekan lalu, pesawat Garuda beberapa tahun sebelumnya sempat terhajar angin, menjejak landasan jauh dari titik darat, lalu terdorong ke sisi tepi landasan. Untung, tak ada korban.

Momok Cumulonimbus sebenarnya bukan hanya di sekitar bandara Solo, tapi juga di berbagai daerah di Indonesia. Cuma, gerbang dua gunung yang mengapit Solo itulah yang membuat Cb lebih rajin hadir di kota itu.

Dalam kasus kecelakaan Lion Air, Ketua Komisi Nasional Keselamatan Transportasi Setio Rahardjo menjelaskan, Cb adalah satu dari 15 faktor yang dicurigai menjadi biang kecelakaan. Saat itu awan Cumulonimbus memang menaungi Solo. Kata dia, "Curah hujan mencapai 120 mm atau meningkat dari biasanya yang hanya 50 mm," katanya

Meski kadang kala datang si Cb, Rudi Pritihanto, Asisten Manajer Administrasi dan Komersial PT Angkasa Pura I Cabang Adi Sumarmo, tetap yakin bandaranya aman. "Di Jawa, rata-rata perubahan cuaca tidak banyak terjadi," katanya.

Rudi menjelaskan, dalam banyak hal, bandara Solo jauh lebih bagus ketimbang bandara Yogyakarta. Landasannya lebih panjang, juga tak ada hadangan gunung seperti di Yogyakarta, sehingga pesawat bisa mendarat dari dua arah.

Di luar hadangan Cb, yang kerap menyulitkan para pilot adalah kecilnya koridor udara untuk jalur pesawat komersial yang hendak ke Solo. Maklumlah, kawasan udara bandara Solo berhimpitan dengan area latihan pesawat tempur dari Pangkalan Udara Iswahyudi, Magetan, Jawa Timur. Untuk masuk Solo, pesawat dari Jakarta umumnya menempuh rute Jakarta-Indramayu-Cirebon-Semarang-Purwodadi-Solo.

Pintu gerbang bandara Adi Sumarmo ini adalah Purwo, di sebelah utara Solo. Agar tak terjadi tabrakan dengan pesawat militer, pesawat komersial harus melalui koridor yang telah ditetapkan (lihat peta). Koridor ini, kini lebarnya cuma 4 NM (nautical mile) atau 1,8 kilometer ke kiri dan 4 NM ke kanan.

Repotnya, koridor sempit itu ada yang berhimpitan dengan koridor militer. Bila pilot hendak memutar dan mendarat dari arah timur, misalnya, maka pesawat komersial akan terpaksa masuk koridor militer. Syukurlah, sejauh ini tak pernah ada insiden. "Pada 1980-an, sering pilot pesawat terkaget-kaget karena tiba-tiba di depannya melintas pesawat tempur," kata Arifin, mantan kepala Bandara Ahmad Yani, Semarang.

Untuk urusan "berjumpa" dengan pesawat militer, Solo memang lebih baik ketimbang bandara Yogyakarta. Yogya adalah basis latihan pesawat militer. Saban hari ada sekitar 60 pesawat militer terbang dan mendarat di bandara itu. Angka itu melebihi jumlah penerbangan pesawat sipil, yakni 45 kali sehari. Selain itu, daerah bahaya—inilah wilayah khusus untuk latihan terbang pesawat militer—membentang sepanjang pesisir selatan, dari Yogyakarta hingga Cilacap. Tak mengherankan, beberapa pilot pesawat komersial pernah hampir menubruk pesawat militer yang sedang berlatih.

Kejadian itulah yang dialami Bambang, pilot pesawat DC-9 Garuda 12 tahun lalu. Saat itu hari sedang cerah. Pesawatnya baru saja lepas landas, tiba-tiba weeezzzz… dari balik awan menyembul pesawat militer yang bermanuver terbang dengan posisi terbalik, bagian punggung pesawat menghadap bumi. Tentu saja Bambang kaget. Tabrakan bisa dihindari setelah pilot pesawat tempur banting setir. Rupanya, Top Gun lokal itu melenceng dari jalur latihan yang seharusnya.

Meski potensial terjadi insiden, Kol. (Penerbang) Bambang Sugito, Kepala Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, tetap percaya bandaranya aman. "Semuanya sudah memenuhi persyaratan," katanya. "Saya juga sering menerbangkan pesawat dari Bandara Adi Sucipto, meski hanya pesawat tempur atau pesawat latih, dan tidak ada masalah," katanya, yakin.

Dibanding bandara Yogyakarta dan Solo, Bandara Ahmad Yani, Semarang, adalah yang terkecil halangannya. Tak ada gunung, tidak juga koridor militer. Yang bikin gawat cuma rob, air laut yang meluap ke landasan. Untuk menghalau rob, pengelola telah memasang enam pompa air. Hanya pada 4 Oktober tahun lalu, pesawat Boeing 737-500 milik Garuda tergelincir. "Tergelincir itu kan biasa terjadi di beberapa bandara, termasuk di Bandara Internasional Soekarno-Hatta," katanya berkilah.

Burhan Sholihin, Imron Rosyid (Solo), Heru C.N. (Yogyakarta), Sohirin (Semarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus